Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK seperti lazimnya rumah sakit, tak terlihat ada loket pembayaran di rumah sakit yang terletak di kawasan Parung, Bogor, itu. Kendati menggratiskan biaya layanan kesehatan kepada pasien, fasilitasnya tak kalah dengan rumah sakit selevel. Pintu pelayanan pun terbuka 24 jam nonstop.
Rumah sakit yang diberi nama Rumah Sehat Terpadu itu milik lembaga pengelola zakat Yayasan Dompet Dhuafa. Berdiri di atas tanah seluas 7.800 meter persegi, rumah sakit itu mulai beroperasi pada Juli tahun lalu. Dibangun dengan biaya hingga Rp 50 miliar, Rumah Sehat Terpadu melayani 54 ribu pasien pada 2012. "Kami mampu melayani 250-500 pasien per hari," kata juru bicara Yayasan Dompet Dhuafa, Amirul Hasan, kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.
Rumah Sehat Terpadu menyediakan kamar rawat inap berpenyejuk udara sebanyak 57 unit, yang dipisahkan antara anak-anak, perempuan, dan pria dewasa. Disediakan pula unit gawat darurat; poli umum, gigi, mata, dan anak; ruang bersalin; spesialis ortopedi (tulang); rehabilitasi medis; serta konseling rohani. "Dokternya dari umum hingga spesialis," ucap Amirul.
Di dalam bangunan modern itu terdapat gedung khusus perawatan anak, high care unit dan bersalin, perawatan orang dewasa, dapur gizi, serta gedung operasi. Sedangkan bangunan pendukungnya antara lain power house, koridor, gedung pertemuan, dan perkantoran.
Per bulan rata-rata Yayasan mengeluarkan Rp 1,5-2 miliar untuk ongkos pengobatan pasien, gaji tenaga medis, hingga biaya pemeliharaan alat kesehatan. "Ongkos ini berasal dari dana zakat, infak, dan sedekah," kata Presiden Direktur Yayasan Ahmad Juwaini, Jumat pekan lalu. Yayasan memisahkan sumbangan ke tiga rekening: zakat, infak, dan wakaf. Biaya pasien diambil dari rekening zakat, sedangkan ongkos pembangunan serta operasional dari wakaf, sedekah, dan pendapatan khusus Yayasan.
Burhanudin, 43 tahun, warga Pantai Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, mengirim putranya, Agustian, untuk mendapat perawatan medis di sana. Agustian harus menjalani operasi patah tulang. "Saya tak dipungut biaya sepeser pun," ujarnya. Namun ada syarat yang harus dipenuhi agar bisa menjadi pasien Rumah Sehat Terpadu.
Amir membenarkan bahwa pasien diseleksi ketat. "Kami menyeleksi kadar kemiskinannya," katanya. Tim khusus diturunkan untuk menyurvei langsung ke rumah calon pasien. Setiap dua tahun, tim mengecek ulang. Cara ini ditempuh karena dana perawatan diperoleh dari zakat sehingga Yayasan harus memastikan bantuan diterima pihak yang berhak sesuai dengan aturan Islam.
Pendapatan Yayasan sebagai pengelola antara lain dari 12,5 persen dari total dana kelola sesuai dengan aturan Islam. Yayasan Dompet Dhuafa adalah lembaga amil zakat terbesar dengan dana kelola sebesar Rp 202 miliar pada 2012. Sebanyak 60 persen di antaranya berasal dari zakat.
Setahun belakangan Yayasan Dompet Dhuafa, juga lembaga zakat lain, resah dana kelolanya bakal menyusut. Itu terjadi lantaran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menyebutkan lembaga zakat berizin yang sah harus berbentuk organisasi kemasyarakatan. Nah, Yayasan Dompet Dhuafa dan mayoritas lembaga zakat swasta lain berbentuk yayasan. Belakangan tekanan mengendur setelah terbit Undang-Undang Ormas, yang menyebut bahwa yayasan dapat dianggap sebagai ormas.
Juwaini belum plong karena tak ada jaminan lembaganya lolos dari jerat aturan pengelolaan zakat tadi. Meski bisa dianggap sebagai ormas, Yayasan tetap mesti mendaftarkan diri ke Kementerian Dalam Negeri. "Mendaftar belum tentu disetujui," katanya. "Kemungkinan terancam tidak lolos masih ada."
Keberatan lembaga-lembaga amil zakat berujung pada pengajuan uji materi undang-undang ke Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2012. Bersama lembaga zakat lain, seperti Yayasan Dana Sosial Al-Falah, Rumah Zakat Indonesia, dan Yayasan Yatim Mandiri, dibentuklah Koalisi Masyarakat Zakat sebagai pemohon. Koalisi ini meminta Mahkamah menguji keabsahan pasal yang mewajibkan lembaga zakat perlu mengantongi izin pemerintah.
Juwaini menilai aturan itu mengancam ribuan lembaga amil zakat kecil atau unit sebuah perusahaan. Jika tak bersedia berbadan hukum ormas, mereka harus menjadi lembaga pengumpul zakat di bawah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). "Kami berpotensi kehilangan revenue. Kue zakat akan tersekat," ucap Juwaini.
Dalam uji materi, Baznas juga menjadi tergugat. Semula Baznas tergolong lembaga zakat setara dengan lembaga partikelir semacam Dompet Dhuafa. Belakangan Baznas menjadi lembaga pelat merah setelah ditunjuk pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi regulator sekaligus pengelola.
Berdasarkan rancangan peraturan pemerintah, Baznas akan dipimpin komisioner yang diangkat oleh presiden atas pertimbangan dari parlemen. Sekretaris jenderal akan diisi pegawai negeri sipil karena ada uang negara di dalam Baznas. Lembaga ini pun berhak meminta laporan pengumpulan dan pengelolaan zakat dari lembaga swasta.
Posisi strategis Baznas inilah yang memancing kecurigaan. Sekretaris Jenderal Forum Zakat Bambang Suherman menilai keistimewaan Baznas mengarah pada monopoli negara. Forum Zakat berisi 37 lembaga zakat raksasa, termasuk Dompet Dhuafa dan Baznas.
Yayasan Baitul Mal (YBM) Bank Rakyat Indonesia juga kena imbas Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan aturan tentang Baznas. Namun General Manager YBM BRI Dwi Iqbal Novian menyatakan tak keberatan kalau harus menjadi lembaga pengumpul zakat di bawah Baznas. "Kami tak memiliki persoalan psikologis," katanya. Walau begitu, Dwi meminta Baznas tak menjadi regulator sekaligus pengelola. "Fungsi mengontrol diri sendiri itu tak tepat."
Staf ahli Baznas, Irfan Syauqi Beik, menganggap kecurigaan lembaga amil tak beralasan. Justru ia berpendapat pengelolaan zakat dengan logika perbankan yang bersaing adalah tak tepat. Yang benar pengelolaan zakat setara dengan pajak. "Pengumpulan zakat idealnya satu pintu, tapi penyalurannya banyak pintu," ujarnya.
Irfan menjelaskan, tujuan aturan zakat baru adalah meningkatkan koordinasi antarlembaga, bukan mengancam lembaga zakat berizin. Koordinasi itu untuk menyatukan data penyetor dan penerima zakat. Putra Ketua Umum Baznas Didin Hafidhuddin itu optimistis aturan baru akan membuat pengelolaan zakat lebih efektif.
Namun, menurut Bambang Suherman, penyetaraan zakat dengan pajak bakal melemahkan gerakan penguatan masyarakat sipil. Jika negara memiliki instrumen pajak, masyarakat sipil harus diberi kesempatan mengumpulkannya lewat dana publik.
Saksi ahli Mahkamah Konstitusi, Azyumardi Azra, berharap undang-undang zakat tak mengerdilkan peran masyarakat sipil. Lembaga nonpemerintah dan masyarakat kerap lebih cepat tanggap merespons persoalan publik, semisal bencana alam dan kemiskinan. Pemerintah harus mengakui banyak persoalan sosial yang tidak dikerjakan negara justru terjangkau oleh kelompok masyarakat sipil. Ketangkasan masyarakat sipil itu bersumber dari dana publik, seperti zakat. "Intinya pengelolaan zakat jangan dimonopoli Baznas," katanya.
Mahkamah Konstitusi belum memutus sengkarut pengaturan zakat ini. Ketua Mahkamah Akil Mochtar menampik jika lembaganya disebut mengulur waktu dan berat sebelah. "Hakim tidak bisa diintervensi siapa pun," ucapnya Jumat pekan lalu.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi tak membuat Irfan patah semangat. "Pemerintah akan tetap menerbitkan peraturan pemerintah apa pun hasil uji materinya," ujarnya.
Akbar Tri Kurniawan, Ramadhani, M. Sidik Permana (Bogor)
Dana Kelola Zakat
Tahun | Jumlah (Rp miliar) |
2008 | 486 |
2009 | 571 |
2010 | 702 |
2011 | 738 |
2012 | 845 |
Dana Kelola Berdasarkan Lembaga Zakat 2012
Lembaga | Dana Kelola (Rp miliar) |
Dompet Dhuafa | 202 |
Rumah Zakat | 146 |
PKPU | 107 |
Bazis DKI | 81 |
YBM BRI | 57 |
Baznas | 50 |
Sumber: Forum Zakat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo