Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah jadi buron selama 17 tahun, Maria Pauline Lumowa ditangkap polisi Serbia pada Juli tahun lalu.
Kuasa hukum Maria Pauline Lumowa berupaya menyuap pejabat Serbia hingga 500 ribu euro.
Pemerintah Belanda melobi Serbia agar membebaskan buron tersebut.
SELAMA tiga hari berturut-turut, Maria Pauline Lumowa menjalani pemeriksaan di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI sejak Selasa, 21 Juli lalu. Penyidik mencecarkan puluhan pertanyaan kepada tersangka pembobol Bank BNI senilai Rp 1,2 triliun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik menyodorkan segepok fotokopi pengakuan utang oleh Maria kepada Bank BNI bertanggal 26 Agustus 2003. Mereka juga mengkonfirmasi satu bundel fotokopi akta penanggungan utang dari Maria kepada BNI tertanggal 26 Agustus 2003. Memasuki hari ketiga, penyidik terpaksa menghentikan pemeriksaan meski masih banyak pertanyaan yang tersisa. “Pemeriksaan dihentikan karena tersangka pusing atau sakit kepala,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono pada Kamis, 23 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini bermula 17 tahun lalu. Maria mengajukan permintaan kredit pembiayaan ekspor atau letter of credit (LC) ke BNI Cabang Kebayoran Baru untuk mengekspor pasir kuarsa dan minyak residu lewat bendera Gramarindo Group ke Afrika dan Timur Tengah. Meski empat bank yang diajukan Maria untuk membuka LC bukan bank koresponden BNI, BNI Kebayoran Baru tetap mengucurkan kredit. Ternyata ekspor tak pernah terjadi dan kredit itu macet.
Total ada 16 tersangka, termasuk Maria, sebagai pelaku utama. Minus perempuan 62 tahun itu, 15 orang yang terlibat kasus ini, dari kalangan internal Bank BNI ataupun sekondan bisnis Maria, menjalani persidangan dengan vonis hukuman beragam. Adapun Maria keburu kabur ke Singapura sebulan sebelum terbit surat penetapan tersangka.
Setelah 17 tahun jadi buron, Maria akhirnya bisa dibawa ke Indonesia pada 8 Juli lalu. Perlu proses panjang untuk membawa pulang perempuan kelahiran Sulawesi yang sejak 1979 berkewarganegaraan Kerajaan Belanda itu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly bersama sejumlah polisi dari Badan Reserse Kriminal terbang ke Bandar Udara Internasional Nikola Tesla di Beograd, Republik Serbia, dengan mencarter pesawat Garuda Indonesia pada Sabtu, 4 Juli lalu, untuk menjemputnya. Sewa pesawat ini diongkosi Bank BNI. “Presiden memerintahkan menjemput karena memerlukan lobi-lobi hukum,” ujar Yasonna.
Perjalanan Yasonna ke Serbia tak mulus. Saat pesawat masih di angkasa, ia mendapat kabar dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beograd bahwa Serbia menutup perbatasannya karena kasus Covid-19 di sana melonjak. Tapi, berkat lobi dan bantuan alat kesehatan yang disiapkan sejak di Jakarta, rombongan Yasonna akhirnya bisa mendarat di Bandara Nikola Tesla.
Maria ditangkap polisi Serbia di bandara tersebut saat hendak memasuki negara itu karena berstatus red notice pada 16 Juli 2019. Interpol pusat di Lyon, Prancis, memasukkan Maria ke daftar buron itu dengan kode A1361/12-23 atas permohonan Polri pada 22 Desember 2003.
Yasonna Hamonangan Laoly/TEMPO/M Taufan Rengganis
Serbia kemudian memberi tahu Polri. Merespons info tersebut, Indonesia mengajukan permohonan penahanan sementara dan ekstradisi pada 31 Juli 2019. Tapi Maria melawan. Perempuan yang biasa disapa Erry itu beberapa kali menggugat ke pengadilan Serbia.
Pada 3 September tahun lalu, Indonesia mengajukan permohonan percepatan ekstradisi karena perkara Maria di Tanah Air akan kedaluwarsa pada 2021. Yasonna mengirim Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum untuk membahas langkah-langkah percepatan ekstradisi dengan asisten Menteri Kehakiman Serbia.
Menurut Yasonna, ganjalan juga datang dari pemerintah Belanda, yang melobi Serbia agar membebaskan warganya itu. Pengacara Maria pun intensif mempengaruhi otoritas Serbia. Yasonna, yang mendapat cerita dari asisten Menteri Kehakiman Serbia, mengatakan advokat yang membela Maria beberapa kali mencoba menyuap pejabat Serbia. Setidaknya dalam tiga kesempatan, pengacara Maria menawarkan besel 100 ribu euro, 300 ribu euro, dan 500 ribu euro. “Setelah percobaan ketiga itulah pengacaranya ditangkap otoritas Serbia,” ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
Meski gencar dilobi sana-sini, Serbia berpihak pada Indonesia. Atas dasar hubungan bilateral dengan Indonesia yang sudah terjalin baik, negara Balkan itu mengabaikan Belanda. Apalagi Serbia pernah dibantu Indonesia mengekstradisi warga negaranya yang terlibat kejahatan pencurian informasi kartu kredit dan anjungan tunai mandiri.
Berselang empat bulan dari pertemuan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dan Asisten Menteri Kehakiman, pengadilan Serbia mengabulkan ekstradisi terhadap Maria pada 6 April lalu. Tapi saat itu Indonesia sedang menutup perbatasan untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Serbia memberikan waktu hingga 16 Juli untuk mengambil Maria karena masa penahanan hanya setahun. “Ada peluang, kami ambil, karena tidak semua negara mau mengabulkan permohonan ekstradisi,” ujar Yasonna.
Presiden Republik Serbia Aleksandar Vučić menganggap Indonesia sebagai mitra penting, yang bersahabat sejak era Gerakan Nonblok, ketika negara itu masih bagian dari Yugoslavia. “Serbia mendukung Indonesia dalam melindungi integritas dan kedaulatan wilayahnya,” kata Aleksandar Vučić dalam situs resmi pemerintah Serbia, 7 Juli lalu. Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Serbia Ivica Dacic berterima kasih atas bantuan perlengkapan medis untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang dibawa rombongan Yasonna. “Solidaritas timbal balik adalah prasyarat penting dan perlu untuk mengatasi dampak krisis kesehatan global,” ujar Ivica Dacic.
Kuasa hukum Maria yang direkomendasikan pemerintah Belanda, Alexander Weenas, mengatakan kliennya akan kooperatif selama pemeriksaan. “Semuanya lancar dan kooperatif,” kata Alexander melalui anggota stafnya, Viona. Ihwal berbagai upaya Maria di Serbia agar lolos dari hukum serta percobaan penyuapan oleh pengacaranya di sana, Alexander enggan berkomentar. “Itu di luar konteks,” ujarnya.
Adapun Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia tak menanggapi pernyataan Menteri Yasonna ihwal upaya mereka melobi Serbia agar Maria tak diekstradisi ke Indonesia. Juru bicara Kedutaan Besar Belanda, Brechtje Klandermans, hanya menyatakan proses ekstradisi Maria Lumowa adalah urusan bilateral antara Serbia dan Indonesia. Sebagai warga negara Belanda, Maria akan menerima bantuan konsuler secara penuh dari kedutaan, tapi tidak dengan bantuan hukum. “Sesuai dengan aturan standar kami, kedutaan tidak memberikan bantuan hukum,” kata Brechtje.
Rampung urusan ekstradisi Maria, Yasonna menyerahkan proses berikutnya kepada Polri untuk melanjutkan penyidikan. Ia menyebutkan tim Kementerian Hukum selanjutnya akan berfokus menelusuri aset-aset Maria. “Nanti kami telisik harta-hartanya. Kami bekukan, kami ambil,” ucapnya. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan lembaganya telah menyita aset Maria senilai Rp 132 miliar selama dia jadi buron. Aset itu meliputi, “Barang bergerak, tidak bergerak, dan uang.”
BNI mengapresiasi keberhasilan penegak hukum mengekstradisi Maria Pauline Lumowa dari Serbia. "Dengan adanya proses hukum terhadap MPL, kami berpotensi mendapatkan recovery untuk mengurangi kerugian perusahaan," kata Sekretaris Perusahaan BNI Meiliana.
LINDA TRIANITA, ANDITA RAHMA, BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo