KRISIS semen belum reda. Ibu-ibu rumah tangga serta para tukang -- becak di Surabaya, hingga pekan lalu, masih belum kehilangan obyek sampingan mereka: antre semen. Pemandangan ini terlihat merata di semua toko bahan bangunan di Surabaya. Mereka tak menolak dipanggang terik matahari demi upah Rp 500 sampai Rp 1.000 per sak. Lucunya, tidak sedikit kaum pengantre yang menjual kembali semennya di depan toko tempat ia membeli. Harganya jelas lebih tinggi -- HPS (harga pedoman setempat) di Surabaya Rp 5.000, sementara para calo menjualnya Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per sak. "Bayangkan, mereka membeli dari toko kami, dan menjual kembali persis di depan hidung kami," kata Ny. Ashar, pemilik toko bahan bangunan di Jalan Kertajaya, Surabaya. Memang, di Kota Buaya ini, sistem membeli semen dengan KTP masih berlaku. Tapi, menurut seorang pemilik toko lainnya, cara ini malah semakin merangsang terjadinya sewa-menyewa KTP. Seorang pengemudi becak, contohnya, mengaku KTP-nya disewakan Rp 2.000 per hari. "Kalau antre sendiri, saya minta Rp 1.000 per sak semen," katanya. Di Semarang, keadaan sudah mulai tenang. Antre pun sudah tak ada. Pembelian memang masih dibatasi (maksimal 50 sak), dan harga masih di atas HPS -- antara Rp 5.000 dan Rp 6.000. Di Jakarta dan sekitarnya, "cuaca" tidak merata. Di Bogor misalnya, tak terlihat gejolak apa-apa. Toko-toko bahan bangunan pun dengan tenang memajang semen mereka. Namun di Jakarta, beberapa pengecer mengeluh kekurangan semen. Padahal, kata pemilik toko di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, saat ini harganya sedang bagus (Rp 5.750 sampai Rp 6.000 per sak). Hal serupa juga terjadi di Bandung. Antre tidak ada. Tapi harga masih menggantung di atas Rp 6.000 per sak alias Rp 1.000 di atas HPS. Kesimpulannya: semen belum aman. Dan banyak kontraktor terancam. Di Sumatera Utara, ribuan proyek bernilai ratusan milyar rupiah tertunda. Penyebabnya, selain likuiditas yang ketat-nya, kemelut semen. Hal yang sama bisa ditemukan di Jawa Barat. Kata Paskah Suzetta, juru bicara REI (Real Estate Indonesia) di sana, krisis semen menjadi salah satu penyebab macetnya kegiatan pemban-gunan yang dilakukan oleh 50 kontraktor. "Target pemenuhan kebutuhan perumahan pada Pelita V menjadi sulit tercapai," katanya. Padahal, di Ja-Bar telah dicanangkan akan dibangun 270 ribu unit rumah (60% dari target nasional yang 450 ribu unit). Keluhan serupa juga muncul dari kontraktor-kontraktor kecil (kelas C). Akibat krisis semen ini, "Kami rugi dari dua sisi karena kenaikan harga d-an keterlambatan proyek," ujar Ahmad Priyatno, Dirut PT Karya Remise. Ahmad memperkirakan proyeknya -- membangun kantor PGRI senilai Rp 300 juta -- akan mengalami keterlambatan 40%. Itu dari segi waktu. Sedang dari sudut rupiah, biaya proyek akan membengkak sekitar 20%. Melihat gelagat ini, beberapa tokoh di Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia) memperkirakan, kerugian akibat semen ini akan mencapai Rp 500-an milyar. Dan Ir. Soekartono Sajid, seorang tokoh dari Gapensi, memastikan bahwa ratusan kontraktor di DKI kini terpaksa menghentikan kegiatannya. "Soalnya, bukan hanya semen yang naik, bahan-bahan bangunan lainnya pun, seperti pasir, kayu, dan besi beton, ikut ngadat," kata Agus Kartasasmita, Wakil Ketua Umum Gapensi. Sialnya lagi, pemilik proyek tampaknya tak mau tahu. Tak terkecuali pemerintah. "Berapa pun biaya pembangunan membengkak, tidak ada penyesuaian nilai kontrak," kata Agus. Kalau sudah begitu, kontraktor bisa nakal lalu menyelesaikan proyek apa adanya. Caranya gampang, dengan menurunkan mutu bangunan. Namun, tidak semua anggota Gapensi tertimpa kemelut semen. "Akibat krisis semen, kerugian kami tidak seberapa," kata Komajaya, Dirut PT Total Bangun Persada, yang rajin membangun gedung-gedung jangkung di Jakarta. Katanya, kontraktor besar punya channel khusus untuk memperoleh semen yang cukup, dengan harga yang wajar. Apa yang dikatakan Komajaya ini harus diterima sebagai hal yang benar, karena perusahaannya memang menikmati fasilitas itu. Dan ini mungkin saja, karena perusahaannya bernaung di bawah payung Grup Liem, yang juga pemilik pabrik Indocement. Kontraktor lain memang tidak dilarang membeli ke pabrik, namun sampai di sana, semennya tidak ada. Payah, memang. Sebenarnya, Pemerintah juga telah memperhitungkan kemungkinan munculnya krisis semen. Dan langkah penanggulangan juga sudah diambil. Pada puncaknya, Pemerintah mengizinkan impor semen tanpa dikenai bea masuk -- sementara dari kalangan pengusaha tidak tampak adanya minat untuk itu. "Kami tidak akan menunjuk importir tertentu," kata Wardiyasa, Dirjen Industri Kimia Dasar. Dengan kata lain, impor boleh dilakukan secara bebas. Tapi mengapa boleh? Soalnya, impor semen kini samalah artinya dengan merugi. Untuk impor, negara tetangga di ASEAN tidak bisa diandalkan. Memang, ada peluang untuk memperoleh semen dari RRC. "Tapi sampai di Indonesia, harganya pasti di atas Rp 7.000," kata seorang importir. Satu-satunya jalan untuk mengatasi krisis ini adalah dengan meningkatkan kapasitas produksi pabrik-pabrik semen. Dan ini perlu waktu, selain dana yang besar sekali. Tak heran bila ada suara yang mempersilakan swasta untuk terjun ke industri semen. Dan imbauan ini sama nasibnya dengan imbauan impor: tak bersambut. "Biaya perluasan bisa diperoleh dari modal sendiri atau dari pasar modal," kata Wardiyasa. Tak jelas, apakah perkara go public itu dinyatakan dengan serius atau sekadar basa-basi. Masalahnya, mobilisasi dana di bursa kini merosot tajam. "Kami menunggu sampai pasar modal menguat kembali," kata Fuad Rivai, Direktur Semen Gresik. Katanya, ada rencana perluasan dengan biaya Rp 500 milyar -- Rp 270 milyar diharapkan dari penjualan saham. Nah, apa tak nanti harapan itu palsu, mengingat bursa saham bisa saja terusmenerus lesu. Alternatif lain adalah bila dana dikuras dari sumber lain, termasuk untuk perluasan pabrik semen Tonasa, Cibinong, Nusantara, dan Padang. Tapi bila sumber lain pun tak ada, tampaknya krisis semen bisa berlarut-larut. Dan bisa rawan. Budi Kusumah dan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini