Raksasa kretek nomor tiga, Bentoel, tak mampu bayar utang. Tapi juga belum akan ambruk. Humpuss siap menyuntikkan dana? NAMA Bentoel kembali dibayang-bayangi berita tak elok. Beberapa tahun lalu, Amerika geger karena seorang mahasiswa terserang sesak napas, setelah menyedot kretek produk keluarga Ong Hok Liong itu. Kali ini di Singapura, giliran para bankir internasional yang sesak napas. Mereka tiba-tiba dihadapkan pada usul Bentoel, yang ingin menjadwalkan utangnya yang US$ 325 juta itu. Adapun urusan penjadwalan dipercayakan Bentoel pada pengacaranya, Business Advisory Ltd. Perusahaan inilah yang belum lama berselang mengadakan pertemuan dengan para kreditur Bentoel di Hyatt Hotel Singapura. Majalah IFR (International Financial Review) edisi 6 Juli 1991 memberitakan, dari kredit yang akan dijadwalkan itu, US$ 220 juta merupakan pinjaman dari bank-bank luar negeri, pemberi pinjaman terbesar adalah Citicorp. Bank dari Amerika ini Maret lalu kabarnya memperpanjang kreditnya DM 65 juta (sekitar Rp 70 milyar) kepada Bentoel sekaligus memberikan pinjaman siaga US$ 40 juta (hampir Rp 80 milyar). Sikap Citicorp mencerminkan kepercayaan lembaga yang punya reputasi internasional itu kepada Bentoel. Selain Citicorp, ada pula Bank of Scotland, National Australian Bank, dan Bank of Tokyo (BoT). Untuk Bentoel, Desember lalu BoT membuka fasilitas L/C (surat kredit) US$ 30 juta dengan syarat-syarat lebih ringan daripada kredit Citicorp tersebut di atas. Ketika Bentoel merayakan HUT ke-60 pada bulan Juli 1990, mengadakan pesta besar-besaran. Siapa sangka setahun kemudian, perusahaan yang dikelola Budhiwidjaya Kusumanegara itu kewalahan membayar utang-utangnya. Niat Bentoel untuk go public akhir tahun lalu juga kandas gara-gara jatuhnya harga saham di Jakarta dan Surabaya. Kini, situasi dan kondisi berubah drastis. Bentoel, yang semula urung go public, tampaknya harus melepas sebagian sahamnya, demi menutup utang-utangnya. Bos grup Humpuss, (Tommy) Hutomo Mandala Putera, menunjukkan minatnya untuk menyuntikkan dana ke Bentoel Rp 200 milyar. "Realisasinya sedang dibicarakan ...," ujar Tommy seperti yang dikutip harian Jawa Pos (Minggu, 14 Juli 1991). Tak jelas adakah uluran Tommy erat kaitannya dengan kesediaan Bentoel -- raksasa kretek nomor tiga -- untuk tampil sebagai pembeli cengkeh pertama dari BPPC (Badan Penyangga & Pemasaran Cengkeh). Yang pasti, kesulitan likuiditas yang merongrong Bentoel telah menyebabkan perusahaan ini tak mampu menumpuk stok cengkeh, seperti yang dilakukan pesaingnya: Gudang Garam, Djarum, dan Sampoerna. Sekalipun begitu, dalam penyuntikan dana ke Bentoel, Tommy tidak berniat melibatkan BPPC. Sementara itu, direksi Bentoel yang dikontak TEMPO di Malang belum bersedia melakukan wawancara resmi. Namun, Budhiwidjaya tahun lalu mengutarakan kepada TEMPO bahwa Bentoel, yang dipimpinnya sejak 1966, sudah mulai menghadapi masalah sejak tahun 1970-an. Ketika itu Bentoel melakukan investasi besar-besaran untuk mendirikan pabrik sigaret kretek mesin (SKM). Langkah ini untuk menhingdari konflik dengan pabrik-pabrik sigaret kretek lintingan tangan (SKT) yang banyak berada di Malang. "Kalau kami memperluas SKT, banyak buruh dari pabrik kecil mau masuk ke Bentoel," tutur Budhiwidjaya. Maklum, waktu itu Bentoel merupakan perusahaan kretek terbesar, bahkan mengungguli Gudang Garam dan Djarum. Ketika Bentoel sedang sibuk meluaskan sayapnya dengan SKM, tiba-tiba keluar peraturan pemerintah yang mengharuskan produksi SKT dan SKM berbanding 2:1. Kebijaksanaan itu memojokkan Bentoel. Pada tahun 1978, misalnya, Bentoel sampai menung- gak pembayaran cengkeh, tembakau, cukai, dan utang pada BNI sehingga pabriknya di Tebingtinggi, Sumatera Utara, sempat masuk pengawasan BNI. Apalagi dalam satu dasawarsa terakhir, utang valuta asing itu telah mengalami devaluasi tiga kali (1978, 1983, dan 1986) sehingga bebannya bertambah berat. Kendati omset Bentoel mencapai 18 milyar batang per tahun, perusahaan ini masih saja diimpit kesulitan likuiditas. Tapi seorang pejabat dari PT Bentoel membantah bahwa perusahaannya hampir ambruk. "Permohonan penjadwalan kembali diajukan karena Bentoel optimistis masih bisa mengembalikan utang-utangnya," kata sumber TEMPO. Alasannya: produksi Bentoel sedang meningkat. Katanya, produksi itu naik dari 40 juta batang menjadi 50 juta batang per hari. Ia heran mengapa bank asing pada ribut, sementara Bank Rakyat Indonesia yang lebih besar dari Citicorp tak bersuara apa-apa. Namun, di balik masalah intern Bentoel ini, terbayang masalah makro juga. Jika Bentoel gagal memenuhi kewajibannya, dikhawatirkan kalangan perbankan internasional akan tidak percaya lagi pada perusahaan di Indonesia. Menurut majalah IFR, jika ada perusahaan swasta lainnya di Indonesia terjangkit kesulitan likuiditas, bank-bank Jepang sudah siap membatalkan fasilitas-fasilitas L/C mereka. Masalah lain adalah utang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perusahaan swasta maupun bank-bank pemerintah, belakangan ini sudah begitu besar sehingga tingkat likuiditas mereka terhadap utang luar negerinya semakin tipis. Pengalaman tak sedap dengan Bentoel setidaknya akan mendorong bank-bank luar negeri bersikap ekstrahati-hati terhadap Indonesia. Pokoknya, menjaring offshore loan tidak akan lagi segampang kemarin. Max Wangkar, Jalil Hakim (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini