Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kopral Punya Otak, Apalagi Gubernur

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA kecewa dan tidak puas berkali-kali dilontarkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution. Bekas Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini tak mengerti mengapa Kejaksaan Agung dan Kepolisian tak tuntas menyelesaikan kasus penye-le-wengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut dia, hasil audit BPK sangat jelas menyebut pejabat yang terindikasi terlibat.

Ketika dilantik menjadi Ketua BPK pada akhir 2004, dia berjanji akan mengulik lagi masalah BLBI. Dalam wawancara dengan Leanika Tanjung dan S.S. Kurniawan dari Tempo di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu, Anwar banyak tertawa. Ia menertawakan keanehan di republik ini: duit negara terkuras, tapi pelakunya bebas berkeliaran.

Sejumlah pejabat BI, direksi, dan komisaris bank penerima BLBI terindikasi menyelewengkan dana BLBI, tapi hanya segelintir yang diproses hukum?

Sebaiknya pemerintah konsentrasi kepada mereka yang masih punya uang banyak. Harta dari kejahatan bisa disita kembali untuk membayar utang dan APBN. Semua pelaku tindak kriminal memang harus dihukum, tapi kelas kakap diprioritaskan.

Kasus BLBI keluar-masuk pengadilan dan tidak tuntas?

Berkali-kali saya katakan, inilah ongkos rekapitalisasi paling mahal se-panjang sejarah manusia kalau dihitung dari produk domestik bruto (PDB). Sebanyak 50 persen PDB amblas. Yang dihukum baru tiga mantan pejabat BI selama satu setengah tahun. Murah sekali. Beredar suara ada uang sogok. Hakim, jaksa, polisi, penegak hukum. Murah sekali uang sogok itu. Kasusnya triliunan rupiah, uang sogoknya cuma Rp 20 miliar. Saya pun mau itu. Bisa bangun bungalow di Nusakambangan (tertawa panjang).

Anda pernah bekerja dengan pejabat BI yang terindikasi penyalahgunaan BLBI?

Ini yang tak pernah tuntas. Maka itu saya mundur. Ingat, dulu saya mundur dari deputi ketika BI mendapat jatah kewajiban BLBI Rp 24,5 triliun.

Apa yang Anda lakukan di sana?

Saya kumpulkan pejabat senior Bank Indonesia. Saya katakan mau menye-la-matkan institusi. Saya tawarkan mere-ka mundur. Toh, kariernya mentok. Saya bilang, orang tak percaya lagi sama kau, titik.

Apa tanggapan mereka?

Sebagian mau pensiun dipercepat. Kalau dilakukan saat itu, saya kira lebih mudah menyelesaikan soal ini. Se-bagian tidak mau mundur.

Level pejabat yang Anda tawarkan pensiun dini?

Direktur, pejabat tinggi yang diduga terlibat. Proses hukum lama dan membutuhkan uang banyak. Lebih cepat ka-lau mereka mundur. Falsafah Jawa bicara tentang satrio. Nah, moral itu yang kita tidak punya.

Beberapa kepala urusan juga terindi-kasi terlibat dalam laporan itu?

Sudahlah, auditor BPK, BPKP, Bank Indonesia kalau melakukan audit, pulangnya bawa amplop. Audit BLBI ju-ga barangkali seperti itu. Anda lihat sendiri di KPU begitu.

Khusus pejabat BI sendiri bagaimana?

Supaya jelas, lebih bagus diperiksa dan diselesaikan supaya tuntas. Barang-kali juga mereka tidak bermasalah.

Modus penyelewengan pejabat BI ada-lah tetap memberikan izin kliring?

Saya sangat kecewa pada orang-orang itu. Semua menyalahkan Soeharto, bilang hanya menjalankan pe-rin-tah. Saya kira kopral juga punya otak, apalagi gubernur, pejabat tinggi. Orang-orang itu ndak punya moral. Pak Harto bilang A, dia jalankan. Ikut pula dia mencari keuntungan di situ. Tidak punya moral.

Apakah pernah ada pembicaraan dengan direksi BI yang terindikasi terlibat?

Terus terang, saya pernah jadi penjabat gubernur waktu Syahril Sabirin (Gubernur BI ketika itu) ditangkap. Ja-batan saya di BI, katanya, wakil gubernur, tapi baru belakangan saya tahu, saya tidak diikutsertakan dalam banyak hal (tertawa).

Dalam hal apa saja?

Berbagai hal dan baru saya tahu bela-kangan. Saya pun sangat kuciwa. Ternyata mereka tidak percaya atau cu-riga pada saya sejak menit saya masuk di BI sampai keluar.

Punya pengalaman sendiri berurusan dengan konglomerat?

Waktu membubarkan Unibank, saya sampai subuh di kantor dengan Menteri Keuangan waktu itu, Boediono. Dia teken surat supaya pemiliknya, Sukanto Tanoto, dicekal. Tapi, dia sudah lari ke luar negeri.

Beberapa bulan kemudian, Kepala BIN (waktu itu) Hendropriyono meng-undang saya karena mau bikin sekolah intel di Batam. Presiden Megawati datang, semua kepala staf ada di situ. Kapolri ada, Jaksa Agung ada, (tertawa geli) Sukanto Tanoto ada di situ. Duduk di belakang Megawati. Tempat-nya jauh lebih bagus dari saya. Ini nega-ra apa?

Apakah Anda puas dengan proses hukum selama ini?

Saya tidak puas. Mengapa orang-orang itu dapat SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), bisa dapat izin berobat ke luar negeri? Lalu kita menyalahkan Singapura, tapi kita tidak bertanya siapa yang membolehkan mereka keluar dari Cengkareng. Polisi dan kejaksaan Republik Indonesia. Bukan polisi dan jaksa Singapura.

Apa harapan Anda terhadap Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh?

Saya harapkan Jaksa Agung tetap lu-rus dan saleh. Kalau Abdul Rahman yang saleh ini meninjau lagi SP3, ber-arti ada yang tidak benar di situ. Saya yakin dia akan bekerja dengan baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus