PADA suatu hari, di ruang kerja seorang manajer bank, telepon berdering. "Halo, saya punya Rp 500 juta untuk deposito tiga bulan. Anda mau kasih bunga berapa?" begitu bunyi suara di ujung sana. Sang manajer tertegun dan benaknya cepat menghitung. Segera ia memutuskan sebuah angka yang "paling layak". Dan angka itu rupanya cocok. Si penelepon pun terjaring sebagai nasabahnya. Hanya saja, manajer itu tak mau berterus terang soal tingkat bunga yang ditawarkannya. "Pokoknya, 1-2% di atas bunga deposito yang berlaku di pasaran," ujarnya. Perang bunga. Itulah yang sedang terjadi saat ini. Bunga yang ditawarkan rata-rata jatuh pada angka 20%. Bank Anrico malah memasang bunga deposito 21% sampai 22,25%. Selain itu, semua bank bersaing ketat menarik penabung dengan iming-iming hadiah. Setahun lalu, cuma ada hadiah dari Kesra dan Tahapan. Kini, dari berbagai penjuru. Misalnya Tabungan Si Jempol (Bank Bali), di samping memberi hadiah yang diundi juga ada hadiah langsung. Lalu Danamas dari Bank Surya, Harapan Plus oleh tiga bank -- di antaranya BHS Bank -- dan Central Save oleh BCA. Masalahnya, siapa yang berani pasang bunga tinggi, dialah yang mendapat nasabah. "Bagaimanapun, kami harus menjaga likuiditas kami sebaik mungkin," kata Laksamana Sukardi, salah seorang eksekutif Lippobank. Apalagi Menteri Keuangan Sumarlin -- di depan DPR dua pekan lalu -- mengingatkan bahwa pengetatan kredit likuiditas bisa berlanjut sampai tahun 1992. Jadi, satu tahun lebih lama dari perkiraan Gubernur BI Adrianus Mooy. Dengan demikian, untuk dua tahun di muka, rupiah akan tetap sulit dicari. Soalnya, BI sebagai otoritas moneter akan tetap secara ketat mengendalikan uang yang beredar. Entah melalui penarikan kredit likuiditas -- hingga April lalu jumlahnya mencapai Rp 16,7 trilyun -- ataupun melalui SBI. Akibatnya mudah ditebak. Seiring dengan naiknya bunga tabungan dan deposito, bunga kredit pun ikut terkerek. Bunga investasi di bank-bank pemerintah, misalnya, telah naik 2 point menjadi 21-22%. Sementara itu, di bank swasta, kredit untuk modal kerja pun kini ditawarkan tak kurang dari 25,2%. Tapi bukan hanya itu langkah yang diambil bankir. Dalam menyalurkan kredit, misalnya. "Sekarang kami lebih selektif," kata Laksamana. Maksudnya, kendati persaingan semakin ketat, bank tak lagi sembarangan mengucurkan pinjaman. "Kami akan mengutamakan kredit yang benar-benar aman dari risiko macet," tambahnya. Misalnya, kredit untuk pembiayaan ekspor. Bank seperti Lippo sanggup memberikan bunga pinjaman rupiah sebesar 17,75% per tahun. Sementara itu, kalau dolar, bunga ditetapkan 2% di atas SIBOR (suku bunga pinjaman antarbank di Singapura). Bagi bank-bank kelas atas, pengetatan likuiditas ini agaknya tidak akan terlalu memusingkan. Toh mereka punya sumber lain di luar negeri. Lippobank, misalnya, menurut Laksamana, baru mencairkan 50 juta dolar dari pinjaman yang diperolehnya (200 juta dolar). Di pihak lain, Bank BNI akan meneken pinjaman jangka menengah yang didukung 25 bank asing senilai 230 juta dolar. Sebaliknya, prospek bank-bank papan bawah ternyata tidak cerah. Terutama bank yang sehari-hurinya mengandalkan pasar uang antarbank. "Merekalah yang paling terpukul," kata Oskar Suryaatmaja, Dirjen Moneter Departemen Keuangan. Dalam keadaan sulit uang seperti sekarang, menggantungkan dana pada suplai money market sungguh merepotkan. Sementara itu, bank-bank pemerintah kabarnya wajib mengembalikan kredit likuiditas sekitar Rp 11,7 trilyun. Dan penarikan kredit likuiditas itu rupanya tidak bisa ditunda-tunda lagi. "Pemerintah melihat, uang yang beredar di masyarakat masih terlalu banyak," kata Oskar. Pada Agustus yang baru lalu, misalnya, uang yang beredar tercatat Rp 24 trilyun lebih. Ini berarti, 53% lebih banyak jika dibandingkan uang beredar tahun sebelumnya (Rp 15,7 trilyun). Dan jumlah itu, kata Oskar, masih cukup untuk membiayai kegiatan ekonomi Indonesia. Ada, memang, beberapa ekonom seperti Hadi Soesastro, yang mengusulkan agar penarikan kredit likuiditas sedikit dilonggarkan. Maksudnya, dilakukan bertahap. Kalau formula ini yang diterapkan, pertumbuhan ekonomi yang sedang melaju diperkirakan tidak akan sempoyongan. Pertumbuhan itu memang melambat, tapi tidak sama sekali terhenti. Apa yang kini terjadi adalah penghentian di sana sini. Ketua Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia) Sumatera Utara, Maruli Eddy Hutagaol, mengungkapkan bahwa ribuan proyek dengan nilai ratusan milyar kini terancam menjadi Siap (Sisa Anggaran Pembangunan). Itu di Sum-Ut. Padahal, dalam Keppres 29/1984 sudah ditegaskan, rekanan yang mendapatkan order dari Pemerintah berhak memperoleh kredit bank untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tak heran bila Maruli dan rekan-rekannya di Gapensi langsung panik. Tapi pemerintah, sebagai pemberi order, tampaknya tak mau tahu. Pokoknya, "Jika ada kontraktor yang tidak menyelesaikan proyek sesuai dengan kontrak tetap akan terkena denda dan sanksi," kata Ruslan Diwiryo, Dirjer Bina Marga. Bos Pembangunan Jaya, Ciputra, juga termasuk pengusaha yang merasakan dampak negatif pengetatan likuiditas. Seperti diberitakan kantor berita Antara pekan lalu, menurut Ciputra, proyek reklamasi kawasan pantai Ancol (seluas 200 ha) terpaksa ditangguhkan. Terus terang diungkapkannya, separuh dari biaya reklamasi (Rp 250 milyar), yang semula akan ditanggung oleh kredit bank, ternyata batal. Kredit yang sudah disetujui itu tak bisa cair, dan penyebabnya cuma satu: pengetatan kredit likuiditas. Tampaknya pengusaha besar maupun kecil tak luput dari policy pengencangan. Hal ini pantas disesalkan, karena investasi yang produktif -- bukan yang konsumtif -- ikut menanggung akibatnya. Padahal, kita tahu benar, justru investasi di sektor riil itu yang menggerakkan roda pembangunan. Toh masih agak sulit memperkirakan seberapa jauh dampak negatif dari pengetatan likuiditas akan memukul ekonomi kita yang sedang tumbuh. Sementara itu pakar Djisman Simandjuntak, dalam sebuah forum seminar, menyarankan agar pengetatan likuiditas di dalam negeri hendaknya dapat diimbangi dengan upaya mobilisasi dana luar negeri, yang dimanfaatkan untuk investasi di dalam negeri. Agaknya, inilah alternatif paling aman dewasa ini. Di satu pihak pengetatan likuiditas tetap terus dilancarkan -- jadi momok inflasi tak sempat bergentayangan. Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi bisa terus menggelinding. Gejala menggembirakan akhir-akhir ini ialah bahwa kucuran modal asing tampaknya masih menderas -- lewat konsorsium beberapa bank asing, seperti yang dinikmati Grup Lippo dan BCA. Nah, selagi pemodal asing masih percaya pada iklim dan prospek ekonomi Indonesia yang cukup baik, tak ada salahnya jika upaya memperlancar capital inflow terus dilanjutkan. Masalahnya kini, bagaimana membiarkan pertumbuhan melaju dalam batas-batas aman, hingga tak nanti muncul momok inflasi. Sampai di sini, ternyata Pemerintah tidak mau ambil risiko. "Untuk apa pertumbuhan yang tinggi," begitu celetuk Dirjen Moneter, Oskar, "bila dibarengi dengan inflasi yang sama tinggi. Hanya bikin overheated saja." Jadi, bagi Pemerintah rupanya tak ada pilihan lain kecuali pengendalian inflasi. "Kalau inflasi tidak dikendalikan, ekspor nonmigaslah yang akan jadi korban," kata seorang bankir terkemuka. Katakanlah inflasi tak terbendung, pada akhir tahun inflasi bisa melaju sampai angka 12%. Dengan sendirinya, biaya produksi naik sebesar itu juga. "Jadi, jelas, inflasi bisa mengurangi daya saing produk ekspor kita," katanya. Selain sektor ekspor dan konstruksi, sektor industri manufaktur juga tak luput dari himbasnya. Soebronto Laras, Dirut Suzuki Group yang menjabat sebagai Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, mengatakan bahwa langkanya dana mau tidak mau akan membuat industri mobil kelimpungan. Terutama di sektor sedan. Soalnya, seperti diakui Soebronto, hampir 90% sedan dijual dengan memanfaatkan fasilitas kredit bank. Nah, kalau bank-bank mengerem kredit konsumsi, "Ya, terpaksa kami mencari dana sendiri, untuk membiayai kredit produk-produk kami," katanya. Dari mana dana itu bisa diperoleh? Soebronto menjawabnya dengan tawa berderai. Budi Kusumah dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini