Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ramai Diperbincangkan, Hubungan Bubble Burst dan PHK Pegawai Startup?

Bubble burst diduga sebagai dalang dibalik PHK di perusahaan startup di Indonesia. Apa arti bubble burst itu?

31 Mei 2022 | 10.33 WIB

Ilustrasi startup. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi startup. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini diksi bubble burst ramai diperbincangkan. Hal ini muncul setelah kabar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara besar-besaran oleh beberapa perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia. Bubble burst atau ledakan gelembung diduga sebagai dalang dibalik PHK yang masif ini. Lantas apa itu fenomena bubble burst?

Melansir investopedia.com, bubble burst adalah sebutan untuk pertumbuhan ekonomi, ditandai dengan meningkatnya nilai pasar secara cepat, terutama kelas aset, melebihi nilai fundamentalnya dengan margin yang besar. Permintaan spekulatif, alih-alih nilai intrinsik, lantas memicu harga melambung.

Keadaan tersebut memicu meletusnya gelembung atau bubble burst, dan terjadi aksi jual besar-besaran sehingga harga turun, bahkan dengan cukup dramatis. Dalam banyak kasus, gelembung spekulatif diikuti oleh kehancuran sekuritas. Selain itu, perilaku pasar yang tinggi juga menjadi penyebab bubble burst.

“Kenaikan harga yang cepat, volume perdagangan yang tinggi, dan penyebaran dari mulut ke mulut adalah ciri khas bubble (gelembung),” kata Timothy R. Burch, selaku Associate Professor of Finance University of Miam, dilansir Public Broadcasting Service (PBS). Dengan demikian, bubble brust terjadi saat harga barang melonjak tinggi di atas nilai rill barang tersebut. Fenomena ini biasanya dikaitkan dengan perubahan perilaku investor.

Kerusakan akibat bubble burst tergantung sektor ekonomi yang terlibat dan tingkat partisipasi. Sepanjang riwayat, ada beberapa peristiwa yang disinyalir menjadi penyebab bubble burst. Misalnya, bubble burst pertama dikaitkan dengan kemerosotan jual beli tulip di Belanda pada abad ke-17.

Pada saat itu, tingginya permintaan bunga tulip menyebabkan petani bereksperimen dengan spesies dan warna. Hal ini membuat yulip menjadi objek spekulasi. Tulip menjadi komoditas sangat berharga, sehingga orang benar-benar menggadaikan rumah mereka untuk membeli umbi bunga tulip.

Bunga itu nanti akan dijual kembali dengan harga lebih tinggi.  Namun, kepercayaan konsumen terkikis tiba-tiba. Banyak yang menjual tulip sehingga pasarnya jatuh. Bunga ini menjadi tidak berharga. Banyak yang menganggap fenomena ini menyebabkan penurunan ekonomi selama satu tahun di seluruh Belanda.

NAOMY A. NUGRAHENI 

Baca: Marak PHK di Startup, Rudiantara: Bukan Bubble Burst

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus