Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBARAN telah berlalu dua minggu, tapi aneka rupa parsel masih berjajar di rak-rak gerai retail raksasa Hypermart Pejaten Village di Jakarta Selatan. Sejumlah bingkisan berisi penganan ringan, sebagian lain berupa barang pecah belah.
Seorang pramuniaga di sana mengungkapkan aneka parsel itu merupakan sisa stok Lebaran. "Tahun ini lebih sepi," ujarnya Rabu pekan lalu. Bila tak laku juga, ada kemungkinan barang-barang isi parsel akan dibongkar untuk kembali dijual secara terpisah.
Lesunya bisnis eceran itu gagal mendongkrak harga saham PT Matahari Putra Prima Tbk, induk perusahaan Hypermart. Pada Januari 2015, harga saham mereka masih Rp 3.100. Lazimnya, musim Lebaran akan jadi penolong untuk mengerek kembali posisi di pasar. Tapi yang terjadi kali ini kebalikannya. Sampai Kamis pekan lalu, harga saham emiten berkode MPPA ini malah melorot ke level Rp 2.775 per lembar.
Bukan hanya Matahari yang tak kebagian berkah Lebaran. Data kompilasi emiten sektor konsumsi dan retail menggambarkan hal serupa. Cuma 7 dari 20-an perusahaan di dua bidang usaha ini yang harga sahamnya naik saat Ramadan, dibanding bulan-bulan sebelumnya selama paruh pertama 2015. Ketujuh emiten itu adalah PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ), PT Akasha Wira International Tbk (ADES), PT Siantar Top Tbk (STTP), PT Tri Banyan Tirta Tbk (ALTO), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (ALFA), dan PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI). Selebihnya merana.
Mayora tercatat sebagai emiten dengan pertumbuhan tertinggi pada Januari-Juni 2015, yakni 24,4 persen. Sebaliknya, harga saham PT Modern International Tbk (MDRN), pemilik brand 7-Eleven, ambrol hingga 34,96 persen.
Analis PT First Asia Capital, David Sutyanto, menyebutkan melemahnya harga saham sektor konsumsi dan retail selama bulan puasa dan hari raya ini tidak lumrah. "Ini anomali. Sebab, biasanya saham konsumsi dan retail diperebutkan saat Ramadan hingga Lebaran. Biasanya penjualan selama dua bulan itu saja setidaknya bisa mencerahkan kinerja satu kuartal," ucapnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Moncer-tidaknya kinerja saham selama Ramadan hingga Lebaran, menurut David, sangat dipengaruhi oleh belanja masyarakat. Periode ini merupakan musim belanja besar bagi 85 persen penduduk muslim Indonesia. Sayangnya, kata dia, transaksi penjualan emiten sektor konsumsi hanya terkerek 2 persen selama Ramadan lalu. Sektor retail malah tak bertumbuh.
Beberapa isu turut memperburuk kinerja saham kedua sektor itu, misalnya kenaikan bea masuk, inflasi, dan pelemahan daya beli. Karena itulah Anindya Saraswati, analis PT Danareksa Sekuritas, memangkas target rata-rata pertumbuhan sektor retail sebesar 7,9 persen menjadi nol persen alias tidak tumbuh. "Kami tak melihat kinerja signifikan atas perusahaan retail selama Ramadan tahun ini," ujarnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicolas Mandey menyatakan angka penjualan mereka tahun ini, termasuk saat Ramadan-Lebaran, sangat mengecewakan. Padahal, dalam kondisi normal, angka penjualan selama periode emas itu bisa mencapai 30-40 persen dari total transaksi sepanjang tahun. "Tahun ini mungkin hanya 20-25 persen. Yang pasti turun jauh dibanding tahun lalu," kata Roy kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Target penjualan yang tak tercapai pada musim panen hari raya itu pula yang membuat Roy terpaksa menghitung ulang perkiraan pertumbuhan, dari 13,5 menjadi 8 persen dibanding nilai transaksi tahun lalu, yang mencapai Rp 168 triliun. "Kami hanya berharap situasi akan membaik agar kinerja korporasi terdongkrak."
Pingit Aria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo