Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penyebab Produktivitas Pekerja Indonesia Rendah

Produktivitas tenaga kerja Indonesia termasuk yang rendah di kawasan Asia Tenggara.

10 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karyawan saat jam makan siang di wilayah perkantoran pusat bisnis di Singapura, April 2022. REUTERS/Edgar Su

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Produktivitas tenaga kerja di Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

  • Produktivitas rendah menjadi biaya tambahan bagi pengusaha.

  • Upah turut berkontribusi pada produktivitas pekerja di Indonesia.

JUMLAH tenaga kerja Indonesia melimpah, mencapai 144,64 juta orang, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional pada Agustus 2024. Namun produktivitas pekerja di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, bahkan Thailand.

Produktivitas pekerja adalah jumlah output yang dihasilkan setiap tenaga kerja dalam periode tertentu. Produktivitas mencerminkan efektivitas tenaga kerja dalam memproduksi barang dan jasa.

Indonesia berada pada posisi kelima di Asia Tenggara dalam hal produktivitas pekerja. Data dari International Labour Organization (ILO) menjadi buktinya. Lembaga tersebut mencatat setiap satu orang pekerja di Indonesia tiap jam kerja menyumbang US$ 14 terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Sedangkan Singapura bisa mencapai US$ 74, Malaysia US$ 26, dan Thailand US$ 15.

ASEAN Studies juga mencatat tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia rendah. Ini terlihat dari angka PDB per tenaga kerja yang hanya US$ 23,87 ribu. Angkanya lebih rendah daripada rata-rata ASEAN yang mencapai US$ 24,27 ribu per tenaga kerja.

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang rendah ini dipicu beragam faktor. Salah satunya terjadi karena kualitas pekerja yang rendah. Pasalnya, tenaga kerja yang ada didominasi lulusan sekolah menengah pertama ke bawah.

Badan Pusat Statistik mencatat, per Agustus 2024, penduduk bekerja terbanyak berpendidikan sekolah dasar ke bawah, yaitu sebesar 35,8 persen. Setelah berpendidikan SD ke bawah, penduduk bekerja terbanyak ada di level sekolah menengah atas sebesar 20,9 persen.

Para pekerja dengan pendidikan rendah ini tidak mendapatkan pelatihan yang optimal untuk meningkatkan kemampuannya. Padahal pekerja dengan keterampilan tinggi cenderung memiliki produktivitas tinggi. Anwar mencontohkan produktivitas per tenaga kerja di industri logam dasar, kimia, farmasi, hingga elektronik cenderung bagus. Namun serapan angkatan kerja dari industri ini sangat sedikit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi lain, pekerja dengan pendidikan lebih tinggi banyak yang tak sesuai dengan kebutuhan industri. "Dari sisi produksi, tata kelola kita dibanding negara tetangga tadi relatif tertinggal," ujar Anwar kepada Tempo, Kamis, 9 Januari 2025.

Saat negara lain sibuk melakukan inovasi, Indonesia masih berkutat mencari solusi agar para tenaga kerja yang ada bisa memenuhi standar keterampilan yang dibutuhkan industri.

Pemerintah mencoba mengatasi kondisi ini dengan menggalakkan lebih banyak pelatihan. Dalam lima tahun ke depan, Kementerian Ketenagakerjaan merancang rencana kolaborasi dengan beragam kementerian, lembaga, pengusaha, hingga lembaga pendidikan untuk mengidentifikasi masalah serta menyusun solusinya. Nantinya ada pusat produktivitas, wadah untuk mengukur produktivitas tenaga kerja.

"Kalau ada keinginan untuk menaikkan produktivitas, akan ada pendampingan diagnosis masalah dan apa yang harus dilakukan," kata Anwar. Pemerintah juga secara aktif belajar dari negara lain yang memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani juga menyoroti dominasi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah sebagai pemicu masalah produktivitas di Indonesia. Kondisi ini membatasi akses mereka terhadap pekerjaan dengan nilai tambah tinggi. “Selain itu, skills missmatch lulusan dan kebutuhan industri membuat banyak perusahaan kesulitan merekrut talenta berkualitas,” tuturnya. Infrastruktur pelatihan dari pemerintah yang belum optimal dan adopsi teknologi, terutama di sektor UMKM, yang masih terbatas juga berkontribusi membuat tingkat produktivitas yang rendah.

Kondisi ini berdampak bagi dunia usaha. Berdasarkan survei Roadmap Apindo, 29,82 persen perusahaan melaporkan kesulitan merekrut talenta berkualitas. Produktivitas tenaga kerja yang rendah juga membuat biaya produksi meningkat karena penggunaan waktu dan sumber daya yang kurang efisien. Daya saing produk di pasar, baik dari sisi harga maupun kualitas, menjadi menurun. "Pelaku usaha akan kesulitan mencapai scalability bisnis karena keterbatasan kapasitas tenaga kerja untuk memenuhi permintaan yang lebih besar," kata Shinta.

Dalam jangka panjang, rendahnya produktivitas juga dapat menghambat inovasi dan peluang ekspansi. Akibatnya, potensi keuntungan perusahaan tidak dapat dimaksimalkan secara optimal.

Shinta menegaskan bahwa produktivitas rendah bukan berarti tenaga kerja Indonesia tidak kompeten. Mereka hanya butuh peningkatan pendidikan, pelatihan, dan penyesuaian keterampilan dengan kebutuhan industri. “Dibutuhkan sinergi kuat antara pemerintah, bisnis, dan institusi pendidikan untuk menciptakan workforce yang lebih kompetitif dan adaptif,” ujarnya.

Karyawan saat jam makan siang di wilayah perkantoran pusat bisnis di Singapura, April 2022. REUTERS/Edgar Su

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Masalahnya, upaya tersebut tak mudah. Shinta mengatakan peran pemerintah lewat Balai Latihan Kerja (BLK) masih terbatas, meskipun mampu menghasilkan tenaga kerja dengan kemampuan dasar yang lebih baik dibanding lulusan sekolah menengah kejuruan. Akhirnya industri sering harus mengeluarkan biaya swadaya untuk menyediakan pelatihan tambahan karena lulusan SMK dan BLK belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan dunia usaha. Tantangan lain adalah keterbatasan perusahaan kecil dalam investasi teknologi dan pelatihan keterampilan, yang membuat mereka sulit bersaing dengan perusahaan besar yang lebih mampu berinvestasi dalam inovasi.

Apindo mencoba berkontribusi dengan aktif memberikan pelatihan kepada para tenaga kerja. Selain itu, para pengusaha mendirikan sekolah menengah kejuruan sendiri untuk memastikan pasokan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Adapun Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Mirah Sumirat mengatakan upah juga berkontribusi pada produktivitas tenaga kerja. "Tingkat upah rendah, maka produktivitas juga rendah," tuturnya. Upah yang rendah membuat para pekerja tak bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Rata-rata upah di Indonesia terpaut jauh dengan negara-negara tetangga yang memiliki tenaga kerja dengan produktivitas tinggi. Sementara di Indonesia rata-rata upah sebesar Rp 3 juta per bulan, di Thailand sudah menyentuh Rp 10 juta. Bahkan di Singapura, dengan tingkat produktivitas tertinggi di Asia Tenggara, rata-rata upah mencapai Rp 20 juta.

Dia berharap pemerintah memberi gebrakan untuk meningkatkan pendidikan angkatan kerja. Sekaligus memastikan kurikulum di sekolah sejalan dengan kebutuhan industri. Menurut Mirah, tak jarang para lulusan sekolah ini gagap ketika bekerja karena pelajaran yang mereka terima tak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Mirah juga menuntut peran perusahaan yang lebih besar terhadap peningkatan keterampilan pegawai mereka. Sayangnya sejauh ini tak semua perusahaan mampu. Tak bisa dimungkiri kebanyakan masih perusahaan dengan modal besar yang peduli dan bisa mengintervensi masalah produktivitas tenaga kerja ini.

Kendati rendah, produktivitas tenaga kerja di Indonesia tumbuh tiap tahun. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2021, produktivitas pekerja mencapai Rp 84,85 juta per tenaga kerja. Angkanya meningkat berturut-turut menjadi Rp 86,55 juta pada 2022 dan Rp 87,96 juta pada 2023.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Bergabung dengan Tempo sejak 2015, alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran ini terlibat dalam peliputan isu seputar ekonomi dan bisnis. Kini mengisi konten premium harian dan siniar Jelasin Dong!

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus