WAJAH A Tong hari itu tidak cerah. Kiosnya di Pasar Klewer
praktis kosong. Keluh pedagang mori ini: "Membeli mori sekarang
harus kontan. Saya masih punya utang dalam arisan call. Mana
bisa beli mori?" Suasana Pasar Klewer Solo -- pusat perdagangan
batik terbesar di Indonesia -- memang tampak lesu. Belum sembuh
akibat sodokan arisan call yang mengguncangkan Solo, datang lagi
gedoran berikutnya harga mori melejit naik.
Pasaran mori memang sedang angot. Pertengahan Januari lalu,
setelah Presiden menyampaikan RAPBN 1980/1981 pada DPR, mendadak
harga mori mencelat. "Barang tidak langka, cuma harganya yang
bukan main," ujar Judantoro, salah satu pimpinan Perusahaan
Batik Plentong Yogyakarta. Perusahaannya tiap bulan menelan
sekitar 500 pis mori.
"Kami terpukul," ungkap Banardi, manajer Batik Sri Timur
Yogyakarta pada Mochamad Cholid dari TEMPO. Perusahaan batik
umumnya harus membeli mori secara tunai namun menjual batik
produksinya dengan sistem pembayaran berjangka. Sri Timur yang
tiap bulan memerlukan 300 pis mori ini terpaksa menurunkan
produksinya dengan 40%.
Yang membuat para pengusaha batik lebih menkerut: harga bumbu
batik seperti parafin dan gondorukem juga ikut naik sekitar 25%.
Harga mori sendiri naik antara 20-30%. Di Yogya, mori biru eks
GKBI naik dari Rp 14.000/pis menjadi Rp 19.000. Jenis Prima dari
Rp 13.000 menjadi Rp 17.500. Sedang jenis voilisima produksi PT
Primisima -- yang pabriknya bersebelahan dengan GKBI-naik Rp
19.000 menjadi Rp 24.000. Kenaikan itu juga merembet ke
berkolin, per pis double naik dari Rp 28.000 menjadi Rp 34.000.
Yang paling terkena tampaknya pengusaha batik kelas menengah dan
kecil Raksasa batik seperti Batik Keris dan Batik Semar tetap
tegak tegar. "Kami sudah punya pabrik mori sendiri," kata
Rumadi, dari bagian Humas Batik Keris kepada pembantu TEMPO
Kastoyo Ramelan.
Mengapa harga mori naik? Para pengusaha batik Yogya menuding
para pedagang mori sebagai biang keroknya. "Mereka takut melepas
barang karena menduga harga BBM bakal naik yang mungkin diikuti
harga barang lainnya," ujar seorang di antaranya. Dugaan ini
dibenarkan pihak GKBI. "Kalau mori di luar harganya tinggi, itu
kan akibat permainan pedagang," ucap seorang anggota direksi
GKBI di Medari, Sleman, Yogyakarta. Menurutnya, pabrik mori GKBI
yang sehari menghasilkan 90.000 yard tidak pernah menurunkan
jumlah produksi. "Dan kami tidak menaikkan harga. Dasarnya apa
kok naik? Kapas yang dipakai diimpor dari Amerika dan masih stok
lama," tuturnya.
GKBI saat ini memiliki 3 pabrik mori Yang di Medari milik GKBI
sendiri. Yang kedua: PT Primisima -- juga di Medari -- merupakan
usaha patungan antara GKBI (35%) dan pemerintah Indonesia (65%).
Yang satunya lagi di Batapg, merupakan patungan GKBI dengan
pengusaha Jepang dan Amerika.
PT Primisima memproduksi empat jenis mori: Primisima, Voilisima,
cap Kereta Kencana dan Gamelan Srimpi. Prioritas produksi
disesuaikan dengan keadaan pasar. "Mesin pabrik ini bisa
dimodifikasi untuk membuat mori berbagai jenis," tutur Direktur
Produksi R. Soemarlan. Yang paling laris saat ini jenis
voilisima. Karena itu bila September tahun lalu hanya 45%
produksi yang berupa voilisima, Februari ini sudah menanjak
menjadi 94%. Voilisima umumnya digunakan untuk kemeja batik dan
longdress.
Seluruh produksi ketiga pabrik ini dipasarkan GKBI sebagai
penyalur tunggal. Menurut salah satu direksi pabrik GKBI di
Medari, mori ini dijual pada para koperasi primer dan
perwakilannya di Pekalongan, Solo dan Yogya. Koperasi kemudian
menjual lagi pada para anggotanya.
Tapi kenyataannya banyak anggota koperasi yang salah langkah. Di
Yogya misalnya, hanya sekitar 40% dari 1.000 anggota yang terus
tekun di bidang batik, hingga banyak mori yang jatuh ke tangan
pedagang. GKBI sendiri belum bertindak untuk mengatasi ini.
"Kami belum bisa mengontrol pasar sejauh itu. Kalau barang sudah
diserahkan ke perwakilan dan primer, ya sudah," kata anggota
direksi yang sama.
Cing Ho
Dari Pekalongan datang cerita yang lain. Ribuan pis mori tiap
bulan diproses di Kota Batik ini. Tapi lebih 75% dari produksi
kota ini merupakan pesanan dari Solo. "Batik Keris, Semar atau
Danar Hadi itu kan sebagian besar buatan Pekalongan juga yang
hanya ditambah merk," kata seorang pengusaha kota ini.
Meroketnya harga voilisima tak membuat jera pengusaha batik
Pekalongan. Produksi tidak berkurang. "Hanya kami terpaksa
menggunakan bahan lain, kain shantung," ujar Taufiqurrohman dari
Batik NULABA. Pabriknya biasa menyerap 500 pis voil per bulan.
Menurut kalangan pengusaha batik Pekalongan, melonjaknya harga
mori belakangan ini terutama karena kelemahan GKBI. Untuk
perputaran usahanya, GKBI harus menyediakan uang kontan sekitar
Rp 3 milyar. Guna menjaga likuiditasnya ini terpaksa sebagian
mori yang lakunya alot, dijual secara kontrak pada pihak ketiga.
Misalnya selama Januari 1980, GKBI hanya menjual voil 5.400 pis
pada para perwakilan dan koperasi primer. Kapasitas produksi
voil 2 pabrik GKBI sekitar 15.000 pis/bulan. Sisanya -- tidak
jelas berapa -- kali ini dijual kontrak pada Cing Ho, seorang
pengusaha Semarang yang merupakan langganan lama GKBI.
Diakui oleh seorang pengurus GKBI telah terjadi manipulasi.
Maksudnya barang itu disimpan untuk menaikkan harga. GKBI
sendiri tampaknya tidak berdaya mengatasinya. Tentang siapa yang
bisa mengadakan kontrak dengan GKBI belum jelas. Rupanya siapa
pun bisa asal sanggup mengontrak dalam jumlah banyak.
"Sebetulnya lebih baik kalau GKBI mengontrakkan morinya pada
perusahaan batik langsung," kata Kamluddin Bakhir dari Batik
"BL" Pekalongan pada Churozi Mulyo dari TEMPO.
Lepas dari semua kemelut ini harga mori memang resmi akar naik
bulan depan. Mori Primisima yang sekarang harga pokoknya dari
GKBI cuma Rp 17.500/pis akan menjadi Rp 19.000. Sedang cap
Kereta Kencana dari Rp 18.500 menjadi Rp 20.000. Alasannya harga
kapas naik dengan 20%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini