Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sama-sama bandit ?

Harapan agar isu pribumi vs nonpribumi tidak dibe- sar-besarkan dikemukakan oleh sofyan wanandi, kwik kian gie, ciputra dan henry pribadi.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka mengharap agar isu pribumi vs nonpribumi tidak dibesar-besarkan. Masalahnya bukan terletak di situ. Dan tuntutan pribumi untuk porsi lebih besar dianggap wajar. SOFYAN Wanandi, bos Pakarti Group. Dikenal juga sebagai Liem Bian Koen, dilahirkan 50 tahun yang lalu di Sawahlunto, Sumatera Barat. Di bawah Gemala Group yang dipimpinnya, berkembang 30 perusahaan, antara lain industi aki dan transmisi, kontainer, perhotelan, perbankan, asuransi, dan jasa angkutan kapal. Berikut pendapat Sofyan mengenai isu pri dan nonpri. Saya sendiri tidak pernah merasa bahwa saya ini nonpribumi. I am proud to be Indonesian. Jangan hanya karena permainan segelintir pengusaha yang ingin mendapat perhatian dan fasilitas lebih, kemudian hal ini dibesar-besarkan. Jadinya saling menusuk. Ini kan nggak lucu. Toh banyak orang Cina yang miskin. Keturunan Cina memang sudah lebih eksis. Kehadiran mereka sebaiknya ya dimanfaatkan saja. Sebenarnya pula, pengusaha nonpribumi yang berhasil tidak banyak. Namun, karena mereka menon- jol, ya bisa saja bikin iri hati. Dalam persaingan ketat seperti ini, pengusaha pribumi minta hak lebih banyak, itu wajar. Tidak benar kalau pengusaha nonpribumi lebih mudah mendapatkan kredit bank. Kalau mau data yang akurat, cek saja ke Bank Indonesia. Dari uang yang sekian milyar, berapa yang dipakai BUMN, koperasi, atau industri menengah dan kecil. Gemala Group memperoleh kredit dari dalam dan luar negeri. Perbandingannya 50:50. Seluruhnya tak lebih dari US$ 100 juta. Uang ini juga diperlukan untuk modal kerja, bukan sekadar investasi saja. Dan yang memberi monopoli itu kan pemerintah sendiri. Juga soal swasta yang main di capital market. Mereka banyak mengeruk keuntungan dari situ. Saya tidak setuju dengan cara mereka. Tapi kalau dipikir, di mana letak konsistensi policy pemerintah. Saya sudah bilang ke Cina-Cina itu, mbok mereka juga membantu pengusaha-pengusaha kecil. Entah lewat sistem venture capital atau subkontrakting dan keagenan. Melalui beberapa usaha saya, sejak dulu saya sudah berpartner dengan pengusaha pribumi. Antara lain kongsi saya dengan rekan angkatan '66, Firdaus Wajdi, di Harta Tunggal Karya. Modal saya di situ nggak sampai 20%. Orang berpartner usaha itu kan dasarnya suka sama suka, seperti kawin dan cari jodoh. Jadi, jangan diaturlah. Kwik Kian Gie, 56 tahun. Pakar ekonomi lulusan Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, ini lahir di Juwana dan besar di Semarang. Kwik pernah berkiprah selama 25 tahun di bidang usaha. Tapi sejak pabrik elektroniknya (PT Altron) dijual kepada Salim Group tahun lalu, kini ia lebih banyak bergelut di bidang pendidikan dan politik. Komentarnya: Saya sudah bosan setiap kali soal pengusaha pribumi dan nonpribumi diungkit lagi. Sebab, ini akan mengingatkan kembali sejarah kelompok nonpribumi yang memperoleh fasilitas pada zaman kolonial. Padahal, baik pengusaha pribumi dan nonpribumi, mereka sama-sama saling memperalat. Yang nonpri lebih senang berkongsi dengan pejabat atau keluarganya, karena lebih aman. Yang pribumi suka memanfaatkan pengusaha nonpri dengan perhitungan, agar mereka yang nonpri tidak berani macam-macam, kalau tidak mau dihantam karena statusnya. Keppres No. 14 dan 14 A dikeluarkan ketika memuncaknya masalah pengusaha pribumi dan nonpribumi pada 1979. Keppres ini sebenarnya merupakan jawaban pemerintah atas tuntutan masyarakat, supaya nonpribumi direm. Atau, kalau ada nonpribumi yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, mereka harus menarik juga pribumi. Tetapi, keppres itu kemudian diselewengkan, antara lain melahirkan pengusaha alibaba. Contoh lain, banyak perusahaan nonpribumi yang memasang nama-nama purnawirawan ABRI sebagai komisarisnya. Walau sulit dibuktikan, bukan rahasia lagi siapa di belakang proyek olefin Prajogo Pangestu dan siapa di belakang Liem Sioe Liong. Jadi, yang seharusnya dibicarakan adalah siapa yang jahat siapa yang tidak, daripada mempersoalkan pribumi dan nonpribumi. Sebab, selama pejabat masih gampang disuap, apa saja bisa dibeli dengan uang. Itulah sebabnya, saya tidak setuju kalau ada pengusaha pribumi yang teriak-teriak tidak kebagian kredit. Sebab, mereka (pribumi dan nonpribumi) sama-sama suka menyuap pejabat sehingga akses yang diperolehnya dari pemerintah juga sama. Bahwa kemudian pengusaha nonpribumi berkembang lebih pesat, itu soal lain. Tapi, saya tidak menutup mata bahwa banyak pengusaha Cina yang bandit. Ciputra. Bos PT Pembangunan Jaya kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah, ini genap beusia 60 tahun Agustus depan. Kendati bisnis agak lesu ia tetap berambisi membuka usaha baru di bidang pertokoan dan perhotelan di Indonesia. Dari berbagai usahanya yang berjalan lancar -- seperti jasa konstruksi, real estate, perbankan -- diperkirakan omsetnya mencapai Rp 600 milyar per tahun. Soal kelompok 17 memang saya dengar. Saya sebagai nonpribumi, sejak masih duduk di bangku kuliah 30 tahun silam, sudah membuka usaha dengan pribumi. Dan sejak bergabung dengan Pem- bangunan Jaya, saya sudah insaf supaya sukses harus dengan pembauran. Itu saya buktikan ketika mendirikan perusahaan pertama, PT Daya Cipta. Juga di Pembangunan Jaya, Metropolitan, dan kelompok usaha lainnya, saham saya tidak ada yang mayoritas. Saham saya hanya 20%. Bank Dagang Industri (BDI), yang baru saja diresmikan, juga contoh ideal dalam rangka pembauran dan pemerataan. Lihat saja siapa yang bergabung di sana. Ada unsur Kadin dan ada unsur Hipmi. Seluruhnya ada 50 pengusaha, antara lain Sotion Ardjanggi, Fadel Muhammad, Iman Taufik, Sukamdani, Om Liem, Mochtar Riady, dan Eka Tjipta. Mereka masing-masing menyumbang Rp 150 juta hingga Rp 1 milyar. Istimewanya, bank ini tidak bisa memberikan kredit kepada pengusaha besar. Tapi melalui proyek venture capital, BDI hanya memberikan kredit kepada pengusaha kecil. Dengan proyek ini, tidak ada keharusan bagi pengusaha kecil membayar bunga dan mengembalikan angsuran. Cukup dengan membagi laba. Dengan begitu, pemberi modal mempunyai kewajiban membina pengusaha kecil supaya sukses sehingga modalnya dapat kembali dan untung. Cara ini lebih efektif daripada kredit bank. Henry Pribadi. Pengusaha asal Semarang ini mulanya dikenal sebagai salah seorang komisaris di Indocement. Belakangan namanya berkibar setelah berkongsi dengan Prajogo Pangestu (Barito Coup) dan Bambang Trihatmodjo (Bimantara Group) dalam berbagai usaha. Satu di antaranya adalah industri petrokimia (olefin) di Cilegon, Jawa Barat, yang menyedot investasi kakap: US 2,3 milyar. Saya tidak melihat pengusaha pribumi sebagai saingan. Karena persoalan yang lebih penting bagaimana menghadapi saingan dari luar (negeri). Jadi, bukan berkompetisi di dalam. Contoh seperti di Jepang. Di dalam mereka berkelahi, tapi giliran menghadapi saingan dari luar mereka bersatu. Dan saya tidak setuju kerja sama itu dipaksakan. Toh, tanpa dipaksakan kerja sama itu sudah terjalin. Artinya, semua itu sangat bergantung pada bidangnya. Kalau ada kecocokan, mengapa tidak? Jadi, menurut saya, soal pribumi dan nonpribumi ini tidak perlu diperdebatkan. Pokoknya, kita kerja saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus