Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK cuma dengan Dana Moneter Internasional (IMF) Indonesia sering berselisih jalan. Dengan Bank Dunia pun pejabat-pejabat Indonesia acap berseberangan pendapat. Ketika pekan lalu Bank Dunia mengatakan kepada pers bahwa pihaknya menghentikan pencairan pinjaman senilai US$ 300 juta untuk program penanggulangan kemiskinan, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Erna Witoelar justru terkaget-kaget. "Kita terkejut," kata Erna. Kenapa? Erna menangkap kesan, Bank Dunia seolah-olah yang menunda pencairan pinjaman. Padahal, katanya, Indonesialah yang tidak sepakat dengan program yang ditawarkan Bank Dunia dan meminta agar pencairannya ditunda dulu.
Erna menjelaskan, pemerintah punya cara berbeda dengan Bank Dunia untuk menanggulangi kemiskinan. Bank Dunia, misalnya, tetap meminta bentuk pengentasan kemiskinan melalui "proyek", sementara Indonesia ingin agar bentuknya pembangunan berbasis komunitas. Kelompok swadaya masyarakatlah yang merancang dan melaksanakan programnya, termasuk mengusulkan masalah dananya. Soal persyaratan pun, Indonesia juga tidak bersepakat dengan Bank Dunia. Lembaga keuangan multilateral itu minta agar dikembangkan sistem pemantauan berjenjang, dari tingkat nasional sampai desa. "Kita tidak setuju karena itu akan memunculkan birokrasi baru," kata Erna.
Jadilah, kata Erna, pemerintah meminta agar Bank Dunia tidak mencairkan dulu pinjaman senilai US$ 300 juta dari komitmen semula US$ 600 juta. Indonesia sudah mencairkan pinjaman tahap pertama senilai US$ 300 juta pada Januari 2000. "Penundaan ini tak perlu ditangisi. Bukankah itu yang diinginkan Indonesia? Sekali lagi, ini bukan hukuman dari Bank Dunia terhadap pemerintah," kata Erna.
Menurut Ketua Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK), H.S. Dillon, sebagian penilaian Bank Dunia benar. Soal tidak efektifnya penyaluran pinjaman, misalnya. "Kita melihat hanya 40 persen bantuan itu yang benar-benar tepat sasaran," kata Dillon.
Kendati demikian, Dillon menilai bahwa tidak ada salahnya Indonesia mengubah strategi pengentasan kemiskinan yang selama ini tidak efektif. Menurut Dillon, program yang dirancang Erna, yakni program penanggulangan kemiskinan berjangka panjang yang lebih mendorong peran masyarakat (people-driven), memang lebih tepat. Selama ini, program pengentasan kemiskinan datangnya dari atas, dari perancangan sampai pelaksanaan. "Dan dananya akhirnya dikorup di jalan," kata mantan anggota Dewan Ekonomi Nasional ini.
Dillon juga menggarisbawahi bahwa jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat besar. Tahun lalu, Indonesia hanya berhasil mengurangi jumlah orang miskin dari 50 juta menjadi 46 juta. Namun, di luar yang hidup di bawah garis kemiskinan pun tetap masih rentan terhadap kemiskinan. Karena itu, program penanggulangan kemiskinan tetap harus dilakukan. Masalahnya, dari mana dananya?
Menurut Erna, bila Indonesia mampu mengoptimalkan penggunaan dana dalam negeri, pinjaman luar negeri tidak perlu digunakan. Dia mencontohkan bahwa pada tahun anggaran 1999/2000, Indonesia telah membatalkan pinjaman dari Bank Dunia sebesar US$ 370,8 juta, dan dari ADB sebesar US$ 349,55 juta.
M. Taufiqurohman, Rommy Fibri, Dwi Arjanto
Tabel Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan 1990-2000 | ||
---|---|---|
Tahun | Jumlah (juta) | Persentase*) |
1990 | 27,5 | 15 % |
1993 | 26,0 | 14 % |
1996 | 25,0 | 11 % |
1996 Susenas Februari | 22,0 | 17 % |
1998 Susenas Desember | 35,0 | 20 % |
1999 | 50,0 | 25 % |
2000 | 46,0 | 23 % |
Sumber: Biro Pusat Statistik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo