Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUSSEIN Kartasasmita tiba-tiba terkekeh panjang begitu mendengar tudingan bahwa para konsultan seperti dia banyak berperan dalam menyiasati ketentuan pajak. Meski tak sampai terdengar bangga, ia sama sekali tak membantah profesi yang ditekuninya memang berfungsi memuluskan proses "kompromi" antara wajib pajak dan aparat agar sampai pada kata sepakat: berapa jumlah uang yang harus dibayarkan kepada negara.
Lazimnya, semua ikhtiar itu akan dianggap sukses jika berujung pada satu muara yang dianggap sama-sama menguntungkan, baik bagi si wajib pajak maupun petugas. Tapi Hussein tahu belaka, dalam urusan dagang tak satu pun transaksi bisa benar-benar menguntungkan semua pihak. Kalau dalam soal ini kedua pihak merasa tak rugi, lalu pihak mana yang dibuat buntung? "Negara yang akan nangis," katanya, menggambarkan berkurangnya rupiah yang semestinya masuk ke kas negara.
Namun, bukan lantaran menyesali praktek itu kalau sekarang Hussein risau. Kegundahannya lebih disebabkan oleh rasa khawatir: tak lama lagi posisinya sebagai konsultan—ataupun pengusaha yang harus membayar pajak—akan semakin lemah. Sebab, di sebelah sana Direktorat Jenderal Pajak sedang giat menyusun pokok-pokok pikiran untuk diusulkan dalam amendemen ketentuan pajak terdahulu.
Menurut Kepala Badan Analisa Fiskal, Anggito Abimanyu, pemerintah kini tinggal menunggu izin presiden untuk mengajukan draf usulan perubahan undang-undang itu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Prosesnya sudah sampai di Sekretariat Negara. "Rencananya, awal Februari pembahasan bersama DPR sudah bisa dimulai," kata Anggito.
Kekhawatiran Hussein sebagai Ketua Dewan Pembina Ikatan Konsultan Pajak Indonesia terletak pada klausul yang menyebutkan adanya permintaan untuk menambah kewenangan petugas. Tak hanya itu, sebagai wakil Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang ditugasi mengetuai tim reformasi ketentuan umum dan tata cara perpajakan, Hussein merasa kepentingan para wajib pajak sedang terancam. "Selama ini saja aparat sangat dominan dalam menentukan pajak yang harus dibayar," katanya.
Dari pengalaman Hussein, aparat sering menjadikan kewenangan menentukan jumlah pajak itu sebagai alat mencari untung dengan cara mematok angka tinggi. Susahnya lagi, wajib pajak yang keberatan dengan kewajibannya umumnya enggan menempuh jalur resmi untuk meminta keringanan. Mereka lebih suka "melicinkan" jalan dengan mengeluarkan uang ketimbang harus repot mengurusnya ke peradilan pajak.
Jika beberapa klausul tentang ketentuan penyidikan yang diusulkan pemerintah berhasil lolos, kantor pajak memang potensial menjadi lebih berkuasa. Mereka, misalnya, meminta agar dalam melaksanakan tugas penyidikan mereka juga boleh melakukan penyitaan jaminan, menangkap, serta menahan tersangka pidana perpajakan (baca, Butir Rumusan yang Meresahkan).
"Ini menakutkan wajib pajak dan rawan digunakan sewenang-wenang," kata Hussein sambil mengeluhkan ketidakjelasan kriteria dan syarat yang mengatur penggunaan kewenangan itu. Dalam hal ini Hussein tak sendirian. Tak kurang dari Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Max Moein, memberi peringatan sejak awal bahwa masih akan ada sepuluh fraksi di Senayan yang akan memelototi soal tersebut.
"Kami tak akan begitu saja meloloskan permintaan seperti itu," kata wakil PDI Perjuangan itu. Menurut Max, bukan cuma itu usaha Direktorat Jenderal Pajak untuk mendongkrak penerimaan negara yang perlu dicermati. Mereka juga pernah meminta agar diberi akses ke perbankan dan data pencucian uang, agar lebih mudah mendapatkan informasi obyek pajak lebih luas. "Tapi kami tidak mengizinkan," ujarnya.
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan, Yunus Husein, juga mengaku pihaknya pernah dihubungi Direktur Jenderal Pajak, Hadi Purnomo, agar memberikan semua data dan laporan pencucian uang ke kantor pajak. Tapi ia menolak. "Di mana-mana tidak ada yang begitu," tuturnya. Yunus hanya menyanggupi memberikan kontak pada tiga anak buahnya yang ditugasi memberi penjelasan setiap kali ada pertanyaan dari orang pajak. "Kalau data kami serahkan, nanti tak akan ada bank mau lapor lagi," katanya.
Menanggapi semua itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan dan Ketua Tim Modernisasi Perpajakan, I Made Gede Erata, mengatakan pihaknya tak bermaksud memaksakan kehendak. Namun, soal kewenangan penyidikan, katanya, kantornya hanya ingin berlaku seperti layaknya aparat pajak di negara lain. "Di kita saja Departemen Kehutanan dan Bea Cukai boleh menangkap tersangka," ia menjelaskan.
Namun, Max Moein berpendapat lain. Menurut dia, kita tidak bisa begitu saja meniru ketentuan perpajakan di negara seperti Singapura atau Amerika Serikat. Sebab, kondisi di sini jauh berbeda. Tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah, sementara aparat kita banyak yang mengecewakan. "Bukan rahasia lagi bahwa ada banyak kebocoran dalam sistem kita," ujarnya.
Ketika ditanya lebih jauh, Erata malah mengingatkan bahwa soal kewenangan itu hanya merupakan sebagian kecil dari banyak hal lain yang akan diajukan dalam amendemen ini. Perubahan ini sendiri dimaksudkan agar ketentuan pajak semakin sederhana dan efektif sehingga menunjang upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak. "Kalaupun kewenangan itu diberikan, kami akan mengawasinya dengan sangat ketat," Robert Pakpahan, sekretaris tim modernisasi itu, menambahkan.
Direktur Peraturan Perpajakan, Surjotamtomo Soediro, ikut menjamin bahwa pemerintah tak akan membabi-buta dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Sebab, kebijakan yang menakutkan justru akan membuat investor makin enggan datang menanam modal. Bila itu terjadi, sektor usaha tak akan berjalan, dan ujung-ujungnya tak ada keuntungan perusahaan yang bisa dijadikan obyek pajak. "Biaya penyidikan dan peradilan juga mahal. Tak akan dilakukan kalau wajib pajak tidak keterlaluan bandelnya," katanya.
Karena itu, dalam paket perubahan ini, pemerintah juga akan mengusulkan adanya penurunan tarif seperti pajak penghasilan badan (perusahaan) dari 30 persen menjadi 28 persen. Penyesuaian ini harus dilakukan karena banyak negara lain juga menjalankan siasat sejenis: tarif diturunkan, kepatuhan ditingkatkan, dan obyek pajak diperluas, maka penerimaan pun meningkat (lihat, Perbandingan Tarif Pajak Penghasilan Badan Beberapa Negara).
Langkah ini memang bisa saja membuat Hussein dan kawan-kawan tak lagi cemberut. Tapi, namanya pengusaha, Hussein masih juga menawar. "Sebenarnya Kadin mengusulkan agar diturunkan jadi 25 persen, supaya sektor riil kita bisa bergerak lebih cepat," tuturnya. Masih ada waktu untuk mencari titik temu.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo