Ini memang bukan cerita kapal Jerman Timur yang bikin geger itu. Tapi, boleh jadi, sawab dan tulahnya tak akan kalah heboh. Ceritanya bermula ketika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merasa tak punya ongkos untuk mengoperasikan empat kapal riset kelautan Baruna Jaya. Ketimbang membiarkan asetnya menganggur, lembaga pemerintah itu memutar otak agar bisa memelihara barang mahal tersebut dengan harga murah.
Caranya? Kebetulan ada Racal Survey Limited Group dari Inggris yang berminat menyewa salah satunya: Baruna Jaya III (BJ III). Negosiasi pun dibuka. Setelah melalui sejumlah pembicaraan, awal Mei lalu, kontrak penyewaan BJ III akhirnya diteken oleh Iain Lowson dari Racal dan Bambang Setiadi, Deputi Ketua BPPT Bidang Pengembangan Sumber Daya Alam. Menteri Negara Riset dan Teknologi A.S. Hikam dan Direktur Racal untuk Eropa dan Afrika, Geoffrey Chant, ikut meneken sebagai saksi.
Sampai di sini kisah penyewaan BJ III kepada Racal kelihatannya mulus-mulus saja. Namun, kemudian terungkap kabar, kapal riset itu disewakan dengan harga kelewat murah: cuma US$ 1.520 per hari selama tiga tahun, cuma separuh dari harga sewa standarnya. Selain itu, BPPT masih harus menanggung berbagai biaya dan risiko. Misalnya biaya perbaikan kapal dan peralatan pembantunya, yang menghabiskan US$ 320 ribu hingga US$ 410 ribu.
Lalu, ada pula biaya pengiriman kapal sampai ke Singapura dan ongkos perbaikan alat pemetaan laut dalam. Semua biaya itu memang akan ditalangi Racal, tapi BPPT harus membayarnya dengan bunga 10 persen per tahun. Akibatnya, selama tiga tahun itu, BPPT cuma menerima sewa bersih Rp 6,3 miliar hingga Rp 7,2 miliar.
Yang lebih mengejutkan, proses penyewaan kapal itu dilakukan tanpa tender. Sebagaimana tersirat dalam surat Kepala Inspektorat BPPT Soekotjo Soeparto, lembaga yang pernah ''dibeking" mantan presiden Habibie ini ternyata tak pernah melakukan penawaran harga kepada Racal. Padahal, tulis Sukotjo, penawaran itu langkah penting untuk bahan pertimbangan para pemimpin BPPT dalam mengambil keputusan. Selain itu, kontrak sewa kapal tersebut juga melanggar peraturan pemerintah bahwa setiap proyek di atas Rp 1 miliar harus melalui tender. ''Itu tak dilakukan BPPT," ujar Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch.
Walhasil, ada indikasi, penyewaan kapal itu digelar dengan patgulipat yang merugikan keuangan negara. Jumlahnya? Dari selisih harga sewa saja, pendapatan yang hilang diperkirakan mencapai Rp 17 miliar (dengan kurs Rp 8.000). Belum lagi kerugian akibat isi kontrak yang memberatkan, karena BPPT diharuskan membayar biaya sendirian. Padahal, minimal, mestinya bermacam biaya itu ditanggung renteng dengan Racal.
Seakan belum cukup, sewa kapal ini kabarnya juga telah menyulut ketegangan antara BPPT dan Angkatan Laut. Pasalnya, pengelolaan kapal tersebut selama ini dilakukan personel AL. Ada kesepakatan, bila kapal hendak disewakan, AL harus diberi tahu tiga bulan sebelumnya. Namun, semua itu dilanggar BPPT. Akibatnya, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Achmad Sutjipto tersinggung berat. ''Ia langsung memerintahkan supaya awak kapal BJ III yang berasal dari AL segera turun," ujar sumber TEMPO di Mabes AL.
Pihak BPPT sendiri terkesan tertutup. Bambang Setiadi cuma menyatakan bahwa persoalan sewa kapal itu, ''Tak sesederhana yang dipikirkan orang." Semula Bambang menyanggupi untuk memberi keterangan panjang lebar. Namun, tak lama berselang ia mengontak balik dan memberitahukan bahwa ia dilarang berbicara oleh Menteri A.S. Hikam. ''Masalahnya nanti akan ditangani langsung oleh Pak Hikam sepulangnya dari Eropa," ujarnya.
Kita masih berharap bahwa Hikam tidak mengikuti pendahulunya, yang membuat berita besar gara-gara kapal.
Nugroho Dewanto, Arif Kuswardono, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini