Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Temon

BESAR nian pengorbanan warga Kecamatan Temon demi pembangunan bandar udara baru di Daerah Istimewa Yogyakarta.

8 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Temon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BESAR nian pengorbanan warga Kecamatan Temon demi pembangunan bandar udara baru di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hunian dan lahan pertanian mereka tergusur oleh megaproyek berbiaya raksasa itu. Padahal lahan itulah gantungan hidup semua warga desa beserta keluarganya. Secara turun-temurun, penduduk setempat mengolah lahan yang semula pasir gersang menjadi persemaian subur bagi bermacam tanaman. Saat kemarau, lahan pertanian di sana tak pernah kering dan, sebaliknya, pada musim hujan tak pernah banjir. Artinya, Temon adalah jengkal tanah ijo royo-royo yang tak lekang oleh perubahan musim (Tempo, 13-19 Agustus 2018, Lingkungan).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau begitu, imbalan apakah yang pantas diberikan kepada mereka yang telah berkorban demi pembangunan bandara besar itu? Sebatas kolom bahasa, tulisan ini hanya bisa mengajukan usul yang bersifat "ideografis". Konkretnya: menyarankan agar nama Temon disematkan sebagai sebutan bandara baru di wewengkon Yogyakarta itu kelak. Boleh saja pujangga besar mengatakan apalah artinya sebuah nama, tapi siapa pun paham bahwa nama adalah tetenger (penanda) yang menyimpan makna. Penggunaan kata temon (temu) bisa melambangkan muara keikhlasan semua pihakikhlas berkorban bagi yang melepas dan ikhlas menghargai bagi yang menerima.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini, nama bandara di Indonesia yang berunsur geografi lebih terbatas pada bandara domestik ukuran kecil atau sedang dan ada kalanya cukup terpencil. Di antaranya Sentani (Jayapura), Lunyuk (Sumbawa), Nunukan (Kalimantan Utara), Muara Bungo (Jambi), Aek Godang (Padang Sidempuan), dan Blimbingsari (Banyuwangi). Hanya sedikit bandara besar yang berjulukan sesuai dengan nama wilayah, seperti Lombok (Praya, Kabupaten Lombok Tengah), Temindung (Samarinda), dan yang paling gres Kertajati (Majalengka), menyusul Kualanamu di Kabupaten Deli Serdang.

Bandara besar bertaraf internasional umumnya menggunakan nama tokoh besar tradisional, seperti sultan. Di antaranya Bandara Sultan Babullah (Ternate), Sultan Hasanuddin (Makassar), Sultan Salahuddin (Bima), Sultan Syarif Kasim II (Pekanbaru), dan Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh). Selain itu, nama tokoh militer Angkatan Udara menghiasi sejumlah bandara, misalnya Supadio (Pontianak), Husein Sastranegara (Bandung), dan Abdulrachman Saleh (Malang). Pilihan lain adalah mengangkat nama tokoh atau pahlawan nasional: Soekarno-Hatta (Tangerang), Juanda (Sidoarjo), dan Pattimura (Ambon). Nama bandara Minangkabau mungkin agak lain karena merujuk pada identitas budaya etnik.

Yang menarik, "bandara kesultanan" tidak ditemukan di tanah Jawa. Sebagai ahli waris tradisi besar (great tradition, meminjam istilah Redfield), Kesultanan Mataram, baik Yogyakarta maupun Surakarta, memilih nama tokoh Angkatan Udara masa revolusi sebagai sebutan bandaranya, yakni Adisutjipto dan Adi Soemarmo. Marsekal Muda Agustinus Adisutjipto dan Adi Soemarmo, juga Abdulrachman Saleh, adalah penerbang yang ditembak tentara Belanda ketika mendarat di Maguwo, Yogyakarta, saat agresi militer Belanda 1947. Pemakaian nama tokoh militer tersebut sangatlah wajar karena ketiga bandara itujuga sejumlah bandara lama di Tanah Airsejak awal memang milik Angkatan Udara, yang dikenal dengan sebutan "lanud" atau pangkalan udara.

Akankah penamaan bandara internasional yang baru di Daerah Istimewa Yogyakarta kelak mengikuti model umum penamaan bandara besar tersebut? Jika mengikuti pola itu, bandara baru Yogya tentu bisa menggunakan nama (salah seorang) sultan Mataram. Sedangkan nama Adisutjipto akan dipertahankan, atau dikembalikan, sebagai sebutan pangkalan udara militer yang sekarang. Ataukah nama bandara baru itu akan mengikuti standar internasional yang bakumisalnya menggunakan sebutan formal "New Yogyakarta International Airport"yang seakan-akan "melesapkan" keindonesiaan?

Kolom ini, seperti telah disebutkan, kalau boleh berangan-angan, condong memilih "Temon" sebagai nama bandara baru itu. Alasannya, pertama, secara faktual mengabadikan lokasi lapangan, yakni Kecamatan Temon. Kedua, penamaan itu sekaligus memberikan penghargaan atas pengorbanan masyarakat setempat yang merelakan kampung halamannyameliputi lima desaditerjang "burung-burung besi" yang akan lalu-lalang melintasinya. Ketiga, secara etimologi, temon, dari kata dasar temu, berarti pertemuan atau perjumpaan, setara dengan encounter dalam bahasa Inggrismakna kata yang sepadan dengan muruah Yogyakarta sebagai ruang besar pertemuan budaya tanah persada, bahkan dunia.

Andai benar diangkat sebagai nama bandara internasional, Temon akan menjadi subyek yang memasuki arena global seraya menggerakkan proses "glokal". Pada cita rasa bahasa, sebutan "Bandar Udara Internasional Temon", atau "Temon International Airport" (diringkas TIA) jika diinggriskan, mencitrakan kesan klasik. Juga unik, dan alangkah puitik.

Kasijanto Sastrodinomo
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus