TIDAK ada menteri yang dikerubungi penanam modal asing seketat Menteri Pertambangan dan Energi Subroto dalam seminggu lalu. Lihatlah, sejumlah 34 kontrak karya (COW) baru di bidang penambangan emas ditandatanganinya sekaligus. Di luar dugaan, memang, di tengah mantapnya harga emas dunia setahun terakhir ini, minat orang mencari emas di sini justru menunjukkan gejala pasang naik. "Ini merupakan bukti, penanam modal asing memberikan kepercayaan penuh kepada Indonesia," kata Menteri Subroto. Kondisi dan persyaratan kontrak yang diajukan pemerintah sendiri, diakui para penanam modal, juga ikut mempengaruhi keputusan mereka masuk ke Indonesia. Menurut Laurie Whitehouse, Direktur Eksekutif Pelsart Resources (Australia), kontrak karya itu mengatur secara terinci dari mulai survei umum, studi kelayakan, sampai masa penambangan selama 30 tahun. "Untuk 30 tahun semuanya sudah jelas dan pasti, tidak perlu perundingan ulang," katanya. Karena alasan itu, Pelsart berani menanamkan sahamnya di lima perusahaan pencari emas, di Aceh dan Kalimantan. Mujur bagi Pelsart, usahanya di Kasongan (Kalimantan Selatan) menjanjikan prospek cerah: dari setiap m3 galian tanah di situ, bisa ditemukan emas 225 mg. Jika ditambang, dengan tingkat penggalian tanah tiga juta m3 setahun, penambangan komersial diduga akan bisa berlangsung enam tahun. Berdasarkan survei lapangan pendahuluan, 11 daerah penambangan lainnya (kebanyakan berada di Kalimantan) yang dikelola Grup Pelsart juga menjanjikan harapan baik. Seperti diketahui, 34 COW untuk penambangan di areal seluas 198 ribu km2 itu hanya berlaku bagi pencarian bahan emas, perak, dan platina (kecuali migas, uranium, dan batu bara) di luar wilayah Jawa dan Bali. "Wilayah Jawa dan Bali menyulitkan kegiatan penambangan, karena sebagian besar tanahnya milik perorangan," kata Ir. Ridwan Mahmud, Direktur Pembinaan Pengusahaan Pertambangan. Ketentuan itu ternyata cukup menyenangkan. Juga mengenai pengaturan pembayaran royalti dan sewa tanah dalam jumlah tertentu kepada pemerintah. Sewa tanah itu, misalnya, dihargakan US$ 0,025 per ha pada periode eksplorasi tahun pertama, dan naik terus pada periode berikutnya. Setiap penanam modal juga diharuskan menempatkan deposit US$ 75 ribu sebagai jaminan bank, sebulan sesudah kontrak ditandatangani. Bukan dari pajak penghasilan. Keuntungan lain, kontrak mereka, diwajibkan menyerahkan pembuatan peta geologi wilayah kontrak kepada pihak Pertambangan. "Kalau kami buat sendiri, biayanya pasti besar sekali," kata Ridwan Mahmud. Tidak semua penanam modal, yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk membuat peta geologi itu, bernasib baik. PT Barisan Tropical Mining, yang merupakan penanaman modal langsung dari Rio Tinto Zinc (Inggris), misalnya, sekalipun sudah sejak 1972 malang melintang di Kalimantan dan Lampung, hingga kini belum menemukan emas. Padahal, biaya yang dikeluarkannya sudah mencapai US$ 26 juta. "Mencari emas memang usaha berisiko tinggi," kata Dirjen Pertambangan Umum Sutarjo Sigit. Kendati angka kegagalan dalam usaha penambangan ini bisa dibilang cukup tinggi, para penanam modal ternyata enggan surut, karena pemerintah memberi banyak kelonggaran dalam kontrak karya generasi keempat ini. Dalam soal perbandingan antara modal sendiri dan utang (debt equity ratio), mereka kini diperbolehkan beroperasi dengan modal 25%, dan tingkat utang 75%. Padahal, pada kontrak karya generasi sebelumnya, perbandingan itu 40% lawan 60%. Dan sebagai penanam modal, yang tak ingin menemui kesulitan menghadapi peraturan di masa depan, mereka umumnya dikenal ulet di meja perundingan. Dalam menafsirkan berbagai ketentuan perpajakan, misalnya, mereka minta kepastian apakah peraturan pelengkapnya akan berubah atau tidak. "Mereka juga minta kepastian berapa lama izin bisa diperoleh, dan berapa biayanya," kata Ridwan Mahmud. Sesudah semua perangkat peraturan formal itu jelas, mereka biasanya akan dengan mudah diajak melaksanakan kewajibannya. Di dalam tahap penyelidikan, misalnya, mereka diwajibkan mengeluarkan uang sedikitnya US$ 45, dan bila sudah mencapai tahap eksploitasi harus menyisihkan US$ 450 untuk setiap km2 wilayah kontrak karya mereka. Segala kewajiban itu diharapkan membawa pengaruh baik dalam menaikkan pendapatan para pekerjanya, dan menambah pembelian barang modal bikinan lokal. Dari segi kepentingan penanaman modal, pengeluaran sebesar itu tampaknya dianggap wajar. Menurut Laurie Whitehouse, Direktur Pelsart, untuk penambangan permukaan tanah, modal awal sekitar US$ 20 juta, dengan ongkos penambangan US$ 40 setiap ton. Tapi bila penambangan bawah tanah, modal awal bisa sampai US$ 100 juta, dengan ongkos penambangan US$ 50 setiap ton. Lagi-lagi, mujur bagi Pelsart, dari 12 konsesi pertambangan yang diberikan padanya, sembilan di antaranya merupakan jenis penambangan permukaan tanah (alluvial gold mine), hingga biaya bisa dihemat. Situasinya memang berbeda dengan keadaan pertambangan di Afrika Selatan, yang menyedot banyak dolar, karena penambangan emasnya harus dilakukan dengan membuat gua-gua, ribuan meter di bawah tanah. "Karena itu, penambang emas yang kebanyakan dari Australia kemudian mengalihkan kegiatannya ke Indonesia," kata Edward Hutasoit, Presiden Direktur Moapora Neria, yang mencari emas di Maluku. Emas Indonesia juga disukai karena kadarnya dalam setiap penambangan rata-rata cukup tinggi. Menurut Nyonya Olga Hutasoit Latief, Presiden Direktur Sankiviga, kadar emas Indonesia pukul rata 95%, sedang emas Afrika Selatan kadarnya 60%. Ada dugaan boom dalam penambangan emas tahun ini akan menaikkan produki emas Indonesia, yang kini masih tiga ton (2,5 ton di antaranya dihasilkan dari tambang Freeport di Irian Jaya) menjadi 200 ton, dalam masa 10 tahun mendatang. Dan bila pertikaian politik di Afrika Selatan sampai mengganggu aktivitas penambangan emas, bukan tak mungkin, banyak dolar akan diperoleh dari emas itu. Eddy Herwanto, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini