Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengaku tidak tahu menahu mengenai wacana pemberian subsidi tiket kereta rel listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Jokowi mengatakan belum ada rapat mengenai hal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya tidak tahu karena belum ada rapat mengenai hal itu. Saya belum tahu masalah di lapangan seperti apa,” kata Jokowi ditemui usai acara di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, pada Jumat, 30 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana subsidi KRL berbasis NIK dilempar oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Menhub, seperti dikonfirmasi Antara di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024, juga mengatakan kebijakan itu masih dibahas.
Budi mengatakan, saat ini sedang dilakukan studi agar semua angkutan umum bersubsidi digunakan oleh orang yang memang sepantasnya mendapatkan subsidi. Namun, kata dia, semua opsi yang ada masih bersifat wacana dan belum ada keputusan final.
"Kami lagi studi bagaimana semua angkutan umum bersubsidi itu digunakan oleh orang yang memang pantas untuk mendapatkan, bahwa nanti kalau ada (berbasiskan) NIK, ya itu masih wacana, masih studi," kata Budi.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan atau NIK pada tahun depan. Menurut dia, kebijakan yang bakal berujung pada kenaikan tarif KRL itu malah berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
"Skema ini juga berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah," kata Achmad melalui keterangan tertulis kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2024.
Pasalnya, menurut Achmad, permasalahan bisa timbul dari sulitnya proses registrasi dan verifikasi masyarakat. Terutama, bagi pengguna KRL yang tidak memiliki kemudahan akses ke teknologi digital. "Mereka bisa kesulitan mendaftarkan NIK untuk mendapat subsidi," kata dia. Selain itu, tidak semua masyarakat yang membutuhkan subsidi ini bisa terjangkau kebijakan berbasis NIK.
Alih-alih menaikkan tarif dan menerapkan subsidi berbasis NIK, Achmad mengatakan, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan tidak memberatkan. Misalnya, dengan mempertahankan tarif KRL yang terjangkau untuk semua pengguna. "Ini bisa dibarengi peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan subsidi," ujarnya.
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Sang Pisang Sepi, Yang Ayam Kaesang juga Ditinggal Pembeli