KESIAPAN untuk go public berarti juga kesediaan untuk tampak transparan. Dalam kenyataannya, perusahaan yang terjun ke pasar modal, suka atau tidak, harus mau membuka isi perutnya kepada umum. Tidak terkecuali kelompok Raja Garuda Mas (RGM), yang beberapa waktu lalu memasyarakatkan salah satu perusahaannya: PT Inti Indorayon Utama. Hanya saja, yang sedang menjadi topik pembicaraan hangat kali ini bukanlah pabrik pulp yang pernah menghebohkan para pakar lingkungan itu, tapi RGM, yang bergerak dalam bisnis pengolahan kayu termasuk kayu lapis. Hatta, beberapa pekan lalu, puluhan pengusaha yang menjadi rekanan RGM gelisah. Mereka mengeluh, karena tagihannya yang sudah jatuh waktu tidak dibayar. Selain itu, mereka juga resah, sebab bukan uang pembayar yang mereka terima, melainkan angket yang sengaja diedarkan RGM, agar diisi oleh rekanannya. Pada intinya, angket itu mempertanyakan, adakah para rekanan yang berpiutang itu mempunyai hubungan khusus -- semacam koneksi -- dengan orang dalam RGM. Menurut Sukanto Tanoto alias Tan Kang Ho, Chairman RGM, angket ini penting untuk meneliti kebersihan transaksi yang dilakukan anak buahnya dengan para rekanan. Alasannya, setelah Sukanto melakukan pemeriksaan dua bulan lalu, ia menemukan berbagai tindak manipulasi yang dilakukan beberapa direktur kepercayaannya. Sewa traktor, contohnya. Berdasarkan harga pasaran, sewa traktor itu tidak akan lebih dari Rp 40 ribu per hari. Tapi apa yang terjadi? Daniel Alianto, salah seorang direktur yang diangkat Sukanto -- kini sudah dipecat -- dengan tenang menyetujui sewa Rp 55 ribu per hari. "Kalau beda seribu dua ribu, sih, tak soal. Ini sampai Rp 15 ribu," katanya kesal. Selain itu, masih banyak penyelewengan lainnya yang dilakukan bawahan Sukanto bersama beberapa rekanan RGM. Dan memang, hal-hal seperti itulah yang diusut oleh RGM melalui angket tadi. "Kalau terbukti ada permainan di antara mereka, kami akan melakukan tindakan," katanya kepada Gindo Tampubolon dari TE-MPO. Salah satu caranya, selain rekanan yang bersangkutan tidak akan dipakai lagi, RGM hanya akan membayar utangnya sesuai dengan harga pasar yang terjadi. Konon, dari 200 angket, 177 di antaranya sudah dikembalikan oleh para pemasok RGM. Dan seketika itu juga, menurut Sukanto, piutang mereka dilunasi. Kini tinggal 23 rekanan dengan nilai tagihan sekitar Rp 3 milyar, yang pembayarannya ditunda. Jadi, berita yang menyatakan bahwa RGM tak mampu membayar karena kesulitan likuiditas, "sama sekali tidak benar," kata Sukanto berang. Sebuah bantahan yang mungkin benar, mungkin juga tidak. Sebab, menurut beberapa sumber TEMPO yang menjadi pemasok, utang RGM yang tertunggak hingga kini telah mencapai Rp 100 milyar lebih. Dari jumlah itu, yang terbesar adalah kredit berbagai mesin pengolah kayu. Lantas, mana yang benar? Sulit dibuktikan. Yang pasti, hingga saat ini, RGM masih termasuk ke dalam kelas konglomerat yang agresif. Buktinya, grup ini masih terus aktif melakukan diversifikasi ke berbagai bidang bisnis. Di bidang perbankan, kini Uni Bank sedang giat-giatnya membuka kantor-kantor cabang baru. Sukanto juga termasuk pengusaha yang giat mengincar perusahaan di luar negeri. Di samping itu, ia juga tengah membangun pusat perbelanjaan mewah di Medan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh PT Data Consult, hingga tahun lalu sudah ada 39 perusahaan yang bergabung di grup ini. Bisnisnya macam-macam. Mulai dari kayu lapis, bubur kertas, kelapa sawit, baja, bank, leasing, real estate, kontraktor, asuransi, perkebunan, tambak udang, hingga department store. Dari usaha-usaha itu, diperkirakan omset RGM mencapai sekitar Rp 400 milyar setahun. Makanya, agak terdengar aneh, kalau RGM kelimpungan hanya karena tunggakan Rp 100 milyar. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini