"INVESTASI yang ditanamkan di sini Rp 15 milyar. Kalau kita menawarkan pelayanan yang baik, tak mungkin tempat tidur kosong. Kami bisa rugi terus," tutur dr. Kiagoes, direktur Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI). Sejak diresmikan Desember 1986, RSPI yang mewah itu pada bulan-bulan pertama langsung sakit. Sebaian besar dari 115 ranjangnya menganggur, rata-rata yang terpakai hanya 30%-40%. Akibatnya, "biaya produksi" per ranjang melonjak jadi Rp 120 juta per tahun. Benar-benar sangat tidak efisien. Lantas, dicarilah konsultan untuk menyehatkan RSPI. Tidak lewat tender tapi cukup dibicarakan oleh para pemegang saham. Tawaran pun datang dari Singapura, Taiwan, Jepang, dan Irlandia. RSPI memilih Tai Yu Business Management Consultant Corp. Ltd., dari Taiwan. Alasannya, di negeri Cina Taipei itu, banyak rumah sakit swasta berkapasitas 1.000-10.000 ranjang dengan biaya cuma Rp 60 juta per unit. Lagi pula, RSPI menginginkan konsultan yang berbudaya Timur, supaya pengetahuan lebih mudah ditransfer. Konsultan yang datang adalah Jack W. Chiang. Ia mengaku berpendidikan Amerika -- doktor di bidang administrasi rumah sakit (lulusan Universitas Alabama) dan M.B.A. Iulusan Universitas Mississippi, Amerika. Sebelum ke Indonesia, Jack pernah dua setengah tahun menjadi konsultan di RS Chang Gung, Taiwan, kemudian di RS King Fahd, Arab Saudi. Dan ia pernah juga mengelola rumah sakit di Alabama. Tapi apa yang dilakukannya di Pondok Indah? "Saya hanya bertindak sebagai jembatan antara para pemegang saham dan para dokter yang mengelola rumah sakit ini," ujar Jack. Ia mulai dari hal-hal sepele, seperti mematikan lampu atau AC yang menyala percuma, menutup ledeng yang terus mengucur, sampai memeriksa mengapa ada dokter yang tak pernah menerima pasien. Sejalan dengan itu, para pengelola RSPI yang umumnya dokter diwajibkan mengikuti kursus ekonomi, dan akuntasi. Jack juga minta agar inventarisasi dibenahi. Misalnya, tak perlu stok obat tahan lama, cukup yang cepat terpakai. Juga rencana pembelian peranti di atas Rp 1 juta harus lewat suatu komisi pembelian. Dalam pemakaian alat-alat mahal, seperti alat pelarik otak (scanning) dan pelarik kandungan (USG) yang berharga milyaran rupiah, RSPI bisa bekerja sama dengan RS Pertamina. Pasien, di samping membutuhkan dokter dan perawat, serta peralatan yang canggih, juga pelayanan yang cepat dan baik, kamar yang nyaman dan tarif yang rendah. Jika mereka puas, para pasien itulah yang akan mengiklankan RSPI ke luar. Dengan demikian, jumlah pasien meningkat, ada untung, dan gaji para staf bisa dinaikkan. Jack sendiri malu-malu mengakui bahwa gajinya sekitar US$ 10.000 (sekitar Rp 16 juta) sebulan. Untuk tenaga ahli kaliber dia, honor itu terbilang kecil. Menurut Kemal A. Stamboel -- direktur Price Waterhouse, perusahaan Amerika yang banyak menyalurkan konsultan di berbagai proyek pemerintah -- standar gaji konsultan berkisar US$ 12.000 (pribumi) sampai dua kali lipat (asing). "Itu standar Bappenas, kok," kata pengurus IkJtan Konsultan Indonesia (Inkindo) itu. Sejak kedatangan Jack Chiang, RSPI memang mencatat beberapa kemajuan. "Kini, rasio pengisian ranjang sudah mencapai 85%," tutur Kiagoes, bangga. Dewasa ini, biaya RSPI per tahun mencapai Rp 7 milyar atau sekitar Rp 60,8 juta per ranjang. Berarti, biaya sudah bisa ditekan sekitar 50%, jadi mendekati standar Taiwan. Toh, baru empat dari lima lantai RSPI yang terpakai. Kini, rumah sakit itu hendak meningkatkan jumlah tempat tidurnya sampai 250 unit, dengan memanfaatkan lantai yang menganggur tadi. Dan masa kerja konsultan Taiwan mungkin akan diperpanjang. Kiagoes yakin, prospek RSPI akan lebih cerah tahun depan. Tapi apakah mutu RSPI sudah mampu membendung pasien agar tidak berobat ke luar negeri, itu cerita lain lagi. M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini