Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT dengar pendapat di Komisi Keuangan dan Perbankan (XI) Dewan Perwakilan Rakyat akhir Juni lalu berujung pada diskusi panas. Musababnya, sebelum rapat dimulai, kepada para anggota dibagikan draf mengenai rencana revisi Undang-Undang Bank Indonesia oleh tim sekretariat. Para anggota Komisi yang hadir pada saat itu kaget dan heran. Sebab, sesuai dengan agenda, baru pada pertemuan siang itulah mereka akan mendengar pendapat para ahli untuk merancang aturan yang dimaksud.
"Artinya waktu itu baru langkah awal untuk merancang undang-undang. Lha, kok tiba-tiba sudah jadi rancangannya. Dibahas saja belum pernah," anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, bercerita kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Ara-sapaan akrab Maruarar-bahkan mengaku sulit membendung amarahnya ketika itu. Dalam rapat yang dihadiri empat mantan Gubernur Bank Indonesia sejak 1980-an itu, dia memprotes munculnya draf yang beredar tanpa melalui proses yang lazim. "Ini draf buatan siapa? Kepentingan siapa? Saya tidak setuju dengan ini, dan saya yakin partai saya juga tidak setuju."
Bukan hanya Ara, anggota Komisi Keuangan dari Partai Nasional Demokrat, Jhony Plate, turut mempertanyakan bagaimana dokumen rancangan undang-undang ini bisa tersusun tanpa sepengetahuan mereka. Ia menolak menyebutkan naskah yang tersebar pada 29 Juni itu adalah usul resmi Komisi XI DPR. "Itu baru pre-draft. Masih bisa dikoreksi sampai 90 persen," katanya.
Draf yang memicu perdebatan itu sebenarnya tak datang dari orang asing di Komisi Keuangan. Sumber peredaran belakangan diketahui tak lain adalah Ketua Komisi XI, yakni Fadel Muhammad. Politikus Partai Golkar dan mantan Gubernur Gorontalo itu mengatakan penyusunan naskah ia lakukan agar rekan-rekan di komisinya punya pegangan dalam merancang undang-undang. Apalagi, berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, penyusunan usul revisi Undang-Undang Bank Indonesia harus datang dari DPR.
Sebagai ketua panitia kerja dalam perumusan aturan tersebut, kata Fadel, dia merasa memiliki tanggung jawab untuk membuat draf sebagai bahan awal. "Boleh-boleh saja, dong. Ini juga masih mendengar masukan-masukan," ucapnya.
Masalahnya, yang diributkan oleh Maruarar dan sejumlah anggota lain tak sekadar urusan prosedur. Selain draf yang muncul mendadak, isi rencana aturan tersebut menjadi tanda tanya besar bagi Ara dan kawan-kawan.
Membaca sekilas saja, Ara menuturkan, terlihat adanya penambahan kewenangan terhadap Bank Indonesia yang cukup signifikan. Saking meluasnya kewenangan bank sentral dalam rancangan itu, beberapa di antaranya dinilai akan tumpang-tindih, bahkan mengurangi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Ini terlihat saling berlomba-lomba dan pertarungan kepentingannya tercium kencang sekali," ujar Ara.
Ara tak sedang membual. Menurut seorang pejabat di Kementerian Keuangan, usaha Fadel untuk mengegolkan amendemen Undang-Undang BI sangat gencar. Setidaknya, lebih dari dua kali dia mendekati Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro untuk segera menuntaskan revisi ini. Tapi usahanya sejauh ini menemui jalan buntu. Menteri Bambang kerap menolak secara halus, dengan alasan pemerintah lebih mengejar penyelesaian Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
"Saya tidak keberatan membahas revisi Undang-Undang BI. Tapi, dengan kondisi ekonomi seperti ini, JPSK yang harus jadi prioritas," Menteri Bambang mengungkapkan posisinya saat dimintai konfirmasi, Kamis pekan lalu.
Kepentingan BI yang sangat kencang di balik draf revisi juga diungkap oleh seorang pejabat senior di institusi keuangan pemerintah. Ia memaparkan, rencana revisi Undang-Undang BI sebenarnya disiapkan sejak 2011, dengan usul datang dari pemerintah. "Saat itu revisi Undang-Undang BI memang perlu karena ada OJK. Jadi diperlukan harmonisasi. Semangat revisinya murni itu," kata pejabat ini.
Karena kebutuhannya agar hubungan antarlembaga lebih selaras, si pejabat melanjutkan, draf yang dirancang isinya disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pembahasan undang-undang pun lebih sering berlangsung di lingkup internal pemerintah. Hingga akhirnya pembahasan dihentikan beberapa waktu lalu, belum ada pembahasan resmi bersama DPR. "Tahu-tahu masuk Prolegnas atas inisiatif DPR. Dan draf yang beredar pun sama sekali berbeda dengan yang dulu pernah disusun pemerintah."
Saat membaca draf versi pimpinan Komisi Keuangan, para petinggi Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan amat terkejut dan gelisah. Sebab, selain bertolak belakang dengan semangat pemerintah, rancangan yang diedarkan Fadel itu mencampuradukkan lagi fungsi makroprudensial dan mikroprudensial ke dalam kewenangan Bank Indonesia.
Makroprudensial adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan-biasanya berupa kebijakan moneter, seperti menaikkan atau menurunkan suku bunga. Sedangkan mikroprudensial adalah kebijakan yang sifatnya lebih mengatur institusi keuangan secara individual, baik bank maupun industri keuangan nonbank.
Petinggi lain di pemerintahan menjelaskan, belajar dari krisis ekonomi 1998 dan berbagai pengalaman negara lain, fungsi mikroprudensial akhirnya dipindahkan dari BI ke OJK. Alasannya, sering kali terjadi kebijakan moneter yang dibuat bertentangan dengan kondisi suatu bank. Akibatnya, bank yang terkena dampak negatif kebijakan BI akan kembali mencari pinjaman ke bank sentral sebagai lender of the last resort. Dari situ, muncul peluang konflik kepentingan dan moral hazard. "Risikonya, pencairan likuiditas bisa berlebihan. Tidak ada checks and balances."
Tendensi penyatuan kembali berbagai kewenangan ke dalam BI itulah yang banyak dipersoalkan. Dalam beberapa pasal yang disusun Fadel, BI bahkan diberi akses yang luas untuk bisa masuk ke pengaturan atas pasar dan wilayah usaha sektor keuangan, yang menjadi otoritas Menteri Keuangan atau OJK. "Lembaga keuangan nonbank harus ikut aturan BI. Asuransi dan pasar modal, bahkan perlindungan konsumen, yang masuk mikroprudensial pun bisa kena," ucap pejabat pemerintah ini. "Semua fungsi OJK ada di draf itu, kecuali bagian penyelidikan saja."
Selain menyenggol OJK, aturan dalam draf revisi itu menyenggol kewenangan institusi pemerintah lainnya, seperti Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan, yakni dalam hal stabilitas sistem keuangan.
Dilihat secara keseluruhan, kata si pejabat, draf ini lebih banyak mengatur fungsi non-core Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. "Tambahan aktivitasnya jadi banyak, dan ini perlu biaya sangat besar. Risiko yang dihadapi BI pun jauh lebih tinggi."
Jhony Plate punya analisis sendiri. Dia mengatakan saat ini DPR bersama pemerintah memang sedang mengejar penyusunan empat aturan terkait dengan sektor keuangan. Empat aturan itu adalah Undang-Undang JPSK, revisi Undang-Undang BI, penyusunan Undang-Undang Perbankan, dan amendemen Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan. "Seharusnya yang menjadi prioritas adalah Undang-Undang JPSK. Aturan itu harus selesai lebih dulu, untuk kemudian menjadi acuan bagi aturan atas lembaga terkait."
Jika revisi Undang-Undang BI didahulukan, dia melanjutkan, akan ada keharusan untuk menyesuaikan aturan atas lembaga lain. "Padahal fungsi dan kewenangan BI dalam rancangan itu masih bercampur aduk antara otoritas makropudensial dan mikroprudensial. Ini akan tumpang-tindih karena urusan mikroprudensial itu jadi kewenangan OJK."
Melihat situasi ini, muncul kecurigaan dari beberapa anggota Komisi Keuangan bahwa rancangan itu sengaja dibuat untuk menggerus, bahkan mengancam, keberadaan OJK. Ini pula yang disebut oleh Maruarar sebagai aroma pertarungan antarlembaga di balik draf yang diedarkan Fadel.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menampik tudingan adanya upaya tersembunyi dari institusinya di belakang inisiatif Fadel. Ia menjelaskan, usul revisi ini datang dari DPR. Sebab, dalam proses sebelumnya, Bank Indonesia juga telah berbicara dengan pemerintah tentang hal ini. "Tapi, di pemerintah, jadwal revisi Undang-Undang BI memang untuk 2016-2017. Lalu, karena ada inisiatif dari DPR, dipercepat dan dapat dibahas pada 2015," kata Agus. "Tentu kami sambut baik. Nanti Agustus akan sidang dan dibahas kembali bersama DPR."
Agus juga menolak anggapan bahwa rencana revisi yang dibagikan Fadel itu akan membuat kewenangan BI semakin bertumpuk dan menggerus kewenangan OJK. Dia berpendapat, aturan itu diusulkan justru untuk menegaskan pembagian kewenangan antara BI dan OJK. "Kami ingin tata kelola lebih baik, sehingga lembaga ini lebih kredibel dan baik."
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengaku hingga saat ini belum pernah mendapat ajakan resmi dari DPR untuk membahas revisi Undang-Undang Bank Indonesia. "Belum dijadwalkan untuk itu. Kami pun belum diberi draf amendemen Undang-Undang BI yang akan dibahas. Jadi belum bisa memberi masukan atau pendapat mengenai isi draf tersebut," ujarnya.
Adapun Fadel memastikan bahwa ia tak sendirian menyusun draf itu. Dia mengatakan, sebagai ketua panitia kerja, ia telah berdiskusi dengan puluhan guru besar ekonomi dari berbagai universitas negeri di Tanah Air. Pembahasan juga dilakukan bersama sejumlah pemimpin Bank Indonesia pada Ramadan lalu. "Kami sampai rapat di kantor Bank Indonesia. Saya bawa kawan-kawan ke sana. Sambil buka puasa bersama."
Gustidha Budiartie, Ayu Primasandi, Retno Sulistyowati
Kembali Jadi Superbodi
RANCANGAN Undang-Undang Bank Indonesia, yang masuk Program Legislasi Nasional dan menjadi prioritas Dewan Perwakilan Rakyat tahun 2015, akan mengembalikan bank sentral sebagai lembaga super. Sejumlah pasal dinilai berpotensi menabrak undang-undang lain dan mulai dipersoalkan.
Terkait dengan kewenangan sebagai otoritas moneter (Pasal 11-20)
Pasal 12 ayat 1:
Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter...,
Bank Indonesia berwenang:
g.mengatur kebijakan lainnya; dan
h. mengawasi pelaksanaan ketentuan
Catatan: Tidak ada penjelasan tentang kebijakan lainnya yang dimaksud dan siapa yang diawasi.
Pasal 13
Dalam mengelola suku bunga...,
Bank Indonesia:
Menetapkan suku bunga kebijakan, suku bunga penempatan dana, dan penyediaan dana ke dan dari Bank Indonesia, serta suku bunga lainnya.
Keterangan: Tidak ada penjelasan mengenai suku bunga lainnya. Berpotensi berbenturan dengan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 16 ayat 1
Dalam rangka mengelola suku bunga, nilai tukar, dan likuiditas..., Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter melalui operasi moneter di pasar uang dan pasar valuta asing, pengaturan giro wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
Keterangan: Berpotensi berbenturan dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.
Terkait dengan kewenangan sebagai otoritas sistem pembayaran dan pengelolaan rupiah (Pasal 21-32)
Berpotensi terjadi tumpang-tindih kewenangan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya:
Pasal 22 ayat 1 huruf e
Terkait dengan kewenangan sebagai otoritas sistem pembayaran dan pengelolaan rupiah (Pasal 21-32)di mana Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan dan mengenakan sanksi.
Pasal 27 ayat 1
Bank dan lembaga selain bank yang akan menyelenggarakan jasa sistem pembayaran wajib lebih dulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.
Pasal 32
tentang perlindungan konsumen.
Terkait dengan kewenangan sebagai otoritas makroprudensial (Pasal 33-41)
Pasal 33, 34, dan 35
tentang kewenangan BI menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang Stabilitas Sistem Keuangan punya potensi berbenturan dengan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Padahal penetapan kebijakan di bidang Stabilitas Sistem Keuangan merupakan kewenangan bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, termasuk Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 34 ayat 1:
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang Stabilitas Sistem Keuangan, termasuk makroprudensial...,
Bank Indonesia berwenang melakukan:
a. pengaturan makroprudensial
b. pengawasan makroprudensial
c. pengaturan dan pengembangan akses keuangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo