PINJAMAN tanpa bunga, yang mulai dikembangkan di Iran dan Pakistan, sebenarnya sudah dipraktekkan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sejak dasawarsa lalu. Sampai semester I 1965, Bapindo telah menyalurkan Rp 12,1 milyar, sebagai penyertaan modal pada sejumlah perusahaan. Selain itu, ada lagi Rp 39,3 milyar yang diberikan sebagai "campuran" kredit dan penyertaan modal. Dan Bapindo kini merencanakan menjual sebagian saham-saham tersebut kepada masyarakat. Tentu saja, saham perusahaan yang dianggap sehat dan telah memberikan dividen. Menurut Direktur Kredit, Dana, dan Keuangan Bapindo, Subekti Ismaun, prioritas penawaran saham itu sebetulnya pada para pemilik perusahaan yang bersangkutan. Namun, rupanya, mereka masih segan menebus. "Maklum, situasi ekonomi sedang lesu," tutur Subekti kepada TEMPO, pekan lalu. Nama-nama perusahaan yang sebagian sahamnya dipegang Bapindo dan hendak dimasyarakatkan itu belum diungkapkan. Data yang diberikan menyatakan bahwa penyertaan modal Bapindo itu 57% pada perusahaan yang bergerak di sektor industri, 32% di angkutan laut, 2% pada perhotelan, dan 9% di bidang jasa. Jumlah seluruhnya ada pada 47 perusahaan, yang terdiri dari 41 perusahaan swasta nasional (PMDN), 5 asing (PMA), dan sebuah perusahaan negara (BUMN). Ada empat sebab mengapa Bapindo bisa memiliki saham pada perusahaan-perusahaan itu. Pertama, karena nasabah yang mengajukan kredit belum mampu menyediakan 35% dari modal yang diperlukan. Untuk itu, Bapindo melengkapi kekurangan modal mereka, baru kemudian memberikan kredit senilai 65% dari besarnya proyek yang dinilai layak. Kedua, dalam rangka pemberian kredit kepada perusahaan yang belum memenuhi persyaratan saham pribumi. Sponsor dari golongan ekonomi kuat mengeluh sulit mendapatkan rekan. Karena proyeknya cukup baik, Bapindo kemudian memperkuat modal si pengusaha ekonomi lemah. Kasus ketiga, dalam rangka pengindonesiaan perusahaan patungan modal asing. Kasus keempat - yang ini biasa terjadi di seluruh dunia perbankan - berkenaan dengan utang yang tak bisa dibayar perusahaan, sehingga terpaksa diubah menjadi saham bank. "Saham bukan pinjaman berbunga. Malah Bapindo merugi pada tahun-tahun pertama penyertaan modal itu," tutur Subekti. Setelah perusahaan itu berjalan baik, antara lain berkat bantuan pengarahan dalam bidang manajemen pemasaran, Bapindo menawarkan sahamnya kepada pemegang saham yang dibantu tadi. Harga saham itu dijual kembali, ditambah bunga sekitar 13,5% per tahun, tanpa perhitungan "bunga berbunga". "'Kan ringan," kata Subekti. PT Aruki (Surabaya) adalah salah satu perusahaan yang pernah dibantu modalnya oleh Bapindo. Perusahaan itu, yang merupakan patungan antara MitsuiJepang dan Poleko Group (Indonesia), masing-masing menanggung 60% dan 40% dari modal US$ 2 juta. Pada pendirian PT, 1976, Poleko rupanya baru bisa menyetor 30%, sehingga perlu meminta bantuan modal dari bank. Menurut Direktur Utama Aruki, A. Baramuli, Bapindo mengambil 10% jatah Aruki dengan syarat Poleko harus mengembalikan pinjamannya dalam tempo lima tahun. Ternyata, pasaran lem kayu lapis buatan Aruki waktu itu memang cerah. "Cuma dalam dua tahun, kami sudah mengembalikan modal Bapindo dengan tambahan nilai sekitar 13% per tahun," tutur Baramuli. MW Laporan Toriq H. & Eko Y. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini