Seperti beli kucing dalam karung. Ungkapan itu disampaikan Direktur Pelaksana Bank Danamon, Mahendra Wardhana, mengenai penjualan paket kredit di bawah Rp 5 miliar oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Mahendra agaknya tak punya padanan lain yang lebih cocok. "Sebab, kita dipaksa menggelar uji tuntas dengan cepat untuk segera menentukan nilai asetnya," katanya. Nah, kalau salah menghitung, bank pembeli kredit itulah yang harus menanggung rugi.
Tapi BPPN agaknya memang tak punya cara lain. Semula, lembaga superkuat itu berniat menjual kredit lancar di bawah Rp 5 miliar kepada lembaga keuangan untuk mempercepat proses restrukturisasi utang. Tentu saja, bank-bank seperti ikan yang sedang kelaparan dikasih umpan. Berebut. Namun, sebelum kebijakan ini digelar, tiba-tiba terpikir juga mengenai kredit bermasalah (kredit tak lancar, diragukan, sampai macet). Siapa yang mau beli?
Jika tak laku, BPPN-lah yang harus merestrukturisasinya. Padahal, jumlah nasabahnya bejibun dan pasti akan merepotkan. Data BPPN menunjukkan, saat ini ada 141 ribu nasabah yang punya kredit di BPPN di bawah Rp 5 miliar dengan nilai total Rp 12 triliun. BPPN sudah memutuskan hanya mengelola kredit korporasi di atas Rp 50 miliar. Karena itulah, BPPN kemudian memutuskan menjualnya dalam sistem paket.
Pendeknya, utang-utang itu dikelompokkan dalam satu keranjang yang bisa terdiri dari kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan kendaraan bermotor, dan kredit ritel sekaligus dengan nilai US$ 50 juta tiap paket. Paket ini terdiri dari macam-macam kategori kredit, mulai dari yang lancar sampai macet. "Ini memberi peluang bank agar mendapatkan penagihan yang optimal," kata Kepala Divisi Loan Work Out BPPN, Hendro Santoso. BPPN akan meluncurkan penjualan paket kredit itu mulai pekan ini. Sedangkan penjualannya akan dilakukan melalui lelang.
Menurut Kepala Riset Nomura Securities Indonesia, Goei Siauw Hong, langkah BPPN ini sudah tepat. Paling tidak, BPPN tak punya risiko dan tak punya beban administratif. "Kalau kredit itu tetap dipertahankan, urusannya bisa ruwet. BPPN tidak bisa menyewa tukang pukul untuk penagihan," katanya. Kendati demikian, risiko BPPN terletak pada hasil pelelangan ini. Jika peminatnya tak banyak, yang masuk ke kas BPPN akan terbatas.
Melihat model paket itu, boleh jadi bank-bank pembeli memang akan berpikir seribu kali sebelum membelinya. Sebab, dengan membeli kredit tersebut, risiko akan berpindah ke mereka. Otomatis, hal ini akan mempengaruhi rasio modal minimum (CAR) bank-bank tersebut.
Namun, menurut pengamat industri perbankan Mirza Adityaswara, bank-bank yang sehat akan diuntungkan penjualan model paket ini. Bank-bank itu akan mampu merestrukturisasi dan mendapatkan hasil penagihan yang lebih besar ketimbang harga pembeliannya. "Mereka tak perlu mencari nasabah lagi dan yang penting bank-bank itu bisa meningkatkan pertumbuhan kreditnya dengan cepat," kata Hong.
Hendro sendiri tak menyebutkan berapa kira-kira kemungkinan harga jualnya. Tapi, harganya pasti di bawah nilai buku karena kredit tersebut memang berasal dari kategori lima dan bank kreditornya sudah lama tak melakukan penagihan. Bekas Kepala BPPN Glenn M.S. Yusuf sendiri sebetulnya sudah mengungkapkan bahwa tingkat penagihan kredit macet yang tersangkut di BPPN hanya akan berkisar 30 persen. Agaknya, pernyataan Glenn bisa dijadikan semacam benchmark (patokan). Jika banknya pintar, ruang untuk mendapatkan keuntungan memang besar.
Meskipun seperti membeli kucing dalam karung, Mahendra sendiri menilai penjualan sistem paket ini tetap menarik. Menurut dia, kredit skala kecil biasanya lebih mudah diurus dengan nilai jaminan yang mencukupi. Pendapat ini dibenarkan Mirza. Katanya, kualitas aset kredit kecil biasanya lebih bagus.
Baguslah. Asal semuanya mesti dilakukan transparan dan adil.
M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini