LEASING, sebagai salah satu usaha di bidang pembiayaan, semakin
menarik penanam modal dari luar negeri. Berpatungan dengan PT
Indo Sanggar Pacific, belum lama ini Ayala International Finance
Ltd. (Hongkong) membentuk PT Indo Ayala Leasing Corp. Pendatang
baru yang berkantor di Wisma Antara ini memulai usaha
patungannya dengan modal disetor Rp 1,5 milyar, yang ditanggung
fifty-fifty.
Menurut kontrak, Ayala Finance diwajibkan menyediakan dana
(pinjaman) tambahan sebesar Rp 3 milyar plus dana (pinjaman)
biaya, dan garansi untuk mendapatkan dana tak terbatas.
"Perusahaan ini terbentuk karena saya (Indo Sanggar) kekurangan
modal," kata Tryana Syam'un, Direktur Utama Indo Ayala.
Dengan demikian perusahaan leasing yang beroperasi di Jakarta
kini berjumlah 10 buah. Leasing yang merupakan salah satu
pilihan pengusaha untuk memperoleh dana berupa barang modal
mulai diizinkan beroperasi sejak delapan tahun lalu. Untuk
mengatur usaha itu Menteri Keuangan, Perdagangan, dan
Perindustrian mengeluarkan surat keputusan bersama 7 Februari
1974. Tiga bulan kemudian Menteri Keuangan Ali Wardhana
mengeluarkan sebuah surat keputusan yang lebih terperinci.
Di SK Menkeu Ali Wardhana itu, misalnya, dijelaskan bahwa
perusahaan leasing dilarang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk giro, deposito, tabungan maupun memberikan kredit,
dan mengeluarkan jaminan bagi pihak ketiga. Karena itulah, maka
perusahaan leasing hanya bisa memperoleh dana dari pinjaman
dalam negeri, dan luar negeri (off shore) dalam bentuk dollar
Amerika.
PT Central Sari Metropolitan Leasing Corp., patungan antara Bank
Central Asia dengan Japan Leasing, misalnya, memperoleh sebagian
besar dananya dari off shore. Hal serupa juga dilakukan Indo
Ayala. "Biasanya untuk pinjaman dari luar kami bayar forward
contract (semacam asuransi jaminan untuk menjaga kemungkinan
merosotnya kurs) dengan Citibank sebesar 3-4% dari jumlah dana,"
kata Tryana. Dengan cara itu maka Citibanklah yang kelak
menjamin ketekoran jika terjadi kemerosotan kurs.
Perusahaan leasing kemudian mengunakan dana itu untuk membeli
barang modal -- seperti mesin maupun alat-alat berat -- yang
diperlukan nasabah. Selama jangka waktu tertentu, nasabah
sebagai penyewa barang modal diwajibkan membayar angsuran sewa
(bulanan atau triwulanan) kepada perusahaan leasing. Jika jumlah
sewa yang dibayar berikut bunga tadi sudah mencapai nilai harga
barang modal, maka nasabah (penyewa) berhak memiliki barang itu.
Untuk membeli barang modal itu, penyewa sepenuhnya berhak
menentukan sendiri merk dan spesifikasinya. "Dalam penentuan
barang kami tidak turut campur," kata S. Ranty, Wakil Presiden
Direktur Central Sari Metropolitan. "Kalau turut campur, penyewa
bisa mengklaim kami karena, misalnya, barangnya tidak memenuhi
syarat." Sudah 30 nasabah ditangani perusahaan itu. Barang modal
yang disalurkannya, antara lain alat-alat pertanian (traktor),
dan mesin tekstil.
Kegiatan leasing yang menyediakan sumber pembiayaan di luar
sistem moneter itu, menurut Marzuki Usman, Direktur Lembaga
Keuangan, Dep. Keuangan, secara langsung tidaklah mempengaruhi
volume uang yang beredar. "Karena itu leasing adalah alternatif
pembiayaan yang bersifat noninflatoir," katanya kepada bulanan
Infobank. Pendapat serupa juga dikemukakan Tryana. "Karena yang
kami sediakan adalah barang, bukan mengedrop uang kontan."
Proses untuk memperoleh barang modal itu biasanya hanya memakan
waktu seminggu, dan maksimum sebulan, serta tidak lagi mutlak
memerlukan jaminan fisik. "Kalau jumlah dana yang diperlukan
besar, urusan dengan kami paling lama sebulan," kata Sunarto,
staf senior PT First Indo American Leasing (FIAL) -- patungan
antara Bank of America dengan Paul Hamid Nyotokusumo (Pionir
Grup). Deal di atas US$ 500, keputusannya berada di tangan
direksi, sementara di bawah jumlah itu diserahkan pada staf
senior.
Kemudahan-kemudahan semacam itulah yang menyebabkan perusahaan
leasing punya daya saing tinggi -- sekalipun suku bunganya
tinggi -- dengan lembaga keuangan nonbank (LK), dan bank
komersial. "Dengan LK biasanya lebih sulit, dan prosesnya lama,"
kata Handoyo, staf senior PT Pembangunan Jaya. Perusahaan itu
tahun ini memanfaatkan dana leasing Rp 1 milyar dari PT Obul dan
Indo Ayala. "Buat kami faktor kecepatan sangat mutlak, dan bisa
untuk mengkompensasi tingginya suku bunga yang dikenakan
perusahaan leasing," tambahnya.
SELAIN itu pinjaman barang modal dari perusahaan leasing tidak
dikenakan plafon (ceiling), seperti yang dilakukan bank
komersial. Tenggang waktu penyewaan barang pun tidak terbatas.
Dan karena yang disewakan barang modal, maka nasabah (penyewa),
antara lain, akan memperoleh keuntungan pajak yang biasanya
dikenakan atas laba perusahaan.
Kadang-kadang dalam menentukan bonafiditas calon nasabah,
perusahaan leasing sering sulit mendapatkan informasi perbankan,
semacam jasa yang diberikan antar-bank guna memudahkan proses
analisa terhadap calon nasabah. Hambatan itu terutama dialami
oleh perusahaan leasing yang bukan merupakan usaha diversifikasi
(anak perusahaan) lembaga perbankan -- seperti Indo Ayala. "Jika
informasi perbankan itu bisa diberikan merata ke semua
perusahaan leasing, kami akan lega," kata Tryana.
Karena memiliki informasi mengenai nasabah, dan tertarik pada
keuntungan besar yang akan diperoleh itulah banyak bank serta
lembaga keuangan nonbank juga terjun ke usaha leasing. Untuk
mencegah terjadinya jual beli izin usaha leasing, Dep. Keuangan
sejak Mei lalu menaikkan modal yang disetor dari Rp 500 juta
(untuk perusahaan nasional), dan Rp 1,5 milyar (untuk perusahaan
patungan), masing-masing menjadi Rp 1 milyar, dan Rp 3 milyar.
Sampai Desember tahun lalu demikian Tryana, dana yang ditebar 10
perusahaan leasing mencapai sekitar Rp 51 milyar -- sebagian
besar untuk sektor transportasi, dan konstruksi. Dia optimistis
dana yang disalurkan tahun ini akan mencapai Rp 85 milyar. Tapi
perputaran modal itu, tentu saja, banyak dipengaruhi berbagai
kegiatan ekonomi internasional yang kini masih resesi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini