Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisul itu akhirnya pecah

Penghapusan subsidi bbm banyak yang mengaitkan de- ngan kenaikan gaji pegawai negeri. tarif semua je- nis angkutan akan dinaikkan. demikian pula dengan tarif listrik.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah subsidi BBM agak klop dengan kenaikan gaji pegawai negeri baru-baru ini. Banyak yang menjerit, terutama di sektor angkutan. Tarif Garuda diduga akan meroket. BISUL yang lama bersarang di tubuh APBN 1991/92 akhirnya pecah: subsidi BBM yang setrilyun rupiah lebih dihapus sudah sejak 11 Juli lalu. Seperti diumumkan Pemerintah pekan lalu, harga BBM naik Rp 30 sampai 100 per liter. Tertinggi Rp 100, berlaku untuk bensin premium yang harganya jadi Rp 550 seliter. Terendah Rp 30, dikenakan pada minyak tanah. Hanya komponen minyak bakar yang tetap dipertahankan harganya, yakni Rp 220 per liter. Pemerintah tentu saja punya alasan tentang beda kenaikan masing-masing. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita memberi contoh minyak tanah, yang hanya naik Rp 30 seliter. Sebab, menurut Pemerintah, bahan bakar ini paling banyak digunakan oleh rumah tangga "menengah" ke bawah. Padahal, sesungguhnya, para pemilik kompor minyak tanah sebagian besar adalah penghuni kota ketimbang rakyat kecil di desa-desa yang masih memakai kayu untuk bahan bakarnya. Akan halnya bensin dan avtur, naik dengan Rp 100 dan Rp 70 per liter. Kedua komponen BBM ini memang lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan atas. Selain atas pertimbangan "asas pemerataan", Pemerintah juga menggunakan harga BBM di luar negeri sebagai patokan. Minyak bakar yang lebih banyak dikonsumsi PLN, misalnya, tak diutak-utik karena harganya sudah sama dengan di pasaran inter- nasional. Memang, di Hong Kong dan Filipina, yang bukan penghasil minyak mentah, BBM jenis ini dijual Rp 508 dan Rp 372 per liter. Tapi jika dibandingkan dengan Muangthai dan Korea Selatan yang juga tak punya minyak, harga minyak bakar di Indonesia tak jauh berbeda. Alasan lain adalah upaya Pemerintah mengerem pemakaian BBM di dalam negeri. Dari sekitar 1,4 juta barel minyak mentah yang rata-rata kita pompa sehari, sekitar 600.000 barel kabarnya dipakai untuk konsumsi di dalam negeri. Bahkan, Pemerintah sudah menghitung, dengan tingkat konsumsi yang sekarang, sekitar delapan tahun lagi Indonesia akan jadi pengimpor minyak netto. Artinya, impor minyak Indonesia akan lebih banyak daripada yang diekspor. Harap diingat, cadangan minyak kita amat terbatas, dibandingkan misalnya dengan negeri seperti Irak dan Iran. Tapi benarkah kenaikan harga BBM sekarang akan mampu menekan konsumsi BBM di dalam negeri? Jawabnya, belum tentu. Buktinya, sudah beberapa kali harga BBM dikerek, tapi tetap saja tingkat konsumsi kian deras. Pada tahun anggaran 1984/85, seluruh pemakaian BBM baru mencapai sekitar 26 juta kiloliter. Tapi tahun lalu jadi 35 juta kiloliter, atau naik 34 persen. Padahal, selama lima tahun itu pula, harga BBM sudah dikerek naik tiga kali (1985, 1986, dan Mei 1990). Jadi jelas, kalau melihat ke belakang, tak banyak kaitan antara harga BBM dan tingkat konsumsi. Yang pasti, dengan didongkraknya harga BBM pekan lalu, bisul subsidi BBM Rp 1,187 trilyun yang berada di sayap kanan APBN 1991/92 pecah sudah. Bahkan, bisa membawa untung Rp 30 milyar. Lumayan. Alasan lain yang agaknya berperan dalam penghapusan subsidi BBM adalah dinaikkannya gaji pegawai negeri per Juli tahun ini 15 persen. Itu berarti Pemerintah harus menombok anggaran rutin segede Rp 1,1 trilyun, alias hampir sama dengan subsidi BBM yang dihapuskan itu. Hingga ada saja mulut usil yang menyimpulkan, "Bukan mustahil, subsidi BBM itu dihapuskan untuk mengimbangi kenaikan gaji pegawai negeri." Apa pun alasan kenaikannya, akibat yang beruntun sudah bisa diduga. Dan yang akan berteriak pertama kali adalah para pengusaha angkutan. Aba-aba sudah keluar dari Menteri Perhubungan Azwar Anas. "Pemerintah lagi menggodok tarif baru un- tuk semua jenis angkutan. Insya Allah, akhir bulan ini, kebijaksanaan itu sudah bisa kami umumkan," katanya. Diduga, kenaikan tarif angkutan akan cukup besar. Ini kalau melihat ancang-ancang yang telah disiapkan oleh berbagai organisasi angkutan. Organisasi Angkutan Darat (Organda), misalnya, jauh sebelum BBM dinaikkan sudah mengajukan usul tarif baru pada Pemerintah. Soalnya, beban tambahan yang harus ditanggung oleh sektor ini dianggap bukan hanya akibat kenaikan harga BBM. Tapi juga akibat naiknya harga berbagai komponen mobil yang sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Memang, Juli tahun lalu, tarif angkutan kecuali bus kota naik 11-34%. Tapi, menurut salah seorang pemimpin Organda, Irawan Sarpingi, belum cukup. Waktu itu Organda bahkan minta permisi kepada Pemerintah untuk menaikkan tarif angkutan rata-rata 84%. Angkutan udara tentu tak mau kalah. Penerbangan Garuda telah membentuk tim khusus untuk memasang tarif baru. Dan sebuah asosiasi penerbangan swasta, INACA, memperkirakan tarif baru angkutan udara akan naik 100%. Jadi, selama ini tarif terbang per kursi per kilometer hanya 0,073 dolar, INACA mengusulkan naik jadi 0,15 dolar. Seperti lazimnya, kalau angkutan naik, dengan sendirinya berbagai barang pun akan terkerek harganya. Bahkan, barang-barang kebutuhan pokok dari beras sampai cabai keriting, harganya sudah merayap sejak sebulan lalu, ketika Pemerintah mengumumkan tambahan gaji pegawai negeri. Lalu, apa yang akan terjadi jika tarif listrik juga dinaikkan rata-rata 20% mulai awal Agustus ini? Bagi masyarakat papan bawah, mudah-mudahan tak berarti banyak. Sebab, Pemerintah memang tak mengutak-atik tarif listrik yang diperuntukkan bagi golongan rumah tangga kecil dan sedang, badan sosial kecil, dan pengusaha kecil. Bagi mereka, harga setrum tetap Rp 57,5 sampai Rp 205 per kwh (kilowatt hour). Lain halnya dengan tarif untuk golongan di atas itu. Rumah sakit kelas atas yang dikelola swasta, seperti RS Pondok Indah dan MMC di Jakarta Selatan, dahulu tanggungan listriknya sama dengan rumah sakit pemerintah. Kini mereka harus membayar lebih mahal. Rumah sakit besar milik pemerintah digolongkan pada tarif S-4 yang dibebani Rp 217,50 per kwh, pada saat beban puncak pukul 6 sore hingga 10 malam, sedangkan rumah sakit besar milik swasta dikenai golongan tarif SS-4 alias berharga Rp 227,50. Pemilahan seperti ini berlaku juga bagi sektor pendidikan. Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan M.B.A., yang memasang tarif belasan juta rupiah dari setiap siswanya, akan dikenai tarif listrik golongan SS-4. Sebab, mereka komersial, begitu alasan seorang direktur PLN. Sementara itu, tarif untuk lembaga pendidikan yang lebih berat pada misi sosialnya tak diubah. Golongan tarif seperti ini, "merupakan hasil pendekatan yang dilakukan para wakil rakyat kepada Pemerintah," kata Direktur Utama PLN, Ermansyah Yamin. Kalangan industri besar bisa dipastikan sudah bersiap-siap merevisi biaya tetapnya. Pabrik-pabrik yang besar yang termasuk golongan 1-5, kini harus membayar tarif listrik rata-rata Rp 106,92 per kwh, atau naik sekitar 35%. Itu belum merupakan kenaikan tertinggi. Sebab, masih ada golongan H-2, yakni perhotelan sedang, dan H-3 alias perhotelan besar, yang harus menanggung kenaikan 40%. Makanya, wajar kalau Aminuddin, Ketua Umum Sekbertal (asosiasi industri pemintalan), merasa kena tohok. Kata dia, selama ini tekstil dan produk tekstil Indonesia sudah kena berbagai jegalan. Mulai dari proteksi yang dilakukan oleh negara- negara importir hingga tuduhan dumping yang baru saja dilancarkan oleh Masyarakat Ekonomi Eropa. "Dengan tarif listrik yang lama saja, kami sudah sulit menyaingi produk tekstil dari RRC. Apalagi sekarang," kata Aminuddin, menunjuk pada persaingan bisnis tekstil yang kian ketat. Ada juga pengusaha yang masih bisa tersenyum melihat kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Asikin, misalnya, yang mengelola enam hotel berbintang di Jawa Timur, tampak kalem. Soalnya, begitu isu tarif listrik akan naik, dia sudah membuat ancang-ancang. Tarif bermalam di salah satu hotel yang dikelolanya di Surabaya sudah dinaikkan 15% sampai 20% sejak 1 Juli lalu. Dampaknya? "Hotel kami tetap penuh," katanya. Menurut kalkulasi di layar komputer, para pengusaha sebenarnya memang tak perlu mengaduh hanya karena tarif listrik naik. Sebab, pengaruh dari kenaikan itu terhadap total biaya produksi masih dianggap dalam batas-batas yang "wajar" oleh Pemerintah. Berdasarkan perhitungan pihak PLN, tarif listrik yang baru hanya akan menaikkan biaya produksi 0,07% hingga 3,25%. Kalau saja perhitungan orang-orang PLN itu benar, industri tekstil hanya akan mengalami kenaikan biaya produksi 1,18%. Sedangkan industri semen dan perhotelan harus menanggung beban tambahan yang lebih besar, 2,51% dan 2,71%. Beban tambahan terbesar hanya akan dialami oleh industri baja dengan tingkat kenaikan biaya produksi 3,25%. Entah berapa kenaikan biaya produksi itu jadinya jika ditambah dengan kenaikan harga BBM. Yang pasti, sejak penetapan tarif baru, PLN boleh jadi adalah BUMN yang punya masa depan paling cerah. Seperti diungkapkan Ermansyah, "Dengan tarif baru, tahun ini PLN bakal menuai untung sekitar Rp 485 milyar." Hanya saja, sementara PLN bermuka cerah, di belakang banyak pengusaha yang berbisik-bisik penasaran. Soalnya, mereka masih ingat pada janji yang dilontarkan Pemerintah ketika menaikkan tarif listrik pada tahun 1989. Ketika itu, tarif listrik naik dengan 25%, dan Menteri Ginandjar berjanji pada masa mendatang penyesuaian tarif akan dilakukan sesegera mungkin. Maksudnya, jika dalam waktu setahun Pemerintah sudah memandang perlu untuk mengerek tarif baru, itu akan segera dilaksanakan. Hingga, dengan begitu, kenaikannya akan tak terlalu besar. Bisa 3%, boleh juga 5%. "Daripada seperti sekarang, langsung 25%, kan lebih baik dibiarkan mengambang seperti kurs dolar," kata Menteri Ginandjar ketika itu. Bukan sebuah janji sembarang omong, memang. Sebab, waktu itu, yang "diincar" oleh Pemerintah hanyalah agar PLN tidak merugi. Buktinya, tengok saja salinan dengar pendapat antara PLN dan DPR Juni lalu. Di situ disebutkan, jika tarif tidak dinaikkan, pada tahun anggaran sekarang perusahaan setrum ini diperkirakan akan merugi Rp 28 milyar. Perkiraan rugi tersebut -- karena jumlahnya yang dianggap kecil -- sebenarnya bisa saja langsung terhapus oleh kenaikan tarif yang tidak terlalu besar. Hanya dengan kenaikan 2.5% saja, misalnya, PLN sudah langsung akan melaba sekitar Rp 64 milyar. "Nah, lalu kenapa naiknya sampai 20%," tanya seorang pengusaha di Jakarta. Untuk pertanyaan ini, Pemerintah sudah menyiapkan jawabannya. Menurut Menteri Ginandjar, kenaikan seperti ini sengaja dilakukan dengan tujuan agar PLN bisa menghimpun dana untuk investasi baru. Seperti diketahui, selama ini, sebagian besar investasi PLN dibiayai oleh pinjaman luar negeri. Kalau beleid utang seperti itu diteruskan, "Kita akan bergantung pada pinjaman luar negeri, juga pada pemerintah," komentar Ginandjar. Ditambah lagi, jika dibandingkan dengan tarif yang berlaku di beberapa negara Asia, Pemerintah beranggapan tarif baru PLN masih termasuk yang termurah: Untuk sektor industri, misalnya, dengan harga Rp 119,36 per kwh, listrik Indonesia masih lebih murah jika dibandingkan dengan yang dijual di Singapura, Filipina, Muangthai, Hong Kong, Malaysia, bahkan RRC. Begitupun untuk sektor perhotelan, listrik Indonesia hanya sedikit kalah murah dengan yang berlaku di Negeri Ratu Sirikit. Memang enak jika kenaikan harga BBM dan tarif listrik di Indonesia dibanding-bandingkan dengan yang berlaku di negeri tetangga. Akan lebih pas lagi kalau perbandingan itu juga melihat penghasilan penduduk sana, yang umumnya lebih tinggi daripada yang diterima orang banyak di sini. Budi Kusumah, Iwan Qodar, dan Zed Abidien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus