Di Pino, Bengkulu, tiap hari satu ton kelapa sawit dibakar. Lagi-lagi petani dirugikan. API masih mengepul dari tumpukan kelapa sawit Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit di Pino, Bengkulu Selatan. Bahan baku minyak goreng itu, kabarnya, sengaja dibakar PTP XXIII karena produksinya melimpah-ruah. Hal ini membuat Gubernur Razie Yachya berang. "Ini akibat ketidakbecusan mengelola hasil panen rakyat," ujarnya kesal. PTP XXIII, perusahaan negara yang mengelola kelapa sawit rakyat ini, memang tak lagi mampu menampung seluruh hasil panen. Hal ini jelas membingungkan petani. "Mau dikemanakan hasil panen. Kami hanya tahu menjualnya ke PTP," keluh salah seorang. Selama ini, biji kelapa sawit dijual ke PTP untuk diproses menjadi minyak sawit (CPO). Tapi kapasitas pabrik yang diresmikan Wapres Sudharmono tiga tahun silam hanya 35 ton sawit per hari. Padahal, hasil panen rata-rata 70 ton/hari. Kecuali itu, tangki minyaknya hanya berdaya tampung 60 ton, sedangkan produksi CPO sudah mencapai 107 ton/bulan. Kapasitas pabrik yang sangat tidak memadai itu menyulitkan kehidupan petani sejak satu tahun berselang. Kesulitan itu dahulu belum terasa karena banyak pohon sawit yang belum berproduksi. Kini panen melimpah, sedangkan kapasitas pabrik tidak bertambah. Tak ada jalan lain, pihak PTP menetapkan kuota. Hasil panen petani hanya dibeli setengahnya dengan harga Rp 30,6/kg. Formula ini pun tidak mempan, hingga tiap hari rata-rata satu ton kelapa sawit dibakar. Mungkin inilah akibat mengenaskan dari perencanaan yang tidak benar. PIR Kelapa Sawit Pino luasnya 4.000 ha dan petani yang terlibat sekitar 1.260 orang. Tiap petani menggarap 2 ha termasuk rumah bedeng dan halamannya. Tanah ini diangsur selama 20 tahun, pembayarannya diambil 30 persen dari hasil panen yang memang harus dijual kepada PTP XXIII sebagai pengelola. Menurut studi kelayakan, proyek ini akan meningkatkan penghasilan petani menjadi Rp 250 ribu per bulan per keluarga. Rupanya, teori ini meleset. Kenyataannya, seorang petani tiap bulan paling banyak bisa menjual sawitnya ke PTP senilai Rp 70 ribu. Setelah dikenai berbagai potongan -- untuk pupuk, obat-obatan, biaya angkut, simpedes -- mereka paling tinggi menerima Rp 30 ribu/bulan. Penghasilan sebegitu itu pun hanya diterima segelintir petani yang kebunnya bagus, berlokasi di pinggir jalan. Mereka yang lokasi kebunnya jauh dari jalan, nasibnya ya merana. Yanis, 40 tahun, hanya bisa melego 500 kg sawit ke PTP dengan harga dasar Rp 30,6. Setelah terkena potongan, ia menerima Rp 5 ribu saja. "Bagaimana cukup untuk makan," keluh ayah tiga anak ini. Tak heran bila mereka merasa hidupnya jauh lebih layak ketika belum menjadi peserta PIR. Mereka bebas bertanam kopi, cengkeh, dan tanaman lain yang bisa dipasarkan sendiri. Dengan adanya PIR, tanaman mereka dibabat, dan sebagai gantinya harus menanam kelapa sawit yang menurut mereka tidak menjanjikan harapan di masa depan. "Yang jelas, anak-anak kami terpaksa berhenti sekolah karena tak mampu lagi membiayainya," ujar Syafei, 50 tahun, ayah lima anak. Tentang "musibah" ini, pihak PTP XXIII Bengkulu lebih suka tutup mulut. "Silakan Anda menghubungi Dirut PTP XXIII di Surabaya. Kami di sini tidak berhak memberi keterangan kepada wartawan," ujar Hadisiswoyo, Wakil Direksi PTP XXIII Bengkulu, kepada Marlis Lubis dari TEMPO. Menurut sumber TEMPO yang menolak disebut namanya, keadaan tidak akan sesulit sekarang bila kredit Rp 29,6 milyar dari Arab Saudi lancar. Dana itu akan digunakan untuk membangun pabrik yang lebih besar, yang bisa mengolah seluruh panen PIR Kelapa Sawit di Bengkulu. Entah mengapa, realisasi kredit itu macet. "Mungkin karena Perang Teluk," ujar sumber itu. Gubernur Razie Yachya berjanji menyalurkan bantuan darurat untuk para petani, tapi ia akan mengecek dahulu ke lapangan. Hanya tak jelas bila pengecekan akan dimulai, dan kapan bantuan disalurkan. Hasan Syukur & Marlis Lubis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini