Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Swasembada Sapi Terjegal Sensus

Data sementara Sensus Pertanian 2013 menunjukkan turunnya populasi sapi. Kementerian Pertanian meminta pendataan ulang.

1 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH kandang sapi milik warga Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro, Jawa Timur, itu kini terlihat kosong. Sejak harga komoditas ini bergerak naik pertengahan tahun lalu, satu per satu ternak sapi sudah dilego. Budi Hartono, Ketua Unit Kepala Kandang (nama kelompok peternak sapi Koperasi Serba Usaha Lembu Seto), misalnya, melego dua ekor pejantan peranakan ongole miliknya.

"Warga banyak yang menjual sapi, yang dibawa ke Jakarta, Bogor, dan kota lain," kata Budi kepada Tempo, Ahad pekan lalu. Setiap rumah tangga di desa itu rata-rata hanya memiliki seekor sapi. Mereka melepas "celengan"-nya kepada makelar ternak alias belantik yang blusukan ke desa-desa. Kampung yang berjarak 45 kilometer dari Kota Bojonegoro ini memang dikenal sebagai pusat pengembangan sapi peranakan ongole alias PO-biasa disebut sapi putih atau sapi Jawa.

Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Bojonegoro Tukiwan Yusa mengatakan para peternak tahu kapan harus menjual sapi. Ketika harga anjlok pada pertengahan 2011, mereka menahan. Tapi, begitu harga bergerak naik, sapi dijual.

Awal Mei lalu, menurut Budi, petugas Badan Pusat Statistik tiba di kampungnya. Satu demi satu pemilik ternak didatangi. Setelah dicacah, ketahuan bahwa jumlah sapi turun drastis. Petugas mencatat populasi sapi di desa itu 2.529 ekor. "Padahal pada 2011 ada 3.198 ekor," ujarnya.

Selama Mei 2013, BPS menggelar sensus pertanian, termasuk di dalamnya sensus ternak. Pendataan dilakukan di 33 provinsi, 497 kabupaten, 6.793 kecamatan, 77.144 kelurahan/desa, dan 858.557 blok. Lembaga ini melibatkan sekitar 260 ribu petugas lapangan dengan biaya sekitar Rp 1,6 triliun. Sensus pertanian adalah program rutin setiap sepuluh tahun, yakni pada tahun yang berakhir dengan angka 3. Sensus terakhir diadakan pada 2003. Sensus ini berbeda dengan Sensus Ternak 2011, yang dilakukan atas permintaan Kementerian Pertanian.

Kepala BPS Suryamin menjelaskan, pencacahan dilakukan secara lengkap. Setiap kelurahan dibagi menjadi beberapa blok sensus-wilayah terkecil-yang berisi 100-120 rumah tangga. Perkotaan dan pedesaan mendapat perlakuan berbeda. Di pedesaan, terutama daerah sentra pertanian dan peternakan, petugas datang dari rumah ke rumah.

Sebaliknya, di perkotaan, atau daerah nonsentra pertanian dan peternakan, pendekatan melalui ketua lingkungan. BPS mendatangi rumah peternak berdasarkan informasi dari ketua lingkungan. Suryamin menjamin tingkat akurasi sensus BPS sangat tinggi.

Lembaga ini menggunakan data hasil Sensus Ternak 2011 sebagai acuan. Nama dan alamat peternak sapi yang terdata pada 2011 dikunjungi kembali. Sebagian nama dicoret karena tidak lagi memiliki sapi. "Kami datangi lagi. Dulu sapinya ada sekian, sekarang berapa." Nama dan alamat peternak sapi baru, berdasarkan informasi dari dinas pertanian/peternakan, juga didatangi. BPS juga mendata sapi yang ada di pedagang, termasuk rumah potong hewan. Penelusuran ini untuk mengetahui mengapa angka populasi berkurang dan ke mana sapi dikirimkan.

Saat ini BPS sedang mengolah dan memverifikasi data di beberapa daerah. Tapi hasil sementara sensus telah bocor ke mana-mana. Di situ disebutkan populasi ternak di 33 provinsi hanya ada 13,2 juta ekor. Jumlah itu turun 19,52 persen dibandingkan dengan data hasil sensus 2011 sebanyak 16,6 juta ekor. Ternak yang dimaksud mencakup sapi potong, sapi perah, dan kerbau.

Dalam rekapitulasi hasil pemutakhiran data per awal Juni 2013 terungkap populasi ternak di 29 provinsi turun, terutama di daerah sentra ternak. Jawa Tengah turun 24,87 persen menjadi 1,6 juta ekor, Jawa Timur turun 26,16 persen menjadi 3,7 juta ekor (lihat tabel). Selain dijual ketika momentum harga tinggi, penurunan populasi diduga karena maraknya kasus pemotongan sapi betina produktif di berbagai daerah.

Hasil sensus sementara juga menunjukkan beberapa provinsi saja yang populasi ternaknya meningkat, yakni Riau sebesar 0,93 persen, DKI Jakarta 0,61 persen, Sulawesi Tengah 3,87 persen, Sulawesi Tenggara 2,52 persen, Sulawesi Barat 2,73 persen, dan Papua Barat 5,75 persen.

Dalam rapat evaluasi awal BPS atas pelaksanaan Sensus Ternak 2013 di Solo pada 10-12 Juni, Deputi Bidang Statistik Produksi Adi Lumaksono mengulas tren penurunan jumlah ternak sapi dan kerbau. Menurut dia, selisih angka yang cukup besar dibandingkan dengan data 2011 menjadi perhatian khusus yang harus bisa dijelaskan kepada publik. Setiap daerah diminta menelusuri penyebab berkurangnya populasi dan mendokumentasikan kronologi kejadian. Ia tak ingin publik menilai BPS keliru. Pertemuan ini dihadiri kepala bidang statistik produksi seluruh Indonesia.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana juga berbicara ihwal tren penurunan stok sapi dalam rapat koordinasi pangan, akhir Juni lalu. Dalam pertemuan yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa itu, ia menyebutkan populasi sapi tahun ini turun 20 persen dibanding pada 2011. Menurut sumber Tempo, tak ada penjelasan dari Kementerian Pertanian atas pernyataan Armida di forum tersebut.

Sumber Tempo yang lain menyebutkan, pada 18 Mei, Kementerian Pertanian mengundang semua kepala dinas pertanian/peternakan provinsi untuk membahas hasil sensus. Pertemuan di Hotel Salak, Bogor, itu dipimpin Direktur Jenderal Peternakan Syukur Iwantoro, yang dihadiri Deputi BPS Adi Lumaksono. Intinya, Kementerian Pertanian mempertanyakan penurunan angka populasi tersebut. Mereka meminta dilakukan pencocokan data atau verifikasi terutama di daerah sentra ternak.

Sejumlah kepala dinas pertanian/peternakan memang mempertanyakan data terbaru BPS. "Saya tidak percaya. Perlu dicek ulang pendataannya," ujar Kepala Dinas Pertanian Tuban Darmudji. Berdasarkan Pendataan Sapi Perah dan Kerbau 1 Juni 2011, jumlah sapi di Kabupaten Tuban 314 ribu ekor lebih. Tapi hasil sensus tahun ini turun 21 persen. Maka dilakukanlah pencocokan dan penghitungan kembali. Tiap kecamatan diambil contoh dua desa untuk dihitung ulang. Hasilnya, jumlah sapi bertambah 3.000 ekor. Tapi Dinas Pertanian Tuban tetap kurang puas.

Darmudji berkilah, selama lima tahun terakhir, Tuban mengembangkan program kawin suntik. Pemerintah Tuban mengucurkan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi dari Bank Jatim senilai Rp 13 miliar bagi peternak sapi. Kredit berbunga 11 persen itu disubsidi 7 persen. Targetnya: populasi sapi mencapai 600 ribu ekor atau separuh dari jumlah penduduk daerah itu, yang saat ini 1,2 juta jiwa. Beberapa kecamatan dikembangkan sebagai sentra peternakan sapi, seperti Montong, Merakurak, Semanding, Bancar, Palang, Jenu, dan Plumpang.

Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur Maskur menambahkan, produksi sapi di wilayahnya cenderung naik. Jumlah kelahiran sapi meningkat dari 990 ribu menjadi hampir 1 juta ekor per tahun. Jumlah sapi potong yang dialokasikan ke luar Jawa Timur tahun lalu sebesar 190 ribu ekor, dan tahun ini akan meningkat menjadi 288.274 ekor. Untuk kebutuhan lokal, disediakan 450-510 ribu ekor setahun.

Sebaliknya, Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Timur Sairi Hazbullah mengatakan hasil sensus terbaru menunjukkan tren penurunan populasi sapi. "Sedang difinalisasi." Ia meyakinkan hasil sensus sangat akurat. Apalagi metode pencacahan telah diatur undang-undang.

Penolakan atas hasil sensus juga datang dari Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Kepala Dinas Pertanian Sukoharjo Giyarti berkukuh populasi sapi di wilayahnya meningkat dibandingkan dengan data 2011, yang tercatat 37.064 ekor. Tahun ini, kata Giyarti, dinas juga menghitung, meski tidak sampai mencacah ke kandang-kandang. "Kami menggunakan asumsi yang bisa dipertanggungjawabkan." Para petugas menghitung angka kelahiran, jumlah sapi masuk dikurangi angka kematian, jumlah sapi ke luar daerah, dan sapi yang dipotong. Lantas dibandingkan dengan data Sensus Ternak 2011. Dari situ disimpulkan populasi sapi meningkat cukup banyak.

Giyarti tidak paham dengan metode penghitungan yang dilakukan BPS dalam Sensus Pertanian 2013. Apalagi selisih data kedua instansi lebih dari 14 ribu ekor. "Seharusnya sensus diulang dengan menggunakan sistem seperti yang dilakukan tahun 2011."

Selisih data yang besar itu membuat Kementerian Pertanian, dinas pertanian, dan BPS melakukan pencocokan dan penelitian bersama pada 22-24 Juni lalu. Mereka mengambil sampel di tiga kelompok ternak dan satu rumah tangga peternak. Hasilnya, menurut Gayatri, ada 119 ekor sapi yang ternyata luput dari hitungan BPS.

Pencocokan dan penelitian data juga digeber di delapan kabupaten di Jawa Barat, antara lain di Bogor, Sukabumi, Karawang, Cianjur, Tasikmalaya, Ciamis, dan Sumedang. Di daerah-daerah itu diyakini penghitungan belum tuntas. "Baru selesai empat kabupaten, tinggal empat lagi," ucap Kepala Dinas Peternakan Jawa Barat Koesmayadi Tatang Padmadinata.

Tahap ini dikerjakan petugas BPS provinsi dan kabupaten/kota dibantu petugas dinas peternakan setempat. Tujuannya agar tidak ada sapi yang terlewat. Sebaliknya, jangan sampai ada yang dihitung dua kali. Menurut Koesmayadi, di daerah itu, BPS baru mencatat populasi ternak yang ada di rumah tangga petani, belum termasuk stok di non-rumah tangga. Misalnya di balai penelitian milik pemerintah, dinas peternakan provinsi, dan perguruan tinggi di Bogor.

Ia menambahkan, sensus juga melewatkan penghitungan sapi yang dipelihara dengan cara "marwati", yakni sapi yang dititipkan pemilik kepada petani sapi dengan pola bagi hasil. "Pemelihara tidak mau mengakui bahwa itu sapi dia."

Menteri Pertanian Suswono menunggu hasil verifikasi data oleh BPS. "Jika benar terjadi penurunan, tentu akan dikaji apa penyebab penurunannya. Bisa jadi efek dari pembatasan importasi sehingga terjadi pengurasan populasi lokal untuk memenuhi kebutuhan."

Kepala BPS Suryamin meyakinkan BPS telah melakukan verifikasi di daerah-daerah yang diminta Kementerian Pertanian. "Di beberapa tempat yang diminta didatangi ternyata telah kami datangi sebelumnya." Saat ini proses pengolahan data telah mencapai 90 persen lebih. "Hampir semua telah ter-cover." Rencananya hasil lengkap akan diumumkan secara resmi September nanti. Tapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengambil sebagai bahan pidato kenegaraan pada 17 Agustus. Hasil sensus secara umum akan disampaikan dalam nota keuangan pemerintah 2013 kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Publik, menurut Suryamin, harus mencermati hasil sensus. Data 2011, misalnya, jangan hanya dilihat total populasi 14,8 juta ekor, tapi tingkat kepemilikan rumah tangga yang mencapai 14,2 juta ekor oleh 5,9 juta rumah tangga. Artinya, tiap rumah tangga rata-rata memiliki atau memelihara 2-3 ekor. Padahal, karakteristik rumah tangga, sapi akan dijual bila memerlukan dana untuk pendaftaran sekolah, khitan, atau mantu.

Sebaliknya, cuma 600-an ribu ekor yang dimiliki perusahaan. Angka inilah yang merupakan stok sapi yang riil dan siap dipotong. Padahal, dalam Program Swasembada Daging Sapi, pemerintah menargetkan penyediaan daging sapi nasional meningkat dari 283 ribu ton pada 2010 menjadi 420 ribu ton pada 2014. Saat itu, diproyeksikan konsumsi rumah tangga dan industri 593 ribu ton. Tapi, faktanya, Kementerian Perdagangan menghitung, per Februari 2013 saja kebutuhan telah mencapai 629 ribu ton.

Toh, Menteri Pertanian Suswono masih optimistis terhadap target swasembada daging 2014. "Kami mengharapkan bisa tercapai tahun depan," katanya kepada pers di sela kunjungan ke Pasar Angso Duo, Jambi, 27 Juli lalu. Suswono mengatakan konsumsi daging domestik meningkat seiring dengan kenaikan jumlah masyarakat kelas menengah.

Sebaliknya, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menyatakan pemerintah akan meninjau kembali Program Swasembada Daging Sapi sesuai dengan hasil sensus pertanian. "Apa pun hasilnya, Kementerian Pertanian harus merespons kembali dengan me-review program swasembada," ujar Rusman, yang juga bekas Ketua BPS. Dia menegaskan, program swasembada akan ditinjau baik dari sisi rantai pasok maupun permintaan masyarakat.

Retno Sulistyowati, Pingit Aria, Bernadette Christina, Sujatmiko (Bojonegoro), Agita (Surabaya), Ahmad Rafiq (Sukoharjo), Ahmad Fikri (Bandung)


Populasi Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011

  • Jawa Tengah: 2,15 juta ekor
  • Jawa Timur: 5 juta ekor
  • Bali: 683,6 ribu ekor
  • Nusa Tenggara Barat: 791 ribu ekor
  • Nusa Tenggara Timur: 926,7 ribu ekor
  • Sulawesi Selatan: 1,07 juta ekor

    Hasil Sementara Sensus 2013

  • Jawa Tengah: 1,6 juta ekor
  • Jawa Timur: 3,7 juta ekor
  • Bali: 456,1 ribu ekor
  • Nusa Tenggara Barat: 674,4 ribu ekor
  • Nusa Tenggara Timur: 789,3 ribu ekor
  • Sulawesi Selatan: 1,02 juta ekor
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus