Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLISI akhirnya disapih. Setelah 35 tahun menyusu pada ABRI, sejak awal April lalu Polri diminta berdiri sendiri, dengan induk semang Departemen Pertahanan, selama dua tahun masa transisi. Langkah bersejarah ini tentu menjadi ujian bagi polisi untuk bisa mandiri sekaligus menegakkan jati dirinya. Masalahnya, selama sekian tahun bergabung dengan ABRI, polisi yang sejatinya adalah hamba hukum itu telanjur identik dengan tentara, yang punya tugas pokok sebagai aparat keamanan.
Meskipun demikian, masyarakat rupanya tetap berharap aparat hukum ini kembali ke jalurnya. Karena itu, mereka amat mendukung pemisahan ini. Hasil jajak pendapat TEMPO menunjukkan 78 persen responden menyatakan setuju dengan penyapihan ini. Dengan dilepasnya Polri dari payung lamanya, mereka yakin itu akan berdampak pada kemandirian polisi. Cuma, dengan menjadi mandiri, apakah otomatis polisi akan mengubah pola lama dalam pendekatan di lapangan yang sangat militeristik—yang mengedepankan kekuatan fisik—dan menggantinya dengan pendekatan hukum? Pendapat responden segera terbelah. Sebagian yakin polisi akan melakukannya, tapi dalam porsi yang hampir sama besarnya, sedangkan responden lain menunjukkan keragu-raguannya.
Sekian lama bersatu dalam kubah yang sama dengan tentara rupanya mencetak citra buruk polisi sebagai garda terdepan dalam penanganan masalah kerusuhan yang kini merebak di mana-mana. Lebih dari setengah jumlah responden menganggap polisi bakal keok bila tak dibantu tentara dalam aksi-aksi tersebut. Sepertiganya meragukan kemampuan polisi dan hanya 17 persen yang percaya bahwa polisi bisa digdaya. Tentu saja ini sebuah jawaban yang menyesakkan bagi polisi. Namun, bila kita melihat penanganan aksi kerusuhan belakangan ini, pendapat sebagian besar responden itu tak bisa disalahkan. Bahkan, seusai tragedi Trisakti bulan Mei tahun lalu, boro-boro polisi bisa menghentikan demo yang berlangsung. Mereka sendiri seperti menghilang dari jalan-jalan di Jakarta karena menjadi sasaran kemarahan massa.
Menghilangnya aparat polisi dari tempat umum ketika dibutuhkan sudah tentu merupakan cermin ketidakprofesionalan mereka. Hal itu juga yang ditangkap oleh responden TEMPO sebagai salah satu citra polisi yang menonjol. Yang lebih gawat, ternyata ada citra lain dari polisi yang lebih melekat: aparat yang suka memeras dan menerima suap. Pengalaman bertahun-tahun telah membuktikannya. Di sudut-sudut jalan, lazim ditemukan polisi lalu lintas yang awalnya begitu garang menegakkan aturan bagi pelanggar tapi berubah dalam sekejap setelah ''salam tempel" diangsurkan.
Akibat ''keluwesan" petugas ini, sikap pengguna jalan pun sebetulnya menjadi makin keterlaluan. Mereka terang-terangan merendahkan petugas. Para sopir truk di jalur pantai utara Pulau Jawa hampir selalu melempar kotak korek api berisi beberapa lembar uang ribuan setiap melewati pos polisi. Ironisnya, tak pernah terdengar cerita polisi yang dilempari lantas merasa tersinggung dan mengajukan tuntutan hukum atas tindakan kurang ajar tersebut.
Untuk itu, sebagai pihak yang berkepentingan langsung dengan polisi, masyarakat berharap agar masalah besar itu dibereskan. Kikis suap hingga ke akarnya. Ini sebuah kebiasaan mendarah daging yang sungguh sulit diberantas, terlebih untuk polisi yang gajinya teramat minim.
Yusi A. Pareanom
INFO GRAFISApakah Anda setuju Polri dipisahkan dari ABRI? | Ya | 78% | Tidak | 13% | Ragu-tagu | 9% | | Apa yang harus diperbaiki dari kinerja Polri? | Masalah suap | 49% | Ketidakmandirian | 12% | Gaya militeristis | 6% | Ketidakprofesionalan | 30% | Tidak tahu | 2% | | Apa citra Polri yang tepat saat ini? | Penegak hukum | 15% | Pengayom dan abdi masyarakat | 20% | Aparat yang tidak profesional | 28% | Aparat yang suka memeras dan menerima suap | 33% | Tidak tahu | 4% | | Apakah Polri mampu mengatasi kerusuhan tanpa bantuan tentara? | Ya | 17% | Tidak | 51% | Ragu-ragu | 31% | | |
Apa pengaruhnya setelah Polri dipisahkan dari ABRI? | |||||||||||
Setuju | Tidak | Ragu-raguPolri mandiri dan lepas dari garis komando ABRI | 43% | 25% | 31% | Pendekatan hukum akan lebih banyak dipakai Polri daripada pendekatan kekerasan | 41% | 19% | 40% | |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 507 responden di lima wilayah DKI pada 7-12 April 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Lihat Benefit Lainnya