Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI kursi empuk dan ruang sejuk, tiga mantan petinggi Bank Indonesia “pindah kos” ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sejak awal Juli lalu. Hendro Budiyanto, Paul Sutopo Tjokronegoro, dan Heru Supraptomo diganjar hukuman penjara satu setengah tahun dan denda Rp 20 juta karena terbukti melanggar pengucuran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI adalah dana talangan bagi bank yang kehabisan duit karena dirush nasabahnya. BI mengucurkan Rp 144,5 triliun kepada 48 bank selama 1997-1999. Audit investigasi BPK pada 2000 menemukan sejumlah pelanggaran, baik dalam penyaluran maupun penggunaan itu dana.
Jumlah dana yang diselewengkan sangat besar, yaitu Rp 138,4 triliun atawa 97,8 persen dari total yang dialirkan. Laporan itu juga mencantumkan nama sejumlah petinggi Bank Indonesia dan ratusan komisaris dan direksi bank penerima dana kasbon itu. Hasil audit itu kemudian diserahkan BPK ke kejaksaan dan kepolisian.
Lima tahun sejak BPK mengungkapkan audit itu, kasusnya belum juga tuntas. Biasa. Hanya segelintir oknum yang diproses secara hukum, baik dari BI maupun para bankir penyedot dana empuk itu. Selain tiga mantan pejabat BI itu, hanya beberapa bankir yang diproses secara hukum. Di antaranya Hendrawan Haryono dari Bank Aspac, David Nusa Widjaja dari Bank Servitia, Hendra Rahardja dari Bank Harapan Santosa, Sjamsul Nursalim dari BDNI, dan Samadikun Hartono dari Bank Modern.
Hingga akhir 2002, baru 20 dari 52 kasus BLBI yang diselidiki dan disidik. Yang dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus. Yang tak tersentuh hukum lebih banyak. Sejumlah pejabat BI yang terindikasi terlibat bahkan masih bertahan di kursinya, bahkan kian empuk.
Para bankir memilih melarikan diri. Dengan rekening berlimpah, mereka bisa tinggal di luar negeri, menikmati dana yang harusnya bisa digunakan menangkal busung lapar, membeli virus polio, mengatasi flu burung, dan seterusnya.
Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI, misalnya, hidup sejahtera di Singapura. Dengan alasan tak sehat, dia berlabuh di negeri tamasya itu. Di tengah kontroversi keterlibatannya dalam penyelewengan dana BLBI, Jaksa Agung M.A. Rahman malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim, Juli 2004. Kasus dugaan penyimpangan BLBI sebesar Rp 10,5 triliun itu pun terhenti.
Direktur Utama Bank Danamon kala itu, Ninie Narwastu Admadjaya, menurut sumber Tempo sekarang bermukim di Amerika Serikat. Putri Usman Admadjaya, mantan pemilik Bank Danamon, itu dalam audit investigasi BPK menyalahgunakan dana kasbon tersebut (lihat infografik). Agus Anwar, yang terkait dalam pengucuran dana utangan di Bank Pelita, hidup gembira di Singapura, bahkan konon sudah jadi warga negara sana.
Inilah yang membuat kecewa dan tidak puas Ketua BPK, Anwar Nasution. Data sudah lama diserahkan, tapi yang dijerat hanya dalam bilangan jari. Kalaupun dihukum, masa tahanannya sangat ringan dibandingkan dengan duit negara yang sudah mereka jadikan bancakan.
Kini, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh berjanji akan menyidik lagi para pengemplang uang negara itu. Sejumlah SP3 yang pernah dikeluarkan akan diperiksa ulang. Jaksa Agung bergerak cepat karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan instruksi presiden tentang pengemplang uang negara.
Tersangka yang lari ke luar negeri akan dikejar. Pekan ini Kejaksaan Agung rencananya akan menggelar pengadilan in absensia terhadap Agus Anwar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bekas Direktur Bank Pelita ini dituding merugikan negara Rp 1,89 triliun.
Polisi berjanji akan membantu. Kapolri (ketika itu) Jenderal Polisi Da'i Bachtiar mengatakan sudah ada tim yang mencari mereka. "Mereka lari terus dan berpindah-pindah," katanya. Tapi, rute pelarian mereka sudah terdeteksi.
Petinggi Bank Indonesia yang terindikasi terlibat mulai dari level kepala urusan pengawasan bank sampai gubernur. Toh, beberapa di antaranya mengalami peningkatan karier. Padahal, audit BPK sangat jelas menyebut mereka yang terindikasi terlibat.
Mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, tercatat dalam audit itu. Nama Miranda Goeltom dan Aulia Pohan juga banyak menghiasi laporan BPK itu. Demikian pula nama Siti Fadjrijah, yang baru saja dilantik menjadi Deputi Gubernur BI.
Dia diduga terlibat dalam kasus Bank Danahutama dan Bank Pesona, yang sudah almarhum. Ketika itu Fadjrijah masih menjabat pengawas bank. Dugaan korupsi di Bank Danahutama mencapai Rp 88,3 miliar. Dana itu digunakan untuk membayar pihak terkait dan ekspansi kredit.
Direksi BI lain yang terlibat di bank itu adalah Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supraptomo, yang ketiganya kini penghuni bui. Pelaku lainnya mulai dari kepala bagian administrasi kredit, kepala bagian pemberian kredit I, deputi kepala urusan kredit, sampai pengawas bank.
Di Bank Pesona, nama Fadjrijah kembali muncul. Pejabat Bank Indonesia disebut tidak menyetop kliring bank ini, meski rekeningnya sudah terus-menerus bersaldo debet. Waktu itu, bank ini sebenarnya juga sudah tidak layak menerima bantuan karena rasio modalnya kurang dari dua persen.
Jaminan untuk dana talangan yang diberikan tak memadai, hanya 10 persen dari duit yang diterima. Bank waktu itu juga tidak sehat, saldo labanya direkayasa dan melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Pejabat BI juga tidak memberi penalti jatuh tempo seketika, meski syaratnya sudah terpenuhi.
Petinggi BI yang diduga terlibat di bank ini ada 12 orang, mulai dari kepala bagian administrasi, kepala bagian pemberian kredit I, sampai direksi. Heru Supraptomo dan Hendro Budiyanto ada di antaranya. Nama lainnya adalah Aulia Pohan dan Miranda Goeltom. Dua orang ini ketika itu menjabat Direktur Bank Indonesia
Tak seperti biasanya, Siti Fadjrijah menolak bicara. Sekretaris Fadjrijah mengatakan bosnya sangat sibuk sehingga tak punya waktu menjawab. Miranda Goeltom sedang berada di Medan ketika dikonfirmasi. Pesan singkat yang dikirim, setelah sekian banyak telepon yang tak diangkat, juga tak dijawabnya.
Aulia Pohan juga tak bisa dihubungi. Ketika ditelepon ke rumahnya, penerima telepon mengatakan mantan Direktur BI itu sedang salat. Ketika dihubungi kembali, selalu dijawab Aulia sedang tak di rumah.
Syahril Sabirin semula tak mau bicara soal ini. Istrinya, Murni, mengatakan dia dan suaminya belum tahu temuan itu. “Ketika suami saya masuk BI, BLBI sudah jalan,” katanya. “Dia diminta Presiden Soeharto kembali ke Indonesia dari Amerika, membenahi BI yang hancur luar-dalam. Sekarang kok dituduh begini-begitu?”
Menjelang salat Jumat, pekan lalu, Syahril bicara sedikit. Izin kliring terhadap bank yang saat itu mengalami saldo debet adalah kebijakan pemerintah. Saat itu situasinya sangat dilematis. Kalau kebijakan tidak diambil, banyak bank yang akan tutup.
Meski begitu, BI meminta jaminan pribadi dan perusahaan terhadap bank penerima BLBI. “Pak Anwar ngerti tuh soal BLBI,” katanya, sebelum berangkat dengan mobil Kijangnya. “Dia seharusnya yang menjawab.”
Pulang salat, Syahril kembali bicara. Dia mengatakan fasilitas diskonto II, yang diputuskan pada 3 Oktober 1997, bukan tanggung jawabnya. Saat itu dia belum masuk di bank itu. Dia baru menjabat di bank sentral itu sejak 28 Desember 1997.
Jika kasus ini kembali diungkit, meski akan sangat melelahkan, dia akan menghadapinya. “Orang kok belum kapok-kapok, ya, mau menghancurkan saya,” katanya. Syahril yakin tak bersalah. Kasus ini, katanya, murni soal kebijakan, tak ada urusannya dengan memperkaya diri. “Silakan periksa rekening saya di seluruh dunia, tidak ada yang saya peroleh dengan cara yang tidak halal,” katanya.
Syahril mendukung pemberantasan korupsi, tapi harus dengan benar dan adil. Jangan sampai orang yang tidak punya dukungan politik dikorbankan. “Saya tidak punya dukungan politik,” katanya. “Saya orang profesional, jadi saya jangan dikorbankan.”
Agus Anwar, yang melarikan diri ke Singapura dan menjadi warga negara sana, enggan berkomentar. "Semua kan ada kunci-kuncinya," katanya kepada Maria Ulfah dari Tempo, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Ditanya apakah ia terlibat dalam penyimpangan dana BLBI itu, jawabannya tetap tak jelas. “Kalau manusia itu diberi akal, harus mikir itu,” katanya, tanpa juntrungan. Kemudian teleponnya ditutup.
Mantan pejabat BPPN, Eko Budianto, menyatakan heran akan penyelesaian kasus BLBI yang tak pernah tuntas. “Pejabat BI seperti malaikat semua, mungkin dewa kalah sama mereka,” katanya gemas. Beberapa pemilik bank penerima dana tak patut itu juga seperti orang sakti yang tak bisa dijerat hukum.
Direktur Centre for Banking Crisis, Deni Daruri, juga mengatakan hal yang sama. Dia melihat adanya pilih kasih dalam mencokok pelaku BLBI. Kalau adil, seharusnya tidak hanya tiga mantan pejabat BI itu yang ditahan. Audit BPK sangat jelas menyebutkan ada beberapa direksi lain yang terlibat dalam kasus yang sama. Dia berharap mereka akan masuk dalam daftar orang yang akan dipanggil lagi oleh Kejaksaan Agung.
Leanika Tanjung, Rinny Srihartini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo