Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Proyek Babi Terbesar

Antony salim cs melalui PT Sinar Culindo Perkasa membuka pulau bulan, riau. pulau ini dimanfaatkan untuk peternakan babi, komoditi ekspor ke singapura. meski kebagian rezeki, warga sekitar tergusur.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP Rabu petang, serombongan habi digiring ke tongkang. Dari Pulau Bulan, Riau, mereka dikapalkan ke Singapura, yang jauhnya cuma 25 km. Sesampai di negeri Lee Kuan Yew, barulah babi-babi gemuk itu dijagal. Kegiatan ini berlangsung sejak PT Sinar Culindo Perkasa membuka peternakan babi di pulau tersebut, dua tahun silam. Dan, "Sampai Desember nanti, target kami mengekspor babi 40 ribu ekor," ujar Harry Moerdani, yang aktif menangani peternakan. Target itu masih jauh di bawah anganangan, menjual 500 ribu ekor. Kebutuhan Singapura saja, menurut Harry, mencapai 1,3 juta ekor per tahun. Karena itulah, "Kami berupaya menguasai pulau ini keseluruhan. Maksudnya, hanya untuk kepentingan sanitasi," tambah Harry. Kini Culindo Perkasa baru memanfaatkan sekitar 1.500 ha dari 10.000 ha luas Pulau Bulan. Bisa dibayangkan betapa tak sedapnya bau menusuk yang tersebar dari pulau itu. Namun, ini sudah diperhitungkan sejak awal. Deretan kandang yang panjang tampak bersih. Tak ada air menggenang, tak ada juga sisa-sisa makanan. Barak babi itu pun dipisah-pisahkan, misalnya barak babi siap ekspor, barak babi bunting, barak anak babi. Masing-masing mendapat jatah kran otomatis, yang akan muncrat dengan sendirinya bila moncong babi -- yang berbau karena air liurnya menggesek kran itu. "Memang, sistem kami sudah internasional. Semua kami perhitungkan, sampai halhal yang kecil," tutur Sulistiawan, manajer umum perusahaan itu. Kotoran babi, misalnya, dibuang ke tempat pembuangan khusus (anaerobic lagoon), di areal 1 ha yang berkapasitas 30 ribu m3. Sanitasi dan pengelolaannya memang pantas mendapat acungan jempol. Pemiliknya juga bukan sembarang orang. Di samping Harry Moerdani dan Timmy Habibie -- keduanya pemegang saham Culindo Perkasa -- perusahaan itu merupakan kongsi tiga grup. Pertama, grup Lim Sioe Llong yang diwkili Antony Salim sebagai direktur utama kedua, grup Bimoli dengan Eka Tjipta Widjaja sebagai wakil presiden direktur ditambah grup ketiga, yang kabarnya berpengalaman di bidang pemasaran babi. Menurut Harry, membuka Pulau Bulan saja sudah menghabiskan Rp 9 milyar. Lalu untuk impor bibit unggul babi dari Amerika -- 1.771 ekor -- habis Rp 3 milyar. Turunan bibit unggul itu, kata Sulistiawan, bisa berbobot sampai 250 kg, padahal bobot ekspor idealnya 90 kg -- tak terlalu banyak kandungan lemaknya. Dengan teknologi padat modal, Culindo Perkasa mempekerjakan 220 orang, di antaranya dokter hewan, sarjana peternakan, dan tiga ahli dari Singapura. Gaji buruh terendah Rp 75 ribu per bulan, karyawan bergelar sarjana Rp 300 ribu per bulan, plus uang plesir 100 dolar AS tiap tiga bulan. Kendati sebagian besar pekerja beragama Islam, rupanya tak jadi masalah benar. "Paling-paling kami mengambil air wudu saja," ujar Catur. Dokter hewan itu mengibaratkan kerjanya sebagai dokter yang biasa pegang-pegang tubuh wanita -- bukan muhrimnya. "Karena sesuai dengan profesinya ya, nggak apa-apa," katanya sederhana. Menurut Harry, titik impasnya baru bisa diraih kira-kira tahun 1999. "Seandainya sudah jalan semua, pulau ini merupakan tempat terbesar di dunia untuk industri babi, dan sebagainya," ujar Harry. Dan sebagainya itu, antara lain, peternakan buaya, kodok, ayam, sayuran, buahbuahan. Kata Harry, investor lain juga diberi kesempatan, jika ingin bergabung. Sementara ini babi dulu, yang sampai pertengahan Juli 1988 sudah mengapalkan 9.200 ekor senilai Rp 0,5 milyar -- semuanya ke Singapura. Setelah babi bercokol di Pulau Bulan penduduknya yang meliputi 500 kepala keluarga -- kebanyakan nelayan -- juga kecipratan rezeki. Encim Ango, misalnya, bisa menjajakan rokok, minuman kaleng, telur ayam. Tapi ia tak tahu bahwa perusahaan itu mau menguasai seluruh Pulau Bulan. "Waah . . . janganlah saya digusur. Saya ini rakyat kecil yang dari dulu kerjanya begini," katanya sangat khawatir. Suhardjo Hs. dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus