Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UJIAN berat menimpa warga Indonesia yang harkat hidupnya bergantung pada nilai rupiah. Jumat pekan lalu, rupiah kembali menyentuh nadirnya di angka 13.481 per dolar Amerika Serikat.
Ini memang gejala global. Setelah pertemuan Rabu pekan lalu, otoritas moneter Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), mengirim sinyal yang kian tegas. Ekonomi Amerika sudah membaik, maka suku bunga The Fed akan naik. Pasar pun memperkirakan kenaikan bunga pada September nanti. Karena itu, dolar Amerika menguat sembari menyeret rupiah dan mata uang negara-negara berkembang lainnya kian rendah.
Namun ada faktor lokal yang juga berperan besar pada luruhnya rupiah. Saat ini mesin ekonomi Indonesia masih terbatuk-batuk. Daya dorong utamanya, ekspor komoditas, seperti hasil tambang dan minyak sawit, sedang terpuruk. Belanja pemerintah tersendat karena beribu alasan. Keuntungan korporasi juga merosot tajam, bahkan sebagian mulai merugi, sehingga setoran pajak ke negara ataupun berbagai rencana ekspansi ikut melamban.
Ada satu lagi ujian yang mungkin belum cukup diperhitungkan: dampak buruk El Nino. Tak banyak ekonom yang mengerti bahwa, pada krisis 1997, sebab utama rontoknya ekonomi Indonesia sehingga angka kemiskinan melonjak luar biasa bukan hanya pelarian modal dan anjloknya rupiah. Kekeringan ekstrem karena El Nino pada 1997 berdampak jauh lebih besar pada naiknya tingkat kemiskinan. Itulah temuan Profesor Mohamad Ikhsan dan Cicilia Harun yang mereka sajikan dalam buku Asia Economies after The Global Financial Crisis: Lessons Learned and the Way Forward.
Kekeringan membuat produksi pangan, hasil pertanian, dan produk perkebunan anjlok. Rentetannya: harga pangan naik, inflasi tinggi, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan melonjak, dan krisis pun menyebar luas.
Menjelang Ulang Tahun Kemerdekaan ke-70, kita seolah-olah bertemu kembali dengan situasi 1997. Rupiah tertekan pelarian modal karena pemilik uang menarik dananya pulang. Hari-hari kenaikan bunga The Fed sudah terbilang. Kekeringan mulai menyengat secara luas dan pakar cuaca berdebar cemas melihat gejala kedatangan El Nino. Saat ini sudah ada 18 provinsi produsen beras yang terpapar kerontang.
Semoga pemerintah membuka lagi studi Ikhsan dan Cicilia tadi, belajar darinya, lalu segera berbuat dengan langkah tepat demi mencegah harga pangan melambung. Ini kuncinya, karena manusia tak sanggup mencegah jika El Nino datang. Sedangkan melambungnya harga pangan adalah pijakan awal inflasi dan angka kemiskinan untuk melonjak tinggi.
Stabilisasi harga pangan, terutama beras, bahkan harus berkelanjutan hingga pertengahan 2016. Jangan lupa, jika El Nino benar-benar melanda, dampak kekeringan yang memerosotkan produksi bisa terasa hingga tahun depan.
Tak ada tawar-menawar di sini. Jika pemerintah masih genit bermain-main dengan ideologi yang keliru, misalnya secara fanatik menolak impor beras yang krusial untuk menurunkan harga, kita akan terkena pukulan ganda. Pelarian modal plus naiknya jumlah rakyat miskin karena harga pangan melonjak. Inilah kombinasi yang membuat Indonesia terperosok pada 1997. Belajarlah!
Kontributor Tempo
KURS
Rp per US$
Pekan lalu 13.447
13.481
Penutupan 31 Juli 2015
IHSG
Pekan lalu 4.857
4.802
Penutupan 31 Juli 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 7,15%
7,26%
Juni 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
31 Mei 2015 US$ 110,8 miliar
US$ miliar 108,0
30 Juni 2015
Pertumbuhan PDB
2014 5,0%
5,1-5,4%
Proyeksi pemerintah 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo