Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) membeberkan perkembangan indikator stabilitas nilai tukar rupiah hingga Jumat, 3 November 2023. Perkembangan tersebut berdasarkan kondisi perekonomian global dan domestik terkini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meskipun belakangan rupiah dalam tren melemah, tapi pada perdagangan akhir pekan kemarin mata uang garuda ditutup menguat. BI mencatat, pada Kamis, 2 November 2023, rupiah ditutup pada level (bid) Rp 15.850 per dolar Amerika Serikat. Sementara, yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun turun ke 7,05 persen. Sedangkan, DXY[1] melemah ke level 106,12.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Yield UST (US Treasury) Note[2] 10 tahun turun ke level 4,659 persen,” demikian tertulis dalam laporan BI dikutip dari laman resminya pada Sabtu, 4 November 2023.
Kemudian pada Jumat, 3 November 2023, Rupiah dibuka pada level (bid) Rp 15.825 per dolar AS. Sedangkan Yield SBN 10 tahun turun ke 6,94 persen.
Sementara, pada aliran modal asing di pekan pertama November 2023, tercatat premi credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 2 November 2023 sebesar 86,10 basis poin. Angka itu turun dibandingkan per 27 Oktober 2023 sebesar 100,32 basis poin.
Berdasarkan data transaksi 30 Oktober – 2 November 2023, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp 2,83 triliun. Di mana terdiri dari beli neto Rp 4,07 triliun di pasar SBN, jual neto Rp 2,84 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 1,61 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Selama tahun 2023, berdasarkan data setelmen hingga 2 November 2023, nonresiden beli neto Rp 53,43 triliun di pasar SBN, jual neto Rp 15,02 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 14,59 triliun di SRBI.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sebelumnya menyebutkan keputusan bank sentral mengerek suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate bertujuan guna menjaga stabilitas rupiah serta menjaga Indonesia dari risiko ekonomi global. Sebab, perekonomian global saat ini tengah menunjukkan kinerja pertumbuhan yang melambat serta ketidakpastian yang makin meningkat.
Selanjutnya: "Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan..."
"Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkatnya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation)," tuturnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Jumat, 3 November 2023.
Adapun Ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menilai bahwa depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 2,34 persen (year-to-date/ytd) saat ini relatif lebih baik dibandingkan depresiasi yang dialami oleh mata uang negara lain.
Peningkatan indeks dolar atau DXY memberikan tekanan terhadap mata uang utama seperti Yen Jepang dan Dolar Australia yang masing-masing tercatat melemah 12,61 persen dan 6,27 persen ytd.
"Yen Jepang dan Dolar Australia yang melemah masing-masing 12,61 persen dan 6,72 persen ytd, serta depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia dan Baht Thailand masing-masing 7,82 persen dan 4,39 persen ytd," kata Sri Mulyani .
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengatakan ke depan, langkah stabilisasi nilai tukar rupiah akan terus diperkuat sejalan dengan nilai fundamentalnya.
Pemerintah juga akan meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan, menarik aliran portfolio asing, serta memperluas rangka implementasi Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Hal itu sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.
"Penguatan harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan juga akan terus dilakukan untuk memperkuat efektivitas bauran kebijakan makro baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan maupun untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
MOH KHORY ALFARIZI | ANTARA