Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aset tersebut dulunya dimiliki Usman Admadjaja, pemilik Bank Danamon. Namun, karena untuk menyelamatkan Danamon pemerintah sempat menguras kasnya melalui pengucuran bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Usman kemudian harus mengembalikannya kepada pemerintah. Caranya dengan menyerahkan asetnya senilai Rp 12 triliun. Semua aset yang sebagian berupa aset properti ini kemudian disatukan dalam PT Bentala Kartika Abadi. BPPN-lah yang sekarang berusaha menjualnya agar uang negara bisa kembali. Dan peluang itu tampaknya kini terbuka.
Kalau aset Bentala banyak diminati, itu bukan hal aneh. Bisa dibilang, hampir semua proyek properti milik Bentala Kartika Abadi berada di kawasan kelas satu seperti Segi Tiga Emas, Jakarta. Sedianya, Usman akan membangun properti komersial seperti gedung perkantoran, apartemen, hotel, dan pusat perbelanjaan di sana. Namun, krisis ekonomi menghentikan mimpi Usman. Banyak proyeknya macet karena sebagian besar didanai dengan pinjaman dolar, di antaranya Kota Bentala (Kuningan, 18 ha), Kota Anggana (Sudirman, 10 ha), Kota Kasablanka (9,4 ha), dan Proyek Senayan (4 ha), yang semuanya kini terbengkalai.
Lantas, seriuskah para investor Singapura meneruskan berbagai proyek tadi? "Semua ini baru sebatas omong-omong. Belum ada satu pun yang menyatakan minatnya kepada BPPN," kata seorang pejabat BPPN. Boleh jadi, para investor itu memang baru sebatas melirik peluang yang ada. Sebab, kondisi bisnis properti sekarang ini memang benar-benar masih jeblok kendati sudah mulai menunjukkan geliatnya. Kalau mereka tetap memaksa melanjutkan proyeknya, dengan mudah bisa ditebak mereka akan rugi besar karena pasokannya memang berlebih.
Menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, kelebihan pasokan ini masih cukup besar. Lihat saja bisnis ruang perkantoran. Data Pusat Studi Properti Indonesia memperlihatkan bahwa tingkat hunian gedung perkantoran utama di Jakarta saat ini hanya sekitar 63 persen dari total pasokan ruang 3,27 juta meter persegi. Nasib bisnis perhotelan lebih mengenaskan lagi. Tingkat hunian hotel berbintang di Jakarta kini rata-rata masih di bawah 40 persen. Kondisi pasar apartemen juga tak berbeda jauh. Dengan kondisi seperti itu, membangun properti komersial sama saja dengan bunuh diri.
Tapi, kata Panangian Simanungkalit, tak ada salahnya jika investor mulai mengincar tanah sekarang. Dia memperkirakan, harga tanah akan terus meningkat seiring dengan makin habisnya ruang-ruang properti komersial. Kenaikan harga akan makin cepat menjelang 2003, ketika pasokan ruang perkantoran hampir seluruhnya terserap. Jika mereka membeli tanah sekarang, harganya terdiskon sekitar 40-50 persen dari harga sebelum krisis, yang berkisar Rp 8 juta-Rp 10 juta per meter persegi. "Kalau ada perusahaan yang mengincar proyek-proyek properti sekarang, itu sudah tepat. Ibaratnya, dia belanja di pasar pagi. Untungnya bisa sangat besar," kata Panangian.
Hanya, perusahaan itu harus juga memperhitungkan masa vakum selama 2-3 tahun. Sebab, hampir semua aset proyek properti yang mandek hanya berupa tanah matang. Dengan kondisi seperti itu, mereka benar-benar tidak bisa mengambil keuntungan apa pun dari tanah yang dibelinya karena hampir mustahil dibangun sekarang. Bahkan, mereka bisa rugi besar kalau membelinya dengan duit pinjaman bank.
Itu sebabnya Panangian yakin ada strategi tersembunyi di balik minat yang besar di kalangan investor Singapura ini. Panangian mengendus bahwa investor Singapura ini tampaknya sedang mengincar proyek yang lebih besar dan punya prospek lebih baik. Apa itu? Proyek mass rapid transport (MRT). "Singapura kan jago di sana. Jika mereka punya MRT, apa pun bisa dibuat dan mereka bisa menjual tanah di kawasan Segi Tiga Emas dengan harga lebih tinggi lagi," kata Panangian. Dan pemerintah Indonesia pekan lalu memang sudah memberi sinyal untuk meneruskan proyek MRT. Sayangnya, hasil endusan Panangian ini tak dapat dikonfirmasi ke pemerintah Singapura. Maklum, dalam kiat mencari untung tentu tak semua rahasia perusahaan boleh dibuka.
M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo