RAKYAT Pacitan, Jawa Timur, sudah biasa bergelimang di lumpur putih, menambang mineral gips (gypsm). Produksi mereka antara 500 ton dan 800 ton per tahun. Sekitar 450 ton habis diserap industri pembalut (plester) dan industri tahu, yang menggunakannya sebagai zat penggumpbal. Sebaliknya, industri semen, yang membutuhkan gips sebagai zat pelambat membekunya semen, harus mengimpor sekitar 500.000 ton per tahun, dari Australia, Amerika, Jerman, dan Muangthai. Namun, devisa sebesar US$ 15 juta, yang biasa dihabiskan untuk impor mineral itu, sudah bisa dihemat. PT Petrokimia Gresik sejak pertengahan bulan lalu, sudah mulai memproduksikan gips kimia dengan kemampuan produksi sekitar 440.000 ton per tahun. Nilai gips kimia itu hampir Rp 27.000 per ton, sedangkan gips mineral Impor dari Australia sekitar Rp 30.000 per ton. Gips produk perdana di Petrokimia itu dijamin direktur penelitian dan pengembangannya, Ir. Soeratman, "Tak ada bedanya dengan kualitas impor." Namun, diakuinya, produk itu belum 100% memuaskan. Warnanya masih kehitaman - mestinya keabu-abuan mirip kapur. Gips itu, sebenarnya, hanyalah produk samping dari asam fosfat. Gips itu merupakan produk salah satu dari lima unit baru perluasan II PT Petrokimia. Investasi untuk perluasan ini sekitar Rp 200 milyar - yang sebagian merupakan kredit investasi 12 tahun dari Exim Bank Jepang. Pada peresmian operasi kelima unit baru. di atas tanah 40 hektar itu - yang menyatu dengan 410 hektar areal pabrik sebelumnya - Dirjen Industri Kimia Dasar, Ir. Sidharta mengatakan bahwa kompleks masih akan diperluas lagi dengan pabrik pupuk TSP III. "Investasi yang ditanam di kompleks ini semakin besar. Karena itu, penggunaan tanah dan pabrik harus semaksimal mungkin," kata Dirjen. Karena itu, pabrik Petrokimia Gresik mengoperasikan pabrik asam sulfat pada kapasitas penuh, 550.000 ton, kendati kebutuhan bahan baku pupuk itu untuk Petrokimia Gresik cuma sekitar 450.000 ton. "Kelebihannya kami ekspor, sehingga bisa menghemat devisa impor bahan baku sekitar Rp 56 milyar," tutur Soeratman. Gips itu, yang akan diproduksi 440.000 ton sebagai hasil samping proses kimia pembuatan asam fosfat, tak akan diekspor. "Ongkos angkut mahal, sehingga perhitungan sampai ke Tokyo saja sudah akan merugikan," kata Soeratman. Namun, untuk pasaran dalam negeri, gips kimia itu akan cukup bersaing dengan gips tambangan impor. Pesanan sudah datang, antara lain dari pabrik Semen Gresik. "Tetapi jumlah dan harga masih dirundingkan," kata Soeratman. Para importir dan penambang gips di Pacitan tak perlu khawatir bahwa mereka akan tertekan pesero pemerintah itu. Kebutuhan gips akan semakin meningkat, antara lain bila pabrik Semen Madura sudah beroperasi. "Pada akhir Pelita IV, kami akan kewalahan melayani kebutuhan nasional," kata Soeratman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini