Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STRUKTUR Kementerian Agama bertambah tambun setelah pembentukan unit kerja baru. Namanya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Dibentuk pada akhir September lalu, pendirian badan ini merupakan babak baru penerbitan sertifikasi halal.
Setingkat eselon I di kementerian, BPJPH memiliki tiga fungsi sekaligus, yakni pusat registrasi dan sertifikasi halal, pusat pembinaan dan pengawasan jaminan produk halal, serta pusat kerja sama dan standardisasi halal. Badan layanan umum itu dibantu sekretariat badan. "Sudah disiapkan aturan struktur organisasinya," kata Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Muhammad Thambrin kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Pemerintah, menurut Thambrin, berencana menyelenggarakan lelang jabatan untuk mengisi unit kerja baru tersebut. "Pemerintah serius melaksanakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal," ujarnya.
Tapi pemerintah tak bisa segera merekrut tim. Soalnya, masih ada satu pekerjaan rumah yang belum selesai, yakni merampungkan penyusunan peraturan pelaksanaan jaminan produk halal.
Dua tahun dibahas, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Produk Halal (RPP JPH) belum juga selesai. Padahal, menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal, aturan pelaksana produk halal harus rampung sebelum 17 Oktober lalu. "Selama belum ada peraturan pelaksanaan, sertifikasi halal tetap di MUI," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan Shaberah, Rabu pekan lalu.
Thambrin mengakui pembahasan RPP produk halal alot dan berliku. Tim panitia antarkementerian, menurut dia, tak kunjung sepaham. Terutama saat membahas implementasi jaminan halal untuk produk kosmetik dan obat-obatan. "Setiap pasal yang termuat dalam RPP harus dipastikan tidak tumpang-tindih dengan regulasi lain serta memberi maslahat kepada semua," ucapnya.
Meski begitu, Thambrin mengklaim proses penyusunan aturan pelaksana ini sudah mendekati tahap akhir. "Draf telah selesai dibahas panitia antarkementerian. Tinggal dirapikan normanya," ujarnya.
Pembahasan pasal yang paling alot adalah mengenai produk farmasi. Kementerian Kesehatan ngotot menolak produk farmasi diwajibkan memperoleh sertifikasi halal. Alasannya: 99 persen dari 930 zat aktif obat di Indonesia diimpor. "Formulasi obat sangat kompleks," kata Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang.
Thambrin mengakui hal tersebut. Itu sebabnya, menurut dia, akan ada kelonggaran waktu untuk produk farmasi. "Akan dibuat masa transisi. Jangan sampai orang memilih mati karena tidak ada produk halal," ujarnya.
Para pelaku usaha waswas terhadap implementasi Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Sebagian pelaku usaha khawatir kewajiban sertifikasi produk halal, yang diatur dalam Undang-Undang JPH, akan membuat gejolak di industri. Tiga sektor yang bakal terpengaruh adalah industri makanan dan minuman, farmasi, serta kosmetik. Produk makanan dan minuman wajib memperoleh sertifikasi halal pada akhir 2016. Adapun produk kosmetik dan farmasi pada 2019.
Selain proses yang bertambah panjang, dampaknya akan membuat harga sejumlah barang di dalam negeri melonjak. "Ini membuat blunder," kata Danang Girindrawardana, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik, Rabu pekan lalu.
Menurut dia, undang-undang terlalu luas mengatur hal yang tak perlu. Bukan hanya untuk industri makanan dan minuman, sertifikasi halal juga mencakup produk barang dan jasa yang terkait dengan makanan dan minuman, termasuk proses produksi dari hulu ke hilir. Hal itu akan menciptakan kerumitan di pasar karena bahan baku industri sebagian masih impor. Tak hanya meresahkan pengusaha dalam negeri. Sejumlah negara lain juga resah. Sebab, ekspor mereka ke Indonesia bakal tergerus bila tidak mengantongi sertifikasi halal.
Thambrin mengakui sejumlah negara, seperti Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang, datang untuk bertanya-tanya mengenai sertifikasi halal. "Duta besar mereka datang ke ruangan ini," ujarnya. Ia menuturkan, negara-negara eksportir akan menyesuaikan syarat halal yang diminta Indonesia.
Danang membantah kabar bahwa negara asing siap mengikuti kewajiban sertifikasi halal. Kepada Apindo, kata dia, mereka mempertanyakan kenapa label halal bersifat wajib, yang mau tidak mau mengatur juga produk dari luar. "Mereka menyatakan keberatan karena sertifikasi halal dianggap sebagai international barrier," ujarnya.
Itu sebabnya, kata Danang, Apindo menolak jaminan produk halal sejak dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Selama delapan tahun, Apindo memberikan advokasi. Menurut dia, Undang-Undang Jaminan Produk Halal justru bukan melindungi konsumen muslim. "Yang kelihatan menonjol malah aspek ekonominya," ujar Danang. Dia menilai produk hukum ini prematur karena ada kesalahan semantik dan kontradiksi antarpasal.
Menurut Danang, Apindo akan mengirimkan surat ke Presiden pekan depan. Isinya meminta peraturan pemerintah tidak diterbitkan. "Kalau PP sampai terbit, kami akan menggugat uji materi ke Mahkamah Konstitusi," katanya.
Edy Putra Irawady, Deputi Menteri Koordinator Bidang Industri dan Perdagangan Kementerian Koordinator Perekonomian, mengaku kecolongan dengan lolosnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal di DPR pada Oktober 2014. Menurut dia, kementeriannya sejak awal tidak mengikuti proses pembahasan dengan intensif karena RUU Jaminan Produk Halal merupakan inisiatif parlemen.
Meski kemudian diambil alih pemerintah, RUU tersebut hanya dibahas oleh Kementerian Agama. "Undang-undang itu terbit di masa injury time saat pemerintahan transisi dan partai-partai sibuk pemilu," ujar Edy Putra, Selasa pekan lalu.
Menurut dia, aturan jaminan produk halal tak hanya mengurusi masalah keyakinan umat Islam, tapi sudah mengatur banyak aspek perekonomian. Buktinya, undang-undang tersebut dikeluhkan pelaku usaha dalam dan luar negeri. Pemerintah juga direpotkan karena semangatnya bertolak belakang dengan upaya deregulasi dan debirokratisasi menarik investasi. Kementerian Perekonomian, kata Edy Putra, menunggu terbitnya aturan pelaksana jaminan produk halal. "Kami akan ikut bahas kalau sudah selesai draf peraturan pemerintahnya," ucapnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam menilai siapa pun berhak untuk tidak sependapat dengan rencana implementasi undang-undang ini. "Menerima atau menolak adalah hak yang bersangkutan," tuturnya Rabu pekan lalu.
Nur Syam mengakui posisi Kementerian Agama terjepit di antara pihak yang pro dan kontra. Namun Kementerian Agama akan tetap melaksanakan undang-undang tersebut. Pemerintah, kata dia, ingin melindungi hak muslim agar memperoleh jaminan produk halal. "Badan Penjamin Halal ini menunjukkan pemerintah hadir buat warga negaranya," ujarnya.
Nur Syam membenarkan perjalanan hukum produk halal cukup panjang. Pembahasan topik ini menelan waktu sembilan tahun hingga lolos proses legislasi di Komisi Agama DPR. Banyak hal diperdebatkan, antara lain saat mengalihkan kewenangan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia ke Kementerian Agama. "Jalan komprominya, MUI tetap punya kewenangan memberikan fatwa," kata Nur Syam, yang juga mantan Ketua Panitia Kerja RUU Jaminan Produk Halal.
DPR menginginkan badan penyelenggara merupakan badan yang langsung berada di bawah presiden. Sedangkan pemerintah ingin penyelenggara sertifikasi halal adalah organ di bawah Kementerian Agama.
Menurut Nur Syam, kompromi kedua yang juga alot adalah undang-undang yang bersifat mandatory atau voluntary. Pemerintah, menurut dia, sesungguhnya bertahan dengan konsep voluntary karena sadar kemampuan dan kapasitas untuk melakukan pemeriksaan produk halal masih terbatas.
Apalagi, kata dia, masyarakat Indonesia sangat majemuk sehingga tidak semua produk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, dan lainnya harus bersertifikat halal.
Namun Panitia Kerja DPR menyatakan, kalau sertifikasi bukan kewajiban, apa bedanya dengan periode masa lalu. "Kalau tidak berani menyatakan sebagai kewajiban, kita semua yang akan menanggung dosa kalau ada produk tidak halal digunakan," ujar Nur Syam, mengutip perdebatan di parlemen saat itu.
Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo