Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cerita Pawang Berita Pak Wu

Pengusutan kasus suap yang menyeret Nurhadi dan Lippo Group diwarnai upaya mengatur berita dengan imbalan uang. Terungkap di persidangan, dibenarkan reporter lapangan.

31 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STEFANUS Slamet Wibowo irit bicara setiap kali Tempo bertanya tentang dugaan pengaturan berita seputar Lippo Group dan bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. "Kutip dari persidangan saja," kata Direktur PT Kobo Media Spirit ini, Rabu pekan lalu. "Saya tak mau berpolemik, klien saya complicated."

Nama Slamet mencuat dalam pusaran suap yang menyeret Sekretaris Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi mendatangkan Slamet sebagai saksi di persidangan pada Rabu dua pekan lalu. Jaksa menampilkan surat elektronik dari Slamet kepada Paul Felix Montolalu, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, anak usaha Lippo Group.

Surat elektronik tersebut memuat penawaran jasa agar pemberitaan tentang Nurhadi dan Lippo tetap positif setelah KPK menangkap Edy pada 20 April lalu. Komisi antikorupsi mencokok Edy ketika menerima uang suap Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugerah. Sogokan tersebut diduga berkaitan dengan pengaturan perkara Lippo Group di pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung.

Penangkapan Edy menjadi berita besar karena beberapa jam setelahnya KPK menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir V, Jakarta Selatan. Dari rumah itu, KPK menemukan berkas perkara Lippo Group. Penyidik KPK juga menyita uang senilai Rp 1,7 miliar dalam rupiah dan lima mata uang asing.

Dalam proposal yang dikirim ke Paul, Slamet menawarkan jasa pengamanan berita di 14 media massa. Tarif tiap kantor berita, menurut proposal itu, bervariasi. Total dana yang diajukan Slamet sebesar Rp 2,625 miliar. "Namanya usul, angka itu bisa diterima atau ditolak oleh klien," kata Slamet di persidangan. Meski ditanyai jaksa, Slamet tak terang menjelaskan apakah proposal tersebut sudah cair atau belum.

Menurut Slamet, bila proposal semacam itu disetujui, ia akan menugasi orang lain untuk menemui wartawan di lapangan. Slamet menyebut perantara itu pawang. "Pawang adalah tim rekaan saya," katanya.

Majalah Tempo dan Koran Tempo termasuk dari belasan media yang tercantum dalam proposal Slamet. Koran Tempo diusulkan mendapat Rp 400 juta, sedangkan majalah Tempo diberi tanda "ad hoc-based".

Pemimpin Redaksi Koran Tempo Daru Priyambodo memastikan tak ada pengaturan berita seperti disebutkan dalam proposal Slamet. "Itu pencatutan nama yang sudah keterlaluan." Tindakan tersebut, kata Daru, "Sangat merugikan Tempo, yang selama ini dikenal independen dalam pemberitaan."

Arif Zulkifli, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, mengatakan hal senada. Menurut dia, majalah Tempo menulis berdasarkan fakta lapangan. Tempo tak pernah menulis berita positif tentang kasus Nurhadi. Menurut kode etik jurnalistik, kata Arif, Tempo juga melarang wartawan menerima imbalan dari narasumber. "Wartawan akan dipecat bila melanggar," ujar Arif. Tempo telah melakukan penyelidikan internal atas tuduhan Slamet. Termasuk dengan menemui dia. Namun belum ditemukan bukti wartawan Tempo menerima dana untuk kepentingan pemberitaan.

Tempo telah melakukan penyelidikan internal atas tuduhan Slamet. Termasuk menemui dia. Namun, belum ditemukan bukti wartawan Tempo menerima dana untuk kepentingan pemberitaan.

Di kelompok Lippo, Paul bukan orang sembarangan. Selain menjadi pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Paul pernah menjadi Direktur Utama PT Direct Vision, anak usaha Lippo lainnya. Di persidangan, Slamet mengatakan perkenalan dia dengan Paul sudah berlangsung lama.

Slamet mengaku lupa kapan pertama kali Paul memberi tugas pemantauan media massa. Yang jelas, kata Slamet, dia bekerja sama dengan Paul jauh sebelum Lippo terseret kasus suap Edy. "Paul meminta saya memantau pemberitaan terkait dengan unit-unit Lippo," ucap Slamet di persidangan.

Menurut Slamet, pemantauan berita tidak sama dengan pengamanan berita. Ia pun membantah terlibat "pengamanan" berita tentang Lippo dan Nurhadi yang sedang ditelisik KPK. Namun Slamet mengakui pernah dimintai tolong Paul untuk mengawal pemberitaan Nurhadi dalam kasus berbeda. "Itu konteksnya pemilihan Ketua Mahkamah Agung, bukan kasus ini," ujar Slamet. "Saya diminta memberitakan bahwa pemilihan Ketua MA bersih."

Keterangan Slamet di persidangan berbeda dengan kesaksian dia di depan penyidik KPK pada medio Juni lalu. Seorang penegak hukum bercerita, Slamet mulanya mengaku hanya mendapat order dari Paul untuk memantau isu soal Lippo. Belakangan, Slamet mendapat tambahan pekerjaan dari Paul untuk mengamankan pemberitaan tentang Nurhadi, yang disebut "Pak Wu". "Ia diminta melobi media agar menghilangkan nama Nurhadi atau petinggi Lippo," kata penegak hukum ini.

Di luar proposal yang terungkap di persidangan, menurut dokumen pemeriksaan, Slamet juga mengirim tagihan sebesar Rp 301 juta kepada Paul. Rinciannya, pada 8 Maret 2016, Slamet mengirim tagihan Rp 61 juta. Lalu, pada 10 Maret 2016, Slamet kembali menagih Rp 240 juta. Semua tagihan itu masih berkaitan dengan pemberitaan "positif" tentang Nurhadi.

Seperti ketika bersaksi di persidangan, Slamet berkukuh tagihan tersebut berkaitan dengan pemilihan Ketua Mahkamah Agung. "Berapa pun angka yang disebut sebagai tagihan sejatinya adalah kesepakatan saya dan Paul untuk membereskan tunggakan di masa lalu." Slamet pun tak mau menjelaskan mengapa Paul, sebagai orang Lippo Group, ikut mengurusi pemilihan Ketua MA. "Tanya ke Paul saja detailnya," ujar Slamet.

Paul dijadwalkan bersaksi untuk terdakwa Edy Nasution pada Rabu pekan lalu. Namun hari itu ia tidak hadir. Melalui aplikasi WhatsApp, Eric, yang mengaku adik Paul, membalas pesan dari Tempo. Eric mengatakan kakaknya baru saja menjalani operasi. Paul tak bisa diganggu karena sedang menjalani pemulihan.

Paul tak hanya mempekerjakan Slamet untuk pencitraan Nurhadi dan Lippo. Ketika diperiksa penyidik KPK pada medio Juni lalu, Paul mengaku memakai jasa Cyrillus Iryanto Kerong, Direktur Utama PT Lumbung Sejahtera Lestari. Perusahaan ini bergerak di bidang hubungan masyarakat dan media.

Kerja sama Paul dan Kerong dalam urusan Nurhadi rupanya sudah terjalin lama. Sewaktu diperiksa tim KPK pada awal Juni lalu, Kerong mengaku beberapa kali mendapat "pekerjaan" dari Paul. Pekerjaan itu, lagi-lagi, untuk menjaga kesan positif Nurhadi di media massa. Misalnya pemberitaan seputar pernikahan anak Nurhadi pada Maret 2014 yang heboh karena bingkisan untuk tamu undangan berupa iPod. Kemudian ada pemberitaan tentang ruang kerja Nurhadi yang terbilang paling "mewah" di Mahkamah Agung. Terakhir, berkaitan dengan penangkapan Edy Nasution. Total, Paul memberikan uang Rp 68 juta kepada Kerong untuk mengamankan tiga isu itu.

Kerong belum bisa dimintai konfirmasi. Berkali-kali dihubungi, ia tidak membalas. Surat yang dikirim Tempo ke kantor Lumbung Sejahtera di lantai 8 unit 829 Apartemen Citylofts, Jakarta Pusat, sejak Selasa pekan lalu, belum berbalas. Jumat pekan lalu, Tempo untuk ketiga kalinya mendatangi kantor Kerong. Penjaga kantor yang mengaku bernama Bei mengatakan sudah sepekan Kerong tidak masuk. "Bapak juga sudah tahu ada surat dari majalah Tempo," katanya.

Tempo juga berupaya meminta konfirmasi Nurhadi atas penggunaan jasa konsultan media oleh Lippo. Namun, beberapa kali dikontak, nomor telepon seluler Nurhadi selalu tak aktif. Rabu pekan lalu, setelah bersaksi di persidangan, Nurhadi keluar melalui pintu khusus hakim. Ia lolos dari cegatan wartawan.

Direktur Lippo Group Danang Kemayan Jati juga enggan berkomentar. "Tanya ke yang bersangkutan saja," ucap Danang. 

Di lapangan, sejumlah wartawan membenarkan adanya upaya "pengamanan" berita tentang Nurhadi dan Lippo Group. Seorang wartawan media cetak yang bertugas di KPK bercerita pernah diminta menjaga nada pemberitaan agar lebih positif oleh rekan-rekan sekantornya. "Mereka bilang sudah bertemu dengan utusan Lippo," ujarnya pada Rabu pekan lalu. "Si utusan bilang semua media sudah aman."

Menurut wartawan tersebut, kawan-kawan di kantornya menyuruh dia menghubungi reporter lain, khususnya dari media elektronik, yang sehari-hari bertugas di KPK. "Saya dibekali Rp 10 juta untuk dibagi ke beberapa wartawan," katanya. Namun, dari lima wartawan yang ia temui, hanya seorang yang mau "bekerja sama".

Wartawan media lain di KPK mengaku pernah ditawari hal serupa oleh beberapa wartawan yang lebih senior. Tawarannya serupa: mengamankan pemberitaan. Yang berbeda imbalannya. Ada yang menawarkan Rp 2 juta per bulan. Ada juga yang menawarkan lebih tinggi, sekitar Rp 4 juta per bulan. "Saya tak berani ambil," kata wartawan muda ini.

Seorang wartawan media elektronik menguatkan cerita itu. Menurut dia, pemberitaan Lippo tidak benar-benar hilang. "Hanya bahasanya yang diperhalus," ujarnya. Misalnya, ketika membuat berita perkembangan pengusutan, nama Nurhadi dan Lippo dihilangkan. Kalau tak mungkin dihilangkan, namanya tak ditulis lengkap. Ada juga yang mengirim laporan lengkap. "Tapi oleh orang kantor dijadikan inisial atau dipotong," kata si wartawan.

Syailendra Persada, Anton Aprianto, Muhamad Rizki, Maya Ayu Puspitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus