Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Prakarsa Sebut Penurunan PPh Badan di Omnibus Law Tak Tepat, Kenapa?

Prakarsa mengkritik kebijakan pemerintah menurunkan PPh Badan di Omnibus Law Cipta Kerja.

9 Oktober 2020 | 17.49 WIB

Aktivitas pelayanan pajak di kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar kawasan Sudirman, Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2020. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penerimaan pajak per Juli 2020 turun 14,7 persen secara year on year (yoy) dari periode yang sama pada 2019. TEMPO/Tony Hartawan
material-symbols:fullscreenPerbesar
Aktivitas pelayanan pajak di kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar kawasan Sudirman, Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2020. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penerimaan pajak per Juli 2020 turun 14,7 persen secara year on year (yoy) dari periode yang sama pada 2019. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga riset Prakarsa menyoroti klaster perpajakan pada Undang-undang Cipta Kerja alias Omnibus Law. Pasalnya beleid itu memiliki poin antara lain seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen dinilai perlu dikritisi. "Pemerintah tidak perlu menurunkan tarif PPh Badan," ujar ekonom The Prakarsa Cut Nurul Aidha dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 Oktober 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sebabnya, ia melihat tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun. Sementara, pemerintah perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang menyejahterakan rakyat.

Penurunan tarif PPh Badan ini, kata Nurul, didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi. Namun, ia menilai alasan tersebut kurang tepat.

“Alasan ini kurang tepat karena yang paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penegakan hukum atas praktik korupsi, perbaikan sistem kemudahan berusaha, perizinan, kontrak bisnis, dan sistem pelaporan dan pembayaran pajak untuk badan usaha. Dengan itu, maka investor akan yakin untuk berinvestasi di Indonesia,” kata Nurul.

Di samping itu, Nurul melihat klaster perpajakan di dalam UU Cipta Kerja juga memuat pasal tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen di luar negeri. Pada pasal 111 disebutkan bahwa dividen yang berasal dari luar negeri oleh pemilik Indonesia tidak dipajaki apabila ditanamkan dalam bentuk investasi di Indonesia atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis lainnya di Indonesia dalam jangka waktu dan memenuhi persyaratan tertentu.

Penghapusan PPh atas dividen ini dianggap dapat mendorong penempatan dana yang lebih produktif di Indonesia dari pemilik modal dan pengenaan persyaratan terkait pengecualian PPh atas dividen ini dapat mengubah rezim pajak Internasional Indonesia menjadi territorial.

“Namun perlu dipahami bahwa penghapusan PPh atas dividen tidak selalu menjamin repatriasi atau pengembalian dana yang diparkir di luar negeri ke dalam negeri dan juga tidak menjamin berkurangnya risiko penghindaran pajak.” kara Cut Nurul Aidha.

Ia pun memberikan catatan khusus perihal pajak transaksi elektronik yang diatur dalam di dalam UU 2/2020, “langkah pemerintah memperluas basis pajak ke sektor ekonomi digital tersebut perlu diapresiasi. Ke depan, pemerintah perlu menyusun langkah yang lebih jelas dan terukur agar mampu optimal mengejar potensi penerimaan negara dari bisnis digital,” kata dia.

Memperkuat argumen rekannya, ekonom The Prakarsa lainnya, Herawati menyoroti UU Cipta Kerja Pasal 156B tentang Pajak dan Retribusi yang menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Ia mengkritisi langkah pemerintah yang berharap insentif pajak di daerah dapat meningkatkan jumlah investasi ke daerah.

“Memposisikan kebijakan insentif perpajakan sebagai daya tarik bagi penanaman modal bukan cara yang paling tepat, berbagai hasil riset menunjukkan bahwa insentif pajak bukanlah pertimbangan utama investor dalam menempatkan investasinya. Oleh sebab itu, rencana kebijakan insentif pajak oleh pemerintah daerah harus dibatalkan, selain tidak efektif menarik investasi juga sangat rawan penyelewengan oleh otoritas di daerah dan sangat susah untuk diawasi karena jumlah pemda sangat banyak,” ujar dia.

Alih-alih, Herawati menilai pemerintah   harus     meningkatkan     transparansi    pemberian insentif perpajakan yang mengedepankan asas  keterbukaan,  termasuk  mengeluarkan  regulasi  terkait ketentuan fasilitas insentif dan relaksasi pajak pada tingkat regulasi teknis, PP atau PMK Menkeu. Selain itu, pemerintah harus  melakukan  studi  yang  komprehensif  terkait  korelasi  pemberian  intensif  pajak  dengan  tingkat  investasi yang masuk.

"Hal ini perlu agar potensi hilangnya pendapatan pajak yang seharusnya diterima (revenue forgone) tidak terjadi. Ke depan, pemerintah perlu melakukan reformasi sistem perpajakan yang lebih komprehensif dan transparan,” ujar dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus