Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan risiko gagal bayar utang luar negeri oleh korporasi kian besar lantaran nilai tukar rupiah berada di posisi rawan. Menurut dia, gejolak nilai tukar rupiah bisa terjadi sewaktu-waktu dan menyebabkan kenaikan beban utang dalam bentuk valuta asing. "Kondisi ini bisa mengakibatkan gagal bayar," kata dia kepada Tempo, kemarin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan statistik utang luar negeri Bank Indonesia, nilai utang korporasi swasta dan badan usaha milik negara hingga Juli 2019 mencapai US$ 197,8 miliar atau sekitar Rp 2.769,20 triliun (asumsi kurs 14 ribu per dolar Amerika). Nilainya naik 11,5 persen secara tahunan dan tumbuh 11,1 persen secara bulanan. Kenaikan utang dipicu oleh maraknya penerbitan obligasi global oleh korporasi non-lembaga keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Piter, risiko gagal bayar perlu segera diantisipasi oleh Bank Indonesia ataupun pemerintah melalui kebijakan khusus untuk menghadapi pelemahan ekonomi global dan gejala penurunan kurs rupiah. Jika perusahaan swasta mengalami gagal bayar, kata dia, hal itu akan memicu kenaikan rasio kredit macet perbankan secara drastis. "Perbankan mengalami krisis, investasi terhenti, pengangguran meningkat, dan pertumbuhan ekonomi terkoreksi," ujar dia.
Awal pekan ini, lembaga pemeringkat internasional, Moody’s Investor Service, merilis hasil riset yang menyebut risiko gagal bayar utang swasta korporasi Indonesia meningkat. Dalam laporan berjudul Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen tersebut, Moody’s menyitir hasil stress test risiko kredit dari 13 negara Asia-Pasifik, di mana Indonesia tercatat memiliki interest coverage ratio (ICR) yang sangat kecil.
Sebanyak 40 persen utang korporasi Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2. Skor ICR yang semakin rendah menunjukkan ketidakmampuan perusahaan untuk membayar utangnya. Berdasarkan catatan Moody’s, peningkatan risiko gagal bayar dipicu oleh menurunnya pendapatan korporasi yang bergerak di sektor komoditas. "Meningkatnya tensi perang dagang dan geopolitik membebani ekonomi global, di tengah pertumbuhan yang sudah melambat," kata Asisten Wakil Presiden dan Analis Moody’s, Rebaca Tan.
Namun Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, mengatakan pantauan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menunjukkan utang swasta saat ini terbilang normal. Terlebih, kata dia, Bank Indonesia memiliki aturan kewajiban transaksi lindung nilai (hedging) untuk meminimalkan risiko utang dalam bentuk valuta asing. "Itu sudah terkontrol," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan pengusaha untuk berhati-hati saat hendak menerbitkan surat utang di tengah gejolak perekonomian global dan domestik saat ini. "Apa pun yang disampaikan oleh lembaga pemeringkat adalah suatu assessment dan peringatan yang baik, untuk menjadi bahan bagi para pengambil keputusan."
Presiden Direktur PT Mayapada International Tbk, Hariyono Tjahjarijadi, mengakui lesunya kinerja korporasi sudah dirasakan oleh perbankan. "Pelemahan terjadi pada hampir semua industri," katanya. Untuk mengantisipasi gejolak, bank menyiapkan skema pencadangan hingga restrukturisasi kredit. "Kami juga mengimbau debitor untuk mengurangi outstanding kredit agar meringankan beban bunga atau angsuran mereka," ujar Haryono.
Suramnya kondisi industri juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Benang dan Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta. "Industri tekstil yang berorientasi pasar domestik sedang mengalami stagnasi karena maraknya barang impor," kata dia. Jika dibiarkan, kata Redma, kasus gagal bayar utang bakal terjadi di sektor ini. FAJAR PEBRIANTO | GHOIDA RAHMAH
Risiko Gagal Bayar Utang Swasta Meningkat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo