BERAS diam-diam merayap naik. Belanja rumah tangga untuk kebutuhan pokok ini, sejak pertengahan Januari lalu, pukul rata sudah bertambah 10% sampai 20% dalam rupiah. Di Jakarta, Karawang, Kroya, sampai Jombang, harga beras Cisadane eks Dolo sudah dijual dengan harga Rp 375 per kg. Biasanya, beras yang dijual Dolog ke penyalur Rp 320 itu bisa dibeli tidak lebih dari Rp 325 per kg di tingkat pengecer. Para pedagang tampaknya ingin membuat pukulan di saat pasar sedang kekurangan suplai dari pusat-pusat produksi beras. Yang membuat Kepala Bulog Bustanil Arifin tersedak ketika sarapan, barangkali, adalah berita dari Pikiran Rakyat pekan lalu, yang menyebut harga beras Cisadane sampai Rp 600 per kg di Karawang. Pengecekan ke lapangan segera dilakukan dan, ternyata, harga beras setinggi itu tidak pernah ada. "Kalau dikatakan naik sekian, itu tidak benar," katanya, ketika dengar pendapat di DPR, pekan lalu. Menurut Bustanil, kenaikan harga yang terjadi di bulan Januari, dan cenderung turun di bulan berikutnya karena panen mulai tiba, merupakan kejadian rutin setiap tahun. Sesudah mencapai harga puncak, beras kualitas sedang biasanya turun hingga Rp 290 di pertengahan tahun. Tapi Juni lalu, harga beras tercatat turun sampai sekitar Rp 260. Kejadian itu memang di luar perkiraan. Karena itu, Bustanil mengakui, "Tugas kami tahun 1985 terhitung kurang baik, karena membiarkan beras turun terlalu jauh." Tentu banyak petani rugi, karena beras dan gabah mereka terpaksa dijual di bawah biaya produksi. Mestinya, sebagai pengendali harga, Bulog terjun ke pasar melakukan pembelian untuk mengatrol kembali kemerosotan harga itu. Tapi, karena mungkin gudang penuh, sementara panen begitu melimpah, fungsi itu tak dijalankannya. Menghadapi kenaikan harga sekali ini, Bulog tiap hari hanya menyuntik 100 ton beras di Karawang. "Kami bisa saja menurunkan 500 ton sehari, tapi arus beras dari desa akan tertahan," kata Bustanil. Masuk akal: tingginya harga beras menjelang panen Maret nanti, memang, jadi semacam pecut bagi petani untuk tidak terlalu lama menahan gabah maupun beras. Dari desa-desa di Karawang itu, setiap hari, kini ada sekitar 1.000 ton beras dan gabah mengalir ke kota. Para petani sekarang bisa menjual gabah kering panen Rp 150 di sawah, padahal tahun lalu hanya Rp 100, sementara harga dasarnya Rp 105 per kg. Kendati mahal, para tengkulak, yang mengetahui bisa membuat pukulan besar, tetap menubruk gabah itu untuk diproses, dan dijual sebagai beras dengan harga tinggi. Kesempatan memang terbuka karena Dolog, atas permintaan Bupati, belakangan mengendurkan intervensi pasarnya dengan hanya menyuntik 30 ton beras setiap hari di Karawang. "Harga beras sekarang sudah stabil kalau Dolog mendrop beras terus, malah bisa menghancurkan harga di pasar," ujar Bupati Karawang, Haji Opon Sopanji. Situasi tampaknya sudah mendingin kendati belum seluruh 102 ribu hektar persawahan di sana bisa dipanen. Panen sporadis semacam itu juga sudah muncul di Jombang, Ngawi, Banyumas, Solo, dan Tuban. Menurut Bustanil, gabah yang keluar bulan-bulan basah seperti sekarang, kandungan airnya tinggi: sekitar 18%, jauh di atas standar Bulog yang 14%. Sekalipun begitu, Suripto, pedagang beras dari Kroya, sampai perlu mencari gabah ke Brebes dengan harga Rp 200 dan Banyumas Selatan Rp 250 per kg. Sialnya, "Jika dijemur dan digiling hanya menjadi beras sekitar 55% saja," katanya menggerutu. Ternyata, bukan hanya petani yang membuat pukulan di musim hujan, melainkan Dolog Jawa Tengah juga melakukannya. Puluhan ton beras dan gabah, hari-hari ini, diinjeksikannya ke pelbagai pasar di Jawa Tengah. Tapi tidak semua gabah yang disuplainya itu berkualitas baik. Buktinya, Suripto yang terakhir membeli 15 ton gabah dengan harga Rp 140 per kg, mengeluh, "Saya tidak ambil gabah lagi, karena setelah gabahnya digiling, berasnya berwarna agak hitam." Gabah berkualitas kurang bagus itu mungkin tidak baik penyimpanannya, dan berasal dari masa panen lebih dari enam bulan lalu. Kata Bustanil, persediaan beras di tangan Bulog sekarang tinggal 2,518 juta ton, sesudah sebagian besar dari stok tadi diekspor untuk menghadapi panen raya dan mengatasi penyediaan gudang. Cadangan penyangga dan stok surplus, masing-masing, dipertahankan tetap berjumlah satu juta ton. Jadi, persediaan untuk operasi pasar tinggal 518 ribu ton. Pihak swasta dan pedagang beras diduga tidak akan berani menyimpan gabah dan beras terlalu lama, karena suku bunga bank masih tinggi -- apalagi sekarang menjelang panen raya. Setidaknya. begitulah sikap yang dipegang Ilmi, pedagang beras di Jombang, yang lebih suka menahan beras tidak lebih dari lima hari. "Yang penting untuk masa sekarang, ada barang, jangan sampai terlambat," katanya. "Tapi juga jangan menimbun, karena akan panen, dan harga sewaktu-waktu bisa jatuh." Tingkah laku pedagang semacam itu, tentu, akan berubah jika panen tahun ini gagal, dan Bulog, yang diharapkan bisa menampung gabah atau beras dua juta sampai dua setengah juta ton, tak bisa memenuhi sasaran itu. Tapi di tahun yang banyak banjir ini, iklim di lingkungan Bulog cukup nyaman, apalagi pemerintah sudah. menyediakan dana Rp 417,4 milyar untuk pembiayaan cadangan pangan. Supaya beban bunga Bulog berkurang, alokasi dana itu akan segera dibayarkan untuk mengangsur utangnya ke BRI sebesar Rp 965,7 milyar. Sialnya, sementara Bulog harus membayar pinjamannya dengan bunga 6% setahun atau sekitar Rp 75 milyar (April-Desember 1985), piutangnya di pelbagai departemen dan instansi pemerintah lainnya Rp 120 milyar. Piutangnya di Hankam sejak 1982 saja sekitar Rp 61 milyar. "Bukan beras kami yang terlambat. Tapi, sebaliknya, kami dibayar terlambat," katanya. Sulitnya menagih piutang itu, tentu, menyebabkan Bulog cukup repot menangani perputaran uang. Bagi Bustanil, yang sudah sibuk mengurus pengadaan sampai pendistribusian beras, soal mengatur uang itu tampaknya cukup merepotkan. Wajar jika instansl pemerintah, yang punya utang, turut membantu dengan memenuhi kewajibannya. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta, Ja-Bar, Ja-Tim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini