Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pilot: Boeing 737 Max 8 Sudah Bermasalah sebelum Lion Air Jatuh

Sejumlah pilot menyatakan Boeing 737 Max 8 sudah bermasalah sebelum Lion Air JT 610 jatuh.

25 November 2018 | 13.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Boeing 737 MAX 8 Lion Air Thai [Business Insider]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pilot Boeing telah menemukan masalah ketika melakukan uji terbang Boeing 737 MAX-8 sebelum pesawat jenis sama yang dioperasikan Lion Air jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BACA: Keluarga Korban Lion Air JT 610 Gugat Boeing, Kata Firma Hukum

Mereka menemukan masalah bahwa pesawat sulit untuk ditangani ketika kecepatannya turun ke titik yang memicu bahaya kegagalan aerodinamis, dan hilangnya kontrol yang bisa menyebabkan kecelakaan, menurut Aviation Week dalam laporannya seperti dikutip pada Minggu, 25 November 2018.

Laporan Aviation Week yang dikutip banyak media itu mengungkapkan bahwa untuk mengurangi masalah tersebut, Boeing memperkenalkan sistem baru untuk kontrol penerbangan, sebuah sistem yang disebut Maneuvering Characteristics Augmentation System atau MCAS, yang menjadi pusat penyelidikan kecelakaan Lion Air JT 610 yang jatuh di Perairan Karawang Jawa Barat, dan menewaskan semua 189 orang di dalamnya.

Seorang pilot, yang berpengalaman 200 jam terbang dengan MAX-8 dan sekarang dalam pelayanan dengan maskapai penerbangan di seluruh dunia, mengatakan bahwa mereka tidak menyadari bahwa MCAS telah dipasang dan tidak pernah diinstruksikan tentang cara menggunakannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demikian juga yang terjadi dengan pilot Lion Air. Oleh karena itu, mereka juga tidak menyadari alasan mengapa Boeing memutuskan untuk menambahkan sistem MCAS.

Masalah-masalah yang terungkap dalam penerbangan uji coba muncul dari adopsi mesin baru untuk seri MAX 737, yakni lebih besar, lebih berat dan lebih kuat daripada model jet sebelumnya.
Dengan menempatkan mesin baru ini ke sayap 737, membuat insinyur Boeing melawan beberapa masalah unik dan menantang yang disebabkan oleh usia desain dasar jet, yang berasal dari pertengahan 1960-an.

Disebutkan bahwa Boeing 737 lebih rendah dibanding jet Boeing lainnya. Hal ini karena para perancangnya menginginkan bagasi dan kargo untuk dimuat tanpa bantuan mekanik, karena pesawat itu dimaksudkan untuk membawa layanan jet untuk pertama kalinya ke banyak bandara kecil yang tidak dilengkapi fasilitas mekanik kargo.

Meskipun Boeing memperkenalkan sayap baru, permukaan ekor dan banyak peningkatan lainnya, pesawat dan landing gear tetap tidak berubah selama beberapa dekade.

Sebuah momen krisis terakhir datang dengan seri MAX. Kinerja 737 sangat ditingkatkan oleh mesin-mesin baru, yang dibuat bersama oleh General Electric dan perusahaan Prancis, Safran, memberikan titik baru bagi maskapai penerbangan yang menginginkan peningkatan ekonomi dari jet kecil yang dapat menerbangi rute yang lebih panjang, seringkali di atas lautan.

Tapi hal itu hanya mungkin dengan peningkatan ukuran mesin. Ukuran mesin MAX, khususnya diameter bilah kipas besar di bagian depan, hampir 70 inci, dibandingkan dengan 61 inci pada mesin yang lebih tua, dan mereka memiliki berat 849 pound lebih.

Untuk memasang mesin baru dan masih mendapatkan jarak aman dengan permukaan tanah, Boeing memperpanjang roda hidung sebesar 9,5 inci dan harus memindahkan mesin lebih jauh ke depan dari sayap.

Yang kemudian berdampak pada penanganan Boeing 737 seri MAX. Biasanya pengaturan aerodinamis diindikasikan dengan "tongkat goyang" - joystick, yang mulai bergetar dan pilot dilatih untuk secara naluri meningkatkan kecepatan dan mendorong hidung ke bawah untuk memulihkan stabilitas.

Sebagai hasil dari penerbangan uji coba Boeing tampaknya telah diputuskan bahwa pesawat itu harus dapat mengatasi masalah ini melalui sistem manajemen penerbangan otomatis, menggunakan MCAS untuk memindahkan penstabil horizontal untuk menekan hidung.

Namun apa yang tampaknya tidak mereka antisipasi adalah kemungkinan bahwa pesan yang salah dari sistem lain, sensor angle of attack (nada dari sayap), dapat memulai tindakan oleh MCAS, yang tidak diketahui oleh pilot.

Keputusan ini menjadi inti dari perdebatan yang terus berlanjut di antara pilot dan ahli keamanan tentang seberapa jauh otomatisasi kokpit harus ada campur tangan pilot untuk mendeteksi dan memperbaiki masalah seperti ini, yang secara langsung berkaitan dengan mempertahankan kontrol dalam situasi berbahaya.

Baca berita tentang Boeing lainnya di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus