Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Asuransi Harap Sabar

Tak semua perusahaan asuransi menjamin masa depan nasabahnya. PT Asuransi Jiwa Pura Nusantara jatuh pailit. Para nasabah di pelbagai cabang/pusat kecewa. polis yang jatuh tempo tak bisa diambil.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA tentang nasabah yang menipu perusahaan asuransi, itu biasa. Namun bila ada perusahaan asuransi "mengecewakan" nasabahnya, nah, itu baru luar biasa. Sekitar 60 ribu nasabah PT Asuransi Jiwa Pura Nusantara (AJPN) kini harap-harap cemas. Soalnya, perusahaan asuransi yang semula mereka harapkan bisa menjamin masa depan ternyata malah pailit. Situasi yang gawat ini mungkin tidak akan pernah mereka ketahui kalau saja tak ada kabar dari Palembang. Awalnya dimulai tahun lalu. Ketika itu, sekitar dua ribu nasabah heran, karena kurir yang biasa menagih premi selama beberapa bulan tidak datang. Lalu tiba-tiba saja Desember 1987, cabangnya malah ditutup, tanpa penjelasan apa pun. Beberapa pemegang polis yang sudah jatuh tempo bingung, karena mereka tak tahu ke mana kertas jaminan itu bisa dicairkan. Memang, kendati kantor cabang itu tutup, masih ada beberapa pegawainya yang bisa dijumpai -- tapi itu tidak menolong. Dari mereka hanya meluncur jawaban, "Harap sabar." Para nasabah naik darah. Beberapa di antaranya mengancam akan menghakimi setiap pegawai AJPN. "Kalau sampai ketemu, akan saya pukul dia, pokoknya saya puas," ujar seorang nasabah. Ada apa dengan AJPN? Jawab yang pasti hanya satu: AJPN kini nyaris tak berduit. Artinya, tidak hanya cabang-cabangnya saja yang morat-marit semua ada lima cabang tersebar di Medan, Palembang, Surabaya, Semarang, dan Bandung. Tapi juga kantor pusatnya, yang di Jalan Blora, Jakarta. Di kantor pusat itu, setiap hari pasti ada nasabah yang nongkrong. Tujuannya, kalau bukan untuk mengambil kembali premi yang telah dibayarkan, pasti untuk mencairkan polis yang sudah jatuh tempo. Apa daya, Jawaban Pusat setali tiga uang. "Harap sabar," cuma itu. Sampai kini belum diketahui pasti, apa yang menyebabkan AJPN bangkrut. Padahal, perusahaan asuransi ini pernah menduduki peringkat ketiga, setelah Bumiputera dan Jiwasraya. Lantas kenapa? "Sebenarnya sejak diambil alih oleh pemilik yang sekarang, keadaannya sudah sangat buruk," ujar E.M. Siregar, kuasa direksi AJPN. Menurut dia, yang mendirikan AJPN pada 1972 adalah Soerjo Wirjohadiputro. Ketika itu, selain sebagai pemilik, Soerjo menjabat direktur utama. Sementara itu posisi presiden komisaris dipegang oleh Ibnu Hartom. Tapi kedudukan Soerjo hanya sampai 1984. Tahun itu ia menjual AJPN kepada Bernard Ibnu Hardjojo. Menurut Siregar, saat itu Soerjo menggambarkan bahwa AJPN sedang dalam kondisi prima. "Tapi kenyataannya tidak demikian," begitu ia mengungkapkan. Konon, ketika transaksi berlangsung, ada ribuan polis yang jatuh tempo dan belum dibayar. Padahal, kata Siregar lagi, semua uang habis dikuras oleh pengurus lama. Akibatnya, setahun kemudian pemerintah mencabut izin operasinya. Itu berarti AJPN tak diperbolehkan lagi menerima nasabah baru. "Jadi, ibarat sudah kena kanker, kaki pun diamputasi." Benarkah? Soerjo menyangkal semua tuduhan Siregar. Menurut dia, penjualan ketika itu berdasarkan pada kemufakatan antara pembeli dan penjual. Bahkan menggunakan studi kelayakan segala. Sebaliknya, ia menuduh pengurus barulah yang menghabiskan aset AJPN. Misalnya saja, dengan menjual beberapa tanah dan bangunan yang ada di Bandung. "Aneh, beli perusahaan kok cuma mau hartanya, tapi tak mau menanggung risiko," ujarnya. Entah mana yang benar, yang pasti AJPN telah menelan banyak korban dari kalangan wong cilik. Seperti Sadimo, 47 tahun, yang tukang becak. Selama 10 tahun ia telah membayar premi sekitar Rp 800 ribu. Ketika muncul di AJPN Pusat, Sadimo hanya mendapat penerangan: kalau preminya ditarik, bakal dipotong, sehingga cuma bersisa Rp 327 ribu. Toh Sadimo setuju. Sialnya, kendati sudah diurus enam bulan, tetap saja jumlah yang disunat tidak dibayar. Tak kalah tragis adalah seorang bapak tua, 65 tahun, yang tak mau disebutkan namanya. Semula ia hanya berniat mengambilkan premi milik anaknya, yang telah dibayar selama delapan tahun senilai Rp 475 ribu. Jawaban yang diterima sama dengan yang diperoleh Sadimo: premi itu akan dipotong, tinggal Rp 250 ribu. Itu juga belum bisa dibayarkan, padahal, si bapak datang dari Palembang. Hal yang sama dialami Sudjadi, 44 tahun, seorang penduduk Jakarta. Pekan lalu, pada kunjungannya yang keempat kali, ia mendapatkan uangnya kembali. Tapi, masya Allah, cuma Rp 15 ribu. Padahal, setelah melalui proses potongan, Sudjadi seharusnya punya hak Rp 298.395. Ia berniat mengambilnya karena anaknya hendak masuk ke perguruan tinggi. Dengan Rp 15.000 ia cuma bisa mengusap dada. Kok tega, sih," keluhnya. B.K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus