Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mori Di Tangan Ketiga

Harga mori naik pengusaha batik kelas menengah terpukul. di pekalongan produksi tidak berkurang, tapi menggunakan bahan lain. (eb)

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH A Tong hari itu tidak cerah. Kiosnya di Pasar Klewer praktis kosong. Keluh pedagang mori ini: "Membeli mori sekarang harus kontan. Saya masih punya utang dalam arisan call. Mana bisa beli mori?" Suasana Pasar Klewer Solo -- pusat perdagangan batik terbesar di Indonesia -- memang tampak lesu. Belum sembuh akibat sodokan arisan call yang mengguncangkan Solo, datang lagi gedoran berikutnya harga mori melejit naik. Pasaran mori memang sedang angot. Pertengahan Januari lalu, setelah Presiden menyampaikan RAPBN 1980/1981 pada DPR, mendadak harga mori mencelat. "Barang tidak langka, cuma harganya yang bukan main," ujar Judantoro, salah satu pimpinan Perusahaan Batik Plentong Yogyakarta. Perusahaannya tiap bulan menelan sekitar 500 pis mori. "Kami terpukul," ungkap Banardi, manajer Batik Sri Timur Yogyakarta pada Mochamad Cholid dari TEMPO. Perusahaan batik umumnya harus membeli mori secara tunai namun menjual batik produksinya dengan sistem pembayaran berjangka. Sri Timur yang tiap bulan memerlukan 300 pis mori ini terpaksa menurunkan produksinya dengan 40%. Yang membuat para pengusaha batik lebih menkerut: harga bumbu batik seperti parafin dan gondorukem juga ikut naik sekitar 25%. Harga mori sendiri naik antara 20-30%. Di Yogya, mori biru eks GKBI naik dari Rp 14.000/pis menjadi Rp 19.000. Jenis Prima dari Rp 13.000 menjadi Rp 17.500. Sedang jenis voilisima produksi PT Primisima -- yang pabriknya bersebelahan dengan GKBI-naik Rp 19.000 menjadi Rp 24.000. Kenaikan itu juga merembet ke berkolin, per pis double naik dari Rp 28.000 menjadi Rp 34.000. Yang paling terkena tampaknya pengusaha batik kelas menengah dan kecil Raksasa batik seperti Batik Keris dan Batik Semar tetap tegak tegar. "Kami sudah punya pabrik mori sendiri," kata Rumadi, dari bagian Humas Batik Keris kepada pembantu TEMPO Kastoyo Ramelan. Mengapa harga mori naik? Para pengusaha batik Yogya menuding para pedagang mori sebagai biang keroknya. "Mereka takut melepas barang karena menduga harga BBM bakal naik yang mungkin diikuti harga barang lainnya," ujar seorang di antaranya. Dugaan ini dibenarkan pihak GKBI. "Kalau mori di luar harganya tinggi, itu kan akibat permainan pedagang," ucap seorang anggota direksi GKBI di Medari, Sleman, Yogyakarta. Menurutnya, pabrik mori GKBI yang sehari menghasilkan 90.000 yard tidak pernah menurunkan jumlah produksi. "Dan kami tidak menaikkan harga. Dasarnya apa kok naik? Kapas yang dipakai diimpor dari Amerika dan masih stok lama," tuturnya. GKBI saat ini memiliki 3 pabrik mori Yang di Medari milik GKBI sendiri. Yang kedua: PT Primisima -- juga di Medari -- merupakan usaha patungan antara GKBI (35%) dan pemerintah Indonesia (65%). Yang satunya lagi di Batapg, merupakan patungan GKBI dengan pengusaha Jepang dan Amerika. PT Primisima memproduksi empat jenis mori: Primisima, Voilisima, cap Kereta Kencana dan Gamelan Srimpi. Prioritas produksi disesuaikan dengan keadaan pasar. "Mesin pabrik ini bisa dimodifikasi untuk membuat mori berbagai jenis," tutur Direktur Produksi R. Soemarlan. Yang paling laris saat ini jenis voilisima. Karena itu bila September tahun lalu hanya 45% produksi yang berupa voilisima, Februari ini sudah menanjak menjadi 94%. Voilisima umumnya digunakan untuk kemeja batik dan longdress. Seluruh produksi ketiga pabrik ini dipasarkan GKBI sebagai penyalur tunggal. Menurut salah satu direksi pabrik GKBI di Medari, mori ini dijual pada para koperasi primer dan perwakilannya di Pekalongan, Solo dan Yogya. Koperasi kemudian menjual lagi pada para anggotanya. Tapi kenyataannya banyak anggota koperasi yang salah langkah. Di Yogya misalnya, hanya sekitar 40% dari 1.000 anggota yang terus tekun di bidang batik, hingga banyak mori yang jatuh ke tangan pedagang. GKBI sendiri belum bertindak untuk mengatasi ini. "Kami belum bisa mengontrol pasar sejauh itu. Kalau barang sudah diserahkan ke perwakilan dan primer, ya sudah," kata anggota direksi yang sama. Cing Ho Dari Pekalongan datang cerita yang lain. Ribuan pis mori tiap bulan diproses di Kota Batik ini. Tapi lebih 75% dari produksi kota ini merupakan pesanan dari Solo. "Batik Keris, Semar atau Danar Hadi itu kan sebagian besar buatan Pekalongan juga yang hanya ditambah merk," kata seorang pengusaha kota ini. Meroketnya harga voilisima tak membuat jera pengusaha batik Pekalongan. Produksi tidak berkurang. "Hanya kami terpaksa menggunakan bahan lain, kain shantung," ujar Taufiqurrohman dari Batik NULABA. Pabriknya biasa menyerap 500 pis voil per bulan. Menurut kalangan pengusaha batik Pekalongan, melonjaknya harga mori belakangan ini terutama karena kelemahan GKBI. Untuk perputaran usahanya, GKBI harus menyediakan uang kontan sekitar Rp 3 milyar. Guna menjaga likuiditasnya ini terpaksa sebagian mori yang lakunya alot, dijual secara kontrak pada pihak ketiga. Misalnya selama Januari 1980, GKBI hanya menjual voil 5.400 pis pada para perwakilan dan koperasi primer. Kapasitas produksi voil 2 pabrik GKBI sekitar 15.000 pis/bulan. Sisanya -- tidak jelas berapa -- kali ini dijual kontrak pada Cing Ho, seorang pengusaha Semarang yang merupakan langganan lama GKBI. Diakui oleh seorang pengurus GKBI telah terjadi manipulasi. Maksudnya barang itu disimpan untuk menaikkan harga. GKBI sendiri tampaknya tidak berdaya mengatasinya. Tentang siapa yang bisa mengadakan kontrak dengan GKBI belum jelas. Rupanya siapa pun bisa asal sanggup mengontrak dalam jumlah banyak. "Sebetulnya lebih baik kalau GKBI mengontrakkan morinya pada perusahaan batik langsung," kata Kamluddin Bakhir dari Batik "BL" Pekalongan pada Churozi Mulyo dari TEMPO. Lepas dari semua kemelut ini harga mori memang resmi akar naik bulan depan. Mori Primisima yang sekarang harga pokoknya dari GKBI cuma Rp 17.500/pis akan menjadi Rp 19.000. Sedang cap Kereta Kencana dari Rp 18.500 menjadi Rp 20.000. Alasannya harga kapas naik dengan 20%.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus