Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Madah dari Lereng Merapi

Padri Sindhunata menulis syair-syair tentang arak sampai Petruk. Pelari maraton yang membumikan spiritualitas.

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Air Kata Kata
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Galang Press Yogyakarta dan Bayu Media Malang, Desember 2003
Tebal: xv + 195 halaman

Di gundukan kuburannya teman-teman mbah Koen menaburkan sunrise susu macan.…
Tiba-tiba semuanya berubah jadi oplosan bunga.
Baunya harum menggoda.
Dari surga bidadari turun….
Mabuk bersama para peminum….

DARI Padepokan Karang Klethak di tubir jurang Kali Boyong, lereng Gunung Merapi, Yogyakarta, Sindhunata meluncurkan antologi Air Kata Kata, pertengahan Desember lalu. Buku terbaru padri Jesuit yang dikenal sebagai penggubah mitos Ramayana dalam novel klasik Anak Bajang Menggiring Angin ini berisi pelbagai renungan berbentuk puisi, mantra, sampai parikan (pantun Jawa).

Sindhu merenungkan aneka ragam persoalan hidup yang dijumpainya: jorok maupun adiluhung, suci maupun bersimbah noda, rasional maupun klenik. Penggalan syair di atas dikutip dari sajak berjudul Air Kata Kata. Sindhu hendak mengenang mesra Mbah Koen, karibnya, seorang penarik gerobak sampah yang semasa hidup jago minum arak. Sindhu memang dekat dengan pemabuk dan wong kabur kanginan—orang-orang yang hidup menggelandang tidak keruan juntrungannya.

Berbagai tulisan reflektif Sindhu lahir berkat pergaulannya dengan orang-orang sederhana berfalsafah urip mung mampir ngombe: hidup hanya mampir minum. Dari penarik gerobak sampah, seperti Mbah Koen, Sindhu menemukan makna kejujuran di tengah kompetisi hidup yang keras. Pada sajaknya Kutukan Asu, Sindhu malah menyatakan lebih baik menjadi asu (anjing) daripada menjadi manusia.

Asu itu setia dan berani berkorban. Manusia potensial menjadi gentho, kecu, bajingan, koruptor, predator, maling, dan penipu. Pada Suara Mesin Jahit ia melukiskan ”biografi” Djoko Pekik. Pelukis ”Trilogi Celeng” itu, di tengah segala kelimpahan hartanya kini, tidak pernah mengingkari keluarganya justru karena penderitaannya sebagai tahanan politik di masa lalu.

Sindhu menghayati spiritualitas lewat pergulatan kritisnya dengan kebudayaan Jawa. Inilah yang ditunjukkan dalam syair maupun mantra Oh Tulkiyem Ayu, Jula-Juli Jaman Edan, Ngelmu Kyai Petruk, sampai Ngelmu Pring. Pring (bambu), belukar rerumputan yang tumbuh menjulang liar, berfaedah untuk dijadikan perkakas apa saja: dari langit-langit rumah, tusuk sate, sampai tali laso. Sindhu bermadah: ... Pring pada pring/Eling pada eling... Wong urip asale pring/uripe kudu eling/matine digotong nganggo pring/mulih asale ing ngisor pring… Ora gampang tugel merga melur... Aja kaku uripmu/melura, pasraha, baumu/bakal bisa nyangga kabeh sesanggane uripmu… (hidup senantiasa harus ingat/jenazah dipikul dengan bambu/dikubur ke tempat asalnya di bawah rerimbunan bambu/Tidak mudah patah karena lentur/Jangan hidup secara kaku/lenturkan tubuhmu, berserah diri/akan tertanggung seluruh beban berat, letih lesumu).

Sindhu juga menulis puisi nakal, Si Boy Melihat Dua: … Si Boy jadi ingat Cik pe’ pesan/bila nanti hujan datang/Cik pe’ rok mesti diangkat/dan masukkan burung ke dalam. Buku ini mengasyikkan dinikmati karena memadukan bahasa verbal dengan bahasa visual. Ada 23 perupa—di antaranya Agus Suwage dan Joko Pekik—bergotong-royong menyumbang drawing untuk mendukung kata-kata Sindhunata. Desain grafis buku ini dirancang perupa Ong Hari Wahyu, disengaja menyeimbangkan belahan otak kanan dan kiri.

Air Kata Kata, sebagaimana karya-karya Sindhunata sebelumnya, tidak pernah ambil pusing dengan segala tetek-bengek aturan yang menggolongkan sebuah karya sastra atau bukan. Kombinasi latar belakang sebagai novelis, penulis berita kisah, dan padri Jesuit yang sangat menguasai filsafat mengkondisikannya menjadi pelari maraton, penulis bernapas panjang bercorak naratif dan featuris. Bukan sprinter, penulis kolom opini bernapas pendek

Penyair, pemuja dewa keindahan, pernah disebut mendiang Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, sebagai Yogi Literer: pertapa yang gemar bermati raga dengan menekuni teks-teks. Perjumpaan manusia dengan Tuhan dimetaforkan Sindhu seperti bersatunya cicak dengan kopi. Antologi ini mentransendensikan iman buat mendobrak sekat-sekat agama yang sempit. Pun membumikan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.

J. Sumardianta, pustakawan SMU Kolese de Britto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus