Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bulog menggelar operasi pasar beras sepanjang tahun.
Strategi operasi pasar beras Bulog menuai kritik.
Bulog beralasan operasi pasar masif demi menekan harga.
JAM pada sore itu sudah menunjukkan pukul tiga lebih. Biasanya Usanah, pedagang beras di Pasar Peterongan, Kota Semarang, sudah menutup lapaknya dan pulang. Tapi, pada pertengahan Januari lalu itu, dia sengaja menunda kepulangan setelah mendengar kabar bahwa Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik alias Perum Bulog akan menggelar operasi pasar, menjual beras murah, di pasar tempatnya berjualan. Perempuan 63 tahun ini tak mau terlewat setelah dalam operasi pasar sebelumnya dia tak kebagian jatah gara-gara tak mendapat kabar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang petang, truk pengangkut beras yang ditunggu Usanah tiba. Dia dan para pedagang lain lantas menyerbu truk berselimut spanduk Bulog itu. "Saat itu saya beli sepuluh bungkus, masing-masing kemasan 5 kilogram," dia bertutur kepada Tempo pada Jumat, 27 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Usanah, Bulog tak membatasi jumlah pembelian beras. "Yang punya uang bisa beli lebih banyak." Beras lima kiloan itu dibanderol Rp 41.500 per bungkus. Dia lantas menjualnya seharga Rp 47-48 ribu. Usanah dan para pedagang lain pun terus menanti Bulog menggelar operasi pasar, yang kini menjadi program bernama Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Lain dengan Usanah dan sejawatnya di Pasar Peterongan, Hartono dan para pedagang beras lain di Pasar Karangayu, Kota Semarang, tak mendapat gelontoran beras Bulog. Padahal jaraknya hanya 7 kilometer dari tempat Usanah berjualan. "Saya terakhir ambil beras Bulog lima bulan lalu," kata Hartono. Padahal dia kini sedang sulit mencari pasokan sehingga terpaksa membeli beras dari pedagang di Pasar Peterongan agar tetap bisa berjualan. "Beras yang saya jual ini harganya Rp 12 ribu per kilogram," dia mengungkapkan.
Pemimpin Bulog cabang Semarang, Yonas Haryadi Kurniawan, mengatakan telah menggelar operasi di semua pasar. Selain di Kota Semarang, Yonas mengaku menjalankan SPHP di Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Grobogan. "Di setiap pasar minimal lima toko yang kami drop. Bahkan ada yang sampai 25 toko," ujarnya. Bulog juga menyuplai beras ke toko-toko. "Agar konsumen bisa mendapat beras di bawah HET," Yonas memaparkan. Pemerintah mematok HET atau harga acuan tertinggi Rp 9.450 per kilogram.
Pada Januari 2023 Bulog Semarang telah mengeluarkan 3.000 ton beras. “Tak ada perbedaan daerah penghasil beras seperti Demak dan Grobogan dengan yang lain,” tutur Yonas.
Program SPHP juga berjalan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, meski dua wilayah itu tergolong lumbung padi terbesar nasional. Sepanjang Januari 2023, Bulog mendistribusikan 22.914 ton beras melalui program operasi pasar, sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pedagang pasar tradisional. Perusahaan pelat merah itu juga menggunakan mobil untuk memasarkan beras secara berkeliling di wilayah yang membutuhkan pasokan. "Paling tidak beras Bulog bisa menjadi pilihan bagi masyarakat," kata pemimpin Bulog wilayah Sulawesi Selatan dan Barat, Bakhtiar A.S.
Tapi Bahar, pedagang beras di Pasar Todopuli, Kota Makassar, mengaku cuma kebagian sekali. Operasi pasar beras Bulog di pasar tempat ia membuka lapak berlangsung pada pekan kedua Januari lalu. Pria 49 tahun itu beroleh 30 kantong beras kemasan 5 kilogram, masing-masing seharga Rp 50 ribu. Bulog memasok Pasar Todopuli sebanyak 200 kantong. Tak sampai sepekan, dagangan Bahar ludes. "Berasnya bagus, banyak yang suka," ucapnya pada Kamis, 26 Januari lalu.
Bahar berharap SPHP bisa berlangsung rutin. “Kalau hanya sekali, buat apa?” kata pria asal Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, itu. Menurut Bahar, harga beras saat ini naik rata-rata Rp 200 per kilogram. Beras kemasan 25 kilogram, misalnya, kini dibanderol Rp 290 ribu, sementara beras 10 kilogram Rp 125 ribu.
Tapi operasi pasar ini menuai pandangan miring. Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan program stabilisasi harga beras harus tepat strategi, waktu, dan titik lokasi. Menurut dia, ada faktor musim yang menyebabkan surplus atau defisit di bulan-bulan tertentu. Idealnya, Sutarto menjelaskan, pada saat surplus, pemerintah membeli beras dari petani untuk cadangan. Ketika produksi berlimpah, semestinya tidak ada operasi pasar. Tapi Bulog justru menggeber operasi pasar sepanjang tahun lalu. “Ini keluar dari pakem Bulog. Artinya, ada yang tidak tepat,” ujarnya pada Kamis, 26 Januari lalu.
Sutarto, yang menjabat Direktur Utama Perum Bulog selama 2009-2014, mengatakan pemerintah sebetulnya tidak boleh melepas dan pada saat bersamaan juga membeli beras. “Barang bisa muter. Itu yang harus dihindari agar tidak dimanfaatkan pihak yang nakal," katanya. Dia memberi contoh, dari Maret, April, Mei, Juni, sampai Juli, seharusnya Bulog hanya menyerap hasil panen raya. “Pertanyaannya, mengapa Bulog melepas?” tuturnya.
Sutarto mengaku mendengar kabar bahwa Bulog saat itu terpaksa melepas beras yang telah tersimpan lama. Beberapa anggota Perpadi, dia mengungkapkan, diminta membantu dengan cara membeli beras berkualitas rendah tersebut. Pembelian menggunakan skema bundling atau paket dengan beras Bulog yang baru. Walhasil, pedagang harus mengolah dulu beras tersebut sebelum mencampurnya dengan beras bagus. “Harus dicampur. Kalau tidak, konsumen enggak mau.”
Operasi pasar yang digeber di daerah lumbung padi seperti Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat juga, menurut Sutarto, membingungkan. Sepanjang tahun lalu, Bulog rutin menggelar operasi pasar di semua wilayah. Dari 1,26 juta beras yang digelontorkan lewat program itu, Jawa Timur kebagian jatah paling besar, yakni 203.631 ton (16,14 persen), diikuti Jawa Tengah 176.658 ton (14 persen), Jawa Barat 160.122 ton (12,69 persen), dan Sulawesi Selatan 152.148 ton (12,06 persen).
Padahal, Sutarto menambahkan, daerah-daerah itu tidak memerlukan operasi pasar pada masa panen. Dia memberi contoh Sulawesi Selatan yang bukan daerah minus beras. Bahkan Enrekang yang angka produksi berasnya terendah di Sulawesi Selatan, menurut catatan Badan Pusat Statistik, masih menghasilkan beras lebih dari 23 ribu ton pada 2021. Tapi daerah ini berdekatan dengan Sidenreng Rappang yang menghasilkan lebih dari 275 ribu ton. Adapun di Jawa hanya Jakarta yang membutuhkan operasi pasar. “Tapi kondisi sekarang sudah kacau sehingga daerah lumbung seperti Jawa Timur pun minta," kata Sutarto.
Ihwal operasi pasar ini, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan operasi pasar sepanjang tahun ia terapkan sejak 2018 karena kenaikan harga tidak merata di semua wilayah. “Ada satu wilayah naik, segera kami intervensi,” ujarnya pada Jumat, 27 Januari lalu. Di sisi lain, Budi melanjutkan, angka serapan padi atau beras dari petani menurun drastis. Hal ini terjadi sejak Bulog tak lagi menjalankan program Beras Sejahtera untuk masyarakat miskin pada 2019 tapi pemerintah masih meminta penyimpanan stok hingga 1,5 juta ton. “Jadinya masih banyak beras tersisa.”
Agar tak ada beras tersisa, Budi menggelar operasi pasar sepanjang tahun. “Selain itu, supaya tidak ada lagi kekurangan pangan dan kenaikan harga,” dia menjawab. Tahun lalu, saat harga beras naik tajam karena kekurangan suplai, Bulog menambah volume untuk operasi pasar dari semula 30 ribu ton menjadi 160 ribu ton, kemudian 112 ribu ton, lalu 260 ribu ton per bulan.
JAMAL ABDUN NASHR (SEMARANG), DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo