Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Starlink mengantongi kerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk digitalisasi puskemas.Â
Masyarakat di daerah yang belum mendapat akses Internet andal bisa berpaling ke Starlink.
Kualitas Internet serat optik masih lebih bagus daripada Internet satelit.
Baru saja hadir di Indonesia, Starlink sudah berancang-ancang memainkan peran penting dalam penyediaan akses Internet. Perusahaan milik Elon Musk ini mengantongi kerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk digitalisasi pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak usaha SpaceX tersebut bakal menyediakan akses Internet bagi 745 puskesmas pada tahap awal. Tahap selanjutnya, Starlink bakal menjangkau 1.475 puskesmas yang sebelumnya sudah terhubung dengan Internet VSAT, tapi mengalami banyak kendala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memilih Starlink karena mempertimbangkan jangkauannya. Perusahaan itu menawarkan Internet berbasis satelit yang mengorbit tak terlalu jauh dari bumi, sekitar 550 kilometer atau dikenal dengan low earth orbit. Hingga 8 November 2023, Starlink sudah meluncurkan 5.420 satelit ke angkasa.
Ketua Umum Ikatan Konsultan Teknologi Informasi Indonesia, Teddy Sukardi, mengatakan satelit Starlink, yang membentuk konstelasi, mempunyai nilai plus. Mereka bisa menjangkau wilayah yang belum dilalui kabel serat optik. Sementara itu, posisinya yang dekat dengan bumi memungkinkan layanan Internet dengan latensi atau waktu tempuh data dari perangkat pengguna ke satelit dan sebaliknya yang rendah.
Layanan itu cocok bagi target Kementerian Kesehatan. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, sebanyak 2.220 puskesmas membutuhkan Internet. "Diharapkan mereka dapat mengakses Internet yang layak sehingga layanannya tidak akan berbeda dengan puskesmas di perkotaan," ujarnya setelah menyaksikan uji coba layanan Starlink di tiga fasilitas layanan kesehatan menunjukkan hasil memuaskan.
CEO Tesla Inc. sekaligus SpaceX Elon Musk bersama (dari kiri) Menkominfo Budi Arie Setiadi, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menunjukkan dokumen kerja sama saat meluncurkan layanan Internet berbasis satelit Starlink di Puskesmas Pembantu Sumerta Klod Denpasar, Bali, 19 Mei 2024. ANTARA/Muhammad Adimaja
Indonesia bukannya tidak memiliki layanan Internet berbasis satelit. Namun yang tersedia merupakan satelit geostasioner yang mengorbit di ketinggian 36 ribu kilometer di atas permukaan bumi. Lantaran lebih jauh dari bumi, latensinya berpotensi lebih tinggi. Teddy menuturkan, teknologi ini punya harga yang lebih mahal.
Ongkos instalasi di darat untuk menerima sinyal dari satelit lebih mahal dibanding Starlink. Prosesnya juga butuh bantuan teknisi sehingga tidak bisa dipasang oleh orang awam seperti unit Starlink. "Teknologi menentukan harga," katanya.
Peluang Masuk ke Perkotaan
Dengan keunggulan ini, Teddy menilai layanan Starlink tak hanya menarik buat kebutuhan pemerintah. Masyarakat di daerah yang belum mendapat akses Internet andal juga bisa berpaling ke Starlink. Di perkotaan pun potensi layanan ini banyak dilirik tetap ada, meski mayoritas kawasan tersebut sudah terjangkau kabel serat optik yang secara kualitas lebih unggul.
"ISP (Internet service provider) juga mesti meningkatkan kualitas layanannya (agar tak kalah bersaing). Internet andal juga butuh pengelolaan," ujarnya. Perusahaan penyedia Internet harus menyediakan nilai tambah baru untuk menarik perhatian pengguna.
Kehadiran Starlink juga bisa menjadi momentum untuk mengembangkan industri telekomunikasi domestik. Teddy mengusulkan pemerintah mulai mendorong perusahaan tersebut meningkatkan kandungan dalam negeri untuk produk mereka, misalnya mewajibkan pembuatan antena di dalam negeri.
Jika pemerintah mendorong pertumbuhan Starlink, Teddy menyoroti sejumlah risiko yang perlu menjadi perhatian. Pertama, berkaitan dengan keamanan data. Selain itu, ada isu kemandirian. Indonesia harus memastikan tak ada ketergantungan dengan Starlink ke depan. Kekurangan lainnya adalah masih belum ada kepastian ihwal layanan pelanggan, perangkat, dan perawatan di dalam negeri. "Misalnya alatnya rusak, tidak bisa diganti segera."
Belum Teruji dalam Kondisi Ramai
Insaf Albert Tarigan mencoba perangkat Starlink miliknya di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 15 Mei 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung, Ian Joseph Matheus Edward, juga menyebutkan, di balik sisi positif Starlink, masih ada beberapa hal yang perlu dicermati. Misalnya, kapasitas Internet saat jumlah pengguna di dalam negeri mulai bertambah. "Karena belum pernah diuji dengan beban trafik penuh," ucapnya.
Ian juga mempertanyakan kemampuan Starlink beroperasi penuh dengan jumlah pelanggannya saat ini. Dia khawatir ada praktik bakar uang yang berujung pada kenaikan harga drastis di kemudian hari saat jumlah pelanggan mulai bertambah.
Dengan penawaran Starlink sekarang, dia yakin perusahaan bisa dengan mudah menguasai daerah-daerah yang belum terjamah serat optik. Di luar itu, pemain lokal bakal sulit ditembus. "Serat optik tidak terkalahkan kualitasnya, pasti lebih bagus dari satelit." Idealnya, menurut dia, satelit hanya sebagai pelengkap.
Sebagai penyedia serat optik, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Jerry Mangasas Swandy mengaku tetap khawatir meski kualitasnya berbeda. Satelit, misalnya, lebih rentan cuaca. Sedangkan kabel optik terbebas dari risiko itu. "Khawatirnya, ketika Starlink masuk ke wilayah kota, ia akan mendisrupsi tatanan harga yang ada."
Asosiasi berharap Starlink hanya berfokus melayani daerah-daerah yang belum terjangkau Internet dari serat optik akibat mahalnya investasi untuk membangun infrastruktur tersebut. Harapan ini, ucap dia, perlu dukungan pemerintah agar bisa terwujud. Pasalnya, izin operasi penyedia Internet berlaku secara nasional, tak terbatas di wilayah tertentu.
Risiko RT/RW Net Ilegal
Jerry juga menyinggung risiko praktik RT/RW net atau perilaku pelanggan jaringan Internet yang menjual kembali sambungan mereka ke orang lain secara ilegal. "Kondisi ini membutuhkan arahan yang tegas dari regulator, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika."
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Muhammaf Arif Angga, juga berharap ada pelindungan buat pemain lokal. Pihaknya telah memberi masukan kepada pemerintah untuk memfokuskan layanan Starlink sebagai pelengkap di wilayah-wilayah yang belum terjangkau Internet. "Kembali lagi ke pemerintah, apakah pasar akan dibuka atau untuk memenuhi kesenjangan layanan di Indonesia," katanya.
Tapi saat ini Arif masih yakin Starlink belum akan mampu bersaing dengan pasar serat optik. Salah satu faktor utamanya adalah harga. Untuk mengakses Starlink, pelanggan harus mengeluarkan dana sekitar Rp 7,8 juta untuk membeli perangkat dan membayar biaya langganan per bulan dari Rp 750 ribu.
Begitu pula dari sisi layanan, Internet serat optik cenderung tanpa hambatan, kecuali terganggu aktivitas manusia. Sementara itu, satelit sering kali terganggu cuaca. Dia mengaku belum bisa menyimpulkan besarnya ancaman Starlink sampai pelanggan mereka mulai banyak. "Kita lihat dulu bagaimana layanannya nanti."
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong, mengaku sudah mendengar kekhawatiran para pelaku usaha terhadap kehadiran Starlink. Dia mengatakan pemerintah tak bisa membatasi layanan satu perusahaan.
Namun dia memastikan pemerintah pada prinsipnya membuka diri terhadap Starlink untuk mengisi kekosongan penetrasi Internet, terutama di daerah terluar ataupun daerah terpencil yang belum terjangkau serat optik. Penetrasi Internet Indonesia saat ini baru 78,19 persen.
Jika Starlink ingin berjualan di luar lokasi tersebut, Usman mengatakan mekanisme pasar bakal berjalan secara otomatis. "Soal harga bisa dikontrol supaya tidak terjadi banting-bantingan harga yang merugikan konsumen," katanya.
Pemerintah juga berjanji akan terus mendorong Starlink berkolaborasi dengan pemain lokal. Selain itu, pemerintah memastikan Starlink bakal mendirikan pusat operasi di Indonesia. "Jadi, mereka bisa mengawasi (penggunaannya), termasuk soal keamanan data atau risiko RT/RW net."
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo