Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Semoga Bukan Angin Surga

Pengelola dana pensiun terbesar di Amerika Serikat memasukkan Indonesia ke daftar investasi. Indeks saham melesat.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REKOR itu berkali-kali tumbang. Da-lam tiga hari berturut-turut,- se-jak Selasa pekan lalu, indeks sa-ham di Bursa Efek Jakarta mele-sat bak meteor. Pada hari itu, saat perda-gang-an ditutup, indeks menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 1.417,4 poin. Rekor baru ini tercipta setelah indeks melonjak 30,6 poin atau sekitar 2,2 persen.

Keesokan harinya, rekor baru kembali diukir. Kali ini kenaikannya bahkan lebih tinggi, yaitu 2,5 persen, menjadi 1.453,2. Baru pada hari ketiga indeks mu-lai tak bertenaga—hanya naik 11 poin (0,8 persen). Bahkan pada hari keempat,- Jumat sore pekan lalu, indeks kembali- turun 5,2 poin (0,4 persen) ke posisi 1.459,3.

Kemeriahan perdagangan di bursa sa-ham Jakarta kian terasa bila melihat lon-jakan nilai transaksi saham. Dalam -sehari, mencapai Rp 3,5 triliun. Padahal, selama beberapa tahun terakhir, ni-lai- tran-saksi harian tak pernah di atas Rp 2 triliun.

Melihat fenomena ini, para analis yakin bahwa lonjakan indeks kali ini bukan sekadar euforia dadakan. ”Dengan ni-lai transaksi di atas dua triliun, ber-arti investor asing sudah masuk,” kata analis PT BNI Securities, R. Fitri Murniawati.

Keyakinan Fitri bisa jadi bukan sekadar isapan jempol-. Sebab, data perdagangan men-catat nilai transaksi beli neto investor asing per hari kini rata-rata mencapai Rp 400 mi-liar. Kondisi ini berbeda jauh dengan tiga bulan lalu. Saat itu, para pemilik modal asing justru lebih memilih melego sahamnya.

Euforia pasar rupanya juga menjalar- ke pasar uang. Kurs rupiah terus me-nguat hingga menembus level psikologis- Rp 8.900 pers US$ 1. Menurut Fitri, rupiah kian perkasa karena, ”Investor- asing menukarkan dolarnya un-tuk mem-beli saham di sini.” Padahal, akhir-akhir ini dunia tengah dirundung kecemasan atas membubungnya har-ga mi-nyak mentah dunia yang terus mendekati US$ 75 per barel.

Lantas, apa yang menarik investor asing- berbelanja di bursa Jakarta? Salah satunya yaitu kabar yang berembus dari Ko-ta Sacramento, Negara Bagian California.

Dari kota itu pada awal Februari lalu tersiar kabar bahwa Indonesia bakal ma-suk radar investasi California Public Employees’ Retirement System (CalPERS), se-buah lembaga pengelola dana pensiun terbesar di Amerika Serikat. Dalam rekomendasinya, konsultan keuangan Wilshire Associates mengatakan, Indonesia layak menjadi satu dari 19 negara tujuan investasi CalPERS.

Keputusan final soal ini baru diumumkan pada Senin pekan lalu, setelah Dewan Administrasi CalPERS menggelar rapat selama tiga hari. Presiden Dewan Admi-nistrasi CalPERS, Rob Feckner, menga-takan dari 27 negara berkembang kajian Wilshire, hanya 19 negara yang pantas menjadi tujuan investasi. Salah satunya Indonesia, karena dinilai ada peningkatan stabilitas politik diban-ding tahun lalu.

CalPERS merupakan pengelola dana pensiun terbesar di Amerika Serikat. Per-usahaan ini mengelola dana US$ 208 miliar atau sekitar Rp 2.000 triliun. Ada 1,4 juta pekerja dan pensiunan di sepanjang pantai barat Amerika yang menyi-sihkan gajinya untuk hari tua di perusa-ha-an tersebut.

Sebelum menjatuhkan pilihan inves-ta-si, CalPERS punya sederet kriteria.- Beberapa di antaranya menyangkut sta-bilitas politik, kebebasan pers dan ber-pendapat, transparansi, standar akun-tansi, produktivitas buruh, serta per-izinan usaha.

Hal lain yang juga jadi bahan pertimbangan ya-itu soal keter-bukaan atas inves-tasi asing-, li-kui-ditas pa-sar, peratur-an dan per-lindung-an bagi investor, serta biaya transaksi- keuangan. Penilaian atas berbagai aspek itulah yang ditinjau CalPERS setiap tahun.

Buat Indonesia yang haus investasi asing, kabar itu adalah harapan baru. Sebab, daftar- tujuan investasi CalPERS selama ini kerap dijadikan acuan para pemodal asing- dalam mengarahkan dana investasinya di negara-negara berkembang.

Tapi jangan cepat-cepat bersorak. Pa-da awal 2000, Indonesia juga pernah ma-suk radar CalPERS. Namun keputus-an itu direvisi hanya dalam hitungan bulan. Pada April tahun itu, Indonesia- didepak dari daftar karena dinilai tak lagi memenuhi kriteria etika kerja per-usahaan, seperti standar hak asasi manusia dan sistem hukum. ”Kami ingin menciptakan globalisasi yang lebih manusiawi,” kata juru bicara CalPERS, se-perti dikutip Financial Times. Mudah-mudahan kali ini para pensiunan Amerika tak meralat niat baiknya.

Yura Syahrul

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus