DARI Kudus di Jawa Tengah, Djarum ternyata tidak hanya menghasilkan rokok kretek dan puluhan atlet bulu tangkis. Tapi juga televisi warna Polytron, vang dirakit anak perusahaannya, PT Hartono Istana Electronics. Dalam waktu dekat ini, seperti dinyatakan manajemen pabrik itu kepada Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita, akhir bulan lalu, televisi warna tadi malahan akan diekspor ke Eropa Barat. Sejumlah contoh dikirimkan ke beberapa negara tujuan, seperti Belanda dan Jerman Barat. Sengaja bukan pasar Asia yang diincar, mengingat kawasan ini sudah lama adi semacam koloni bagi televisi eks Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Yang belum cocok, "Tinggal soal harga saja," ujar Chandra Adisusanto, direktur pelaksana Hartono Electronics. "Kemarin mereka minta harga lebih rendah dari yang kami tawarkan." Pemerintah kabarnya akan segera memberi perangsang dengan menerbitkan sertifikat eskpor, yang hakikatnya merupakan pengembalian rupiah atas segala bea masuk dan pajak impor pelbagai komponen televisi itu. Jika mujur, perusahaan itu bisa pula menikmati fasilitas kredit ekspor berbunga rendah. Lepas dari soal fasilitas itu, televisi warna 14 inci ini diharapkan bakal dapat pasar bagus di sana, karena hanya menyedot listrik 25 watt. Sengaja hanya layar kecil yang diekspor, mengingat "Yang ukuran gede sudah banyak dihasilkan Eropa," tambah Chandra. Belum jelas benar, dari 2.000 televisi warna yang dihasilkannya setiap bulan, berapa yang bakal diekspor. Bila permintaan dari luar negeri bagus, Hartono tampaknya perlu menambah karyawannya yang kini 350 orang, dan memperbesar kapasitas perakitan. Pihak Departemen Perindustrian, seperti dikemukakan Soeryo Soenarko, direktur Industri Alat-Alat Listrik dan Logam, tampak sangat mendorong usaha ekspor itu. "Prospeknya bagus," katanya. Pasar lokal sendiri sesungguhnya juga tidak mengecewakan. Selama tiga tahun pertama Repelita III, produksi televisi warna setiap tahun pukul rata meningkat 45%. Hanya tahun lalu produksinya jatuh dari sebelumnya yang 232 ribu lebih jadi 189 ribu, atau turun hampir 19%. Menurut lampiran pidato kenegaraan Presiden Soeharto di sidang DPR, Agustus lalu, penurunan itu disebabkan berkurangnya daya beh masyarakat, ditambah lagi barang serupa eks impor membanjir dengan harga lebih murah. Menurut laporan Bank Dunia kepada negara donor IGGI, Juni lalu, televisi warna 21 inci eks impor, misalnya, harga (cif) hanya 500 ribu, sedang yang rakitan lokal mencapai Rp 740 ribu. Kok, mahal? Proteksi berlebihan yang dijalankan pemerintah terhadap industri substitusi impor itu, kata lembaga keuangan ltu, ternyata malah mendorong munculnya ketidakefisienan. Skala produksi yang kecil, besar kemungkinan, juga menyebabkan naiknya harga pokok penjualan barang elektronik itu. Dalam kondisi seperti itu, B. Ichsani ketua Gabungan Pengusaha Elektronik, tentu saja, merasa agak bingung jika masih ada perakit yang berniat mengekspor produksinya. Maklum, bila soal biaya produksi dipertimbangkan, katanya, langkah ekspor itu aga "meragukan." Sebab, menurut dia, harga televisi rakitan lokal itu harganya rata-rata sudah 10%-15% di atas yang eks impor, kendati harganya belum lama ini sudah diturunkan sampai 8% - hingga mendekati harga pokok penjualan. Jadi, bagaimana mungkin Hartono Electronics bisa menjual televisinya di Eropa? Apakah perusahaan itu melakukan dumping? Belum tentu. Yang pasti, supaya calon pembeli tertarik, harga ekspor yang dipasang memang harus kompetitif. Karena alasan itu, harga Jual- ekspor, oleh perusahaan im ditetapkan lebih rendah dibandingkan harga lokal. Secara tidak langsung, "Harga jual ekspor itu nantinya disubsidi oleh harga lokal," ujar Chandra. Kalau usaha ekspor itu rugi, Djarum toh masih kuat mengepulkan asap kreteknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini