Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rambu-rambu yang Ditabrak

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aparat Kejaksaan Agung mulai membongkar arsip-arsip kasus penyaluran bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mei silam, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Hendarman Supandji mengatakan bahwa timnya akan membuka kembali kasus penyimpangan BLBI meski Kejaksaan Agung sudah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). “Kami sudah membentuk tim BLBI,” katanya.

Pekan lalu, ia mulai membuktikan janjinya. Hendarman yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mengatakan, Kejaksaan Agung kembali akan mengajukan sidang in absentia dalam kasus BLBI yang melibatkan tersangka Agus Anwar (Bank Pelita). Sebelumnya, sudah dua terdakwa kasus BLBI yang diajukan dalam pengadilan in absentia, yakni Bambang Sutrisno (Bank Surya), dan Hendra Rahardja (Bank BHS).

Melihat hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penyaluran BLBI, agaknya memang aneh jika kasus ini mendapatkan SP3. Audit yang dilakukan menunjukkan ada banyak kejanggalan atau pelanggaran yang dilakukan baik oleh pejabat-pejabat Bank Indonesia maupun pengelola bank. Secara keseluruhan, ada 48 bank yang menerima BLBI senilai Rp 144,8 triliun.

Penyaluran BLBI bermula dari runtuhnya kepercayaan nasabah kepada perbankan nasional akibat kebijakan pemerintah melikuidasi 16 bank pada November 1997. Ketika itu, antrean nasabah yang menarik atau menutup simpanannya di bank-bank nasional sudah menjadi pemandangan biasa. Akibatnya, saldo bank merah menyala sehingga mereka meminta dana talangan dari Bank Indonesia dalam bentuk BLBI.

Bank Indonesia kemudian memberikan BLBI kepada bank dalam berbagai skema seperti saldo debet, fasilitas saldo debet, fasilitas diskonto, dan fasilitas surat berharga pasar uang khusus. Berdasarkan surat BI kepada bank, bantuan likuiditas itu hanya boleh digunakan untuk membayar dana nasabah.

Namun, dalam kenyataannya, dana BLBI digunakan untuk ekspansi kredit, menambah kredit kepada grup sendiri, bahkan sebagian kepada anak perusahaan yang sudah melanggar aturan batas maksimum pemberian kredit. Dana itu juga dipakai untuk meningkatkan aktiva neto valas, membeli atau membangun gedung baru, dan membagikan dividen.

Bank Pelita

Pelanggaran penyaluran oleh pejabat BI:

  • Pemberian saldo debet sebelum 31 Desember 1997 tanpa persetujuan direksi BI sebesar Rp 1,1 triliun.
  • Pemberian fasilitas surat berharga pasar uang khusus (FSBPUK) yang tidak sesuai dengan permohonan bank sebesar Rp 873,1 miliar.
  • Bank masih punya saldo debet setelah 12 Januari 1998 dan terjadi terus-menerus sampai bank dibekukan, 4 April 1998. Nilainya Rp 48,72 miliar.
  • Dana talangan valas hanya dijamin warkat koreksi jumlah pembukuan rekening BPPN, bukan surat berharga. Nilainya Rp 921,8 miliar.

Pelanggaran penggunaan oleh bank:

  • Dana BLBI digunakan menutup kerugian transaksi valas senilai Rp 99,1 miliar.
  • Dana BLBI digunakan membayar atau melunasi dana pihak ketiga terkait dan yang diduga terkait. Dana Rp 2,3 miliar itu disalurkan melalui rekening giro anak perusahaan.
  • Penggunaan BLBI untuk melunasi kewajiban yang timbul dari penarikan dana yang melanggar ketentuan. Jumlahnya Rp 488 miliar.
  • Pembayaran dana pihak ketiga terkait atas nama PT TC sebesar Rp 38,4 miliar.
  • Dana BLBI digunakan menutup kerugian transaksi valas Rp 394,4 miliar.
  • Ekspansi kredit dibiayai dengan short term interborrowing yang akhirnya menggunakan dana BLBI Rp 43,3 miliar

Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)

Pelanggaran penyaluran oleh pejabat BI :

  • Konversi saldo debet per 30 Desember 1997 menjadi FSBPUK berpotensi merugikan negara Rp 9,8 triliun.
  • Pemberian fasilitas saldo debet setelah 31 Desember 1997 berpotensi merugikan negara Rp 21,4 triliun.
  • Pembayaran dana talangan valas yang tidak sesuai dengan ketentuan BI yang berpotensi merugikan negara Rp 673 miliar.

Pelanggaran penggunaan oleh pejabat bank :

  • Pencairan giro dan deposito milik grup senilai Rp 248,6 miliar.
  • Pembayaran talangan atas transaksi netting swap antara bank dan sebuah perusahaan publik yang terlambat dilaporkan ke BI namun tetap dibayarkan BI. Nilainya Rp 904,6 miliar.
  • Transaksi pembelian valas RP 9,2 triliun yang dilakukan saat posisi devisa neto sudah melampaui ketentuan yang berlaku.
  • Pembayaran transaksi valas forward ke Amex yang jatuh tempo 11 Juni 1998 sebesar Rp 17,8 miliar.
  • Placement baru dengan menggunakan/menambah saldo debet sebesar Rp 1,448 triliun dan US$ 271,4 juta atau Rp 2,4 triliun.
  • Placement baru pada PT BB Tbk. dan PT BIP dengan menggunakan saldo debet masing-masing Rp 563 miliar dan Rp 45 miliar.
  • Pembayaran utang SKBDN grup terkait saat saldo giro bank di BI sudah merah sebesar Rp 44,8 miliar.
  • Pembayaran dana talangan ke kreditor luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah grup sebesar Rp 2,7 triliun.
  • Pembayaran debitor untuk melunasi kewajiban kepada kreditor luar negeri tidak diteruskan oleh bank. Kewajiban itu bahkan dilaporkan default agar ditalangi BI. Nilainya Rp 145,9 miliar.
  • Pemberian kredit valas melalui cabang Cayman dan Cook Island kepada debitor luar negeri sebesar US$ 182, 5 juta.
  • Pemberian kredit rupiah kepada grup terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di pasar uang antarbank (PUAB) sebesar Rp 4,98 triliun.
  • Pembelian/pembangunan bangunan baru periode Oktober-Desember 19997 senilai Rp 3,6 miliar.
  • Pembayaran utang Banker Acceptances untuk kepentingan bank dan nasabah grup dengan dana talangan BI sebesar US$ 213,3 juta atau Rp 1,9 triliun.

Bank Central Asia (BCA)

Pelanggaran penyaluran oleh pejabat Bank Indonesia :

  • Bank ini mengalami saldo debet berturut-turut sejak 9 Januari- 22 April 1998 dan 18 Mei-30 Juni 1998 tapi BI tidak melakukan stop kliring. Direksi BI memberikan persetujuan atas beberapa surat permohonan BCA agar diperbolehkan mengikuti kliring dan menyelesaikan kewajiban melalui kliring. Ini bertentangan dengan ketentuan direksi BI mengenai kliring dan sanksi stop kliring terhadap bank yang tidak dapat menyelesaikan saldo debetnya. Persetujuan saldo debet itu berdasarkan disposisi dua direktur BI.
  • Fasdis tahap I diikat dengan akta pengakuan utang dan jaminan tanggal 25 Mei 1998. Suku bunganya 150 persen dari JIBOR overnight satu bulan atau Rp 538,9 miliar. Tanggal 27 Mei 1998 malam, sesuai keputusan rapat direksi (risalahnya belum didapat BPK), bunganya diturunkan menjadi 125 persen. Alasannya, disamakan dengan bunga yang dikenakan BPPN. Akibatnya terjadi selisih sebesar Rp 89,9 miliar yang dikreditkan pada rekening giro BCA di bank sentral.
  • BI tidak melakukan penilaian atas seluruh jaminan yang diberikan bank itu. Setelah dinilai kemudian, jaminannya hanya 21 persen atau Rp 5,6 triliun dari jumlah BLBI yang dikucurkan.
  • Bank ini ditetapkan menjadi Bank Take Over (BTO), tapi sebulan kemudian bank ini masih menerima fasilitas diskonto tahap III sebesar Rp 10,7 triliun. Ini bertentangan dengan surat keputusan direksi yang menyatakan fasilitas itu hanya diberikan pada bank yang tidak berada di bawah pengawasan BPPN.

Pelanggaran penggunaan oleh pejabat BCA:

  • Pembayaran kepada pihak terkait sebesar Rp 10,2 triliun.
  • Pembayaran transaksi derivatif sebesar Rp 1,6 triliun
  • Penempatan dana antarbank saat BCA mengalami saldo debet sebesar Rp 681,5 miliar.
  • Pembiayaan ekspansi kredit saat BCA menerima dan belum melunasi BLBI Rp 2,6 triliun.
  • Penarikan dana pihak ketiga dari pihak terkait untuk dikirim ke luar negeri sebesar US$ 35,98 juta atau Rp 446,6 miliar.

Bank Danamon

Pelanggaran penyaluran oleh pejabat BI:

  • Pemberian izin saldo debet oleh direksi tanpa analisis dan prediksi akurat tentang likuiditas Bank Danamon. Pengucuran hanya berdasarkan pada besarnya penarikan dana dari BI baik melalui tunai, kliring, pindah antarkantor maupun transaksi pemindahbukuan.
  • Direksi BI tidak memberikan batas waktu dan jumlah maksimal saldo debet kepada bank itu secara tegas
  • BI memberikan dana FSBPUK lebih dari jumlah yang diminta bank itu. Bank mengajukan Rp 10,35 triliun, BI mengucurkan Rp 11,4 triliun.
  • BI tidak tegas menetapkan persyaratan jaminan yang harus diserahkan bank.
  • Dana talangan valas diberikan US$ 123 juta, tapi yang diikat perjanjian hanya US$ 121,2 juta.

Pelanggaran penggunaan oleh pejabat bank:

  • Membayar pihak terkait sebesar Rp 412,6 miliar
  • Membayar transaksi surat berharga (pembelian SBI) sebesar Rp 118,7 miliar.
  • Pembayaran transaksi valuta asing yang mengakibatkan BLBI naik Rp 9,4 triliun.
  • Penempatan dana antarbank yang menyebabkan BLBI meningkat Rp 1,5 triliun.
  • Membiayai ekspansi kredit Rp 1,7 triliun dan US$ 274,6 juta.
  • Penyertaan pada pihak ketiga yang menyebabkan BLBI bertambah Rp 4 miliar.
  • Investasi aktiva tetap yang menyebabkan BLBI naik Rp 381,6 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus