KANSELIR Jerman Barat, Helmut Kohl, kelihatan bersemangat
berbicara soal penempatan peluru kendali Amerika Serikat, Cruise
dan Pershing II di Eropa Barat. Tapi tiba-tiba ia kelihatan agak
lesu ketika harus mengutarakan penanaman modal Jerman di sini.
"Hal ini telah kami bicarakan panjang lebar," kata Kohl dalam
konperensi pers sebelum mengakhiri kunjungan dua hari di sini
minggu lalu. "Tapi, tidak ada perjanjian atau komitmen yang
tegas mengenai hal itu."
Kohl kelihatan enggan menyinggung masalah investasi mengingat
investasi pengusaha Jerman yang sudah direalisasikan di sini
sejak 1976 cuma DM 220 juta (US$ 82 juta). Atau hanya 1,8% dari
US$ 4.468 juta realisasi PMA. Bidang yang diminati pengusaha
Jerman pun sangat terbatas, yaitu industri farmasi dan kimia,
logam dan mesin, serta elektronik. "Sudah jadi tradisi,
pengusaha Jerman Barat kurang menyukai menanamkan modal di
bidang pertambangan, perkebunan, atau barang konsumsi di negara
yang jauh letaknya," kata Jurge Willecke, ketua Ekonid
(Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman).
Para pengusaha itu enggan datang ke sini, kata ketua BKPM
Suhartoyo, mungkin karena persoalan dalam negeri mereka. "Saya
heran, kok mereka tidak mehhat pasaran yang besar di sini,"
katanya. Ia menunjuk contoh keberhasilan BASF yang merajai
pasaran pita kaset di Indonesia. "Bahkan ia bisa mengalahkan
produksi Jepang," katanya.
Suhartoyo menunjukkan bahwa jumlah investasi ari Jerman yang
dlsetu)ui selama ini hanya mencapai US$ 295 juta. Atau menduduki
urutan ke-6, di bawah Hong Kong. Tapi, para penanam modal dari
Jerman itu bisa unggul, terutama di bidang industri farmasi dan
kimia, serta logam dan mesin.
Contoh perusahaan farmasi dan kimia yang merajai pasaran di
sini, antara lain, Bayer AG, Hoechst Aktiengeselschaft, E. Merck
AG, Nattermann International dan Schering AG. Dari 138 industri
kimia dan farmasi yang beroperasi di Indonesia, Jerman memiliki
12 perusahaan yang tergolong beken. Di samping itu, Jerman
memiliki 20 perusahaan logam dan mesin terkemuka dari 145
investor di sini. Yang cukup menonjol: Kabel und Metalwerke
Gutchoff, Nungshutte AG, Ferrostaal AG, Kloeckner Humboldt-Deutz
AG, dan Manesman Handel AG. Sedang investasi di bidang
elektronika sebanyak empat buah, antara lain AEG Telefunken dan
Siemens Aktiengeselckaft.
Hal-hal yang masih dianggap sebagai penghalang mengalirnya
investasi Jerman Barat ialah soal peraturan dan iklim yang belum
nyamah. "Misalnya soal pengalihan saham 51 persen kepada partner
nasional setelah 10 tahun," kata P. Simanjuntak, direktur
keuangan PT Schering Indonesia. Hal ini akan merisaukan
perusahaan besar yang sudah punya nama di berbagai negara.
Terutama bila partner Indonesia itu tidak becus mengurus
manajemen perusahaan. "Akibatnya, nama yang besar itu akan jatuh
pula," kata Simanjuntak dari pabrik Schering, yang telah
menanamkan modal US$ 3 juta di Indonesia.
Karena iklim investasi yang belum pasti, peraturan belum mantap,
dan prosedur perizinan berliku-liku, banyak calon investor
berbelok ke Singapura atau Malaysia sebelum sampai ke Indonesia.
"Kedua negara itu telah mempunyai peraturan yang mantap," kata
Willecke. Kecuali itu, di kedua negara tadi "prospek
pemasarannya terjamin," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini