Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sanksi Perpajakan di Omnibus Law UU Cipta Kerja Lebih Rendah, Ini Sebabnya

Pemerintah menyatakan sanksi perpajakan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja lebih rendah dari aturan di UU KUP sebelumnya.

19 Oktober 2020 | 18.01 WIB

Rohaniawan mengambil sumpah jabatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang baru Suryo Utomo di Kementerian Keuangan Jakarta, Jumat 1 November 2019. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Perbesar
Rohaniawan mengambil sumpah jabatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang baru Suryo Utomo di Kementerian Keuangan Jakarta, Jumat 1 November 2019. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyatakan sanksi perpajakan dalam Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja lebih rendah dari sanksi yang diatur di Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pasalnya, di UU Cipta Kerja, sanksi perpajakan menyesuaikan tingkat bunga yang berlaku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mencontohkan, sanksi yang dikenakan atas kekurangan atau keterlambatan membayar pajak saat ini sebesar dua persen per bulan. "Dalam RUU Cipta Kerja diubah menyesuaikan tingkat bunga yang berlaku dibagi 12,” katanya dalam jumpa pers daring APBN Kita di Jakarta, Senin, 19 Oktober 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Suryo menyebutkan alasan penggunaan tingkat suku bunga yang berlaku karena keterlambatan pembayaran pajak berefek kepada nilai uang. Adapun mekanisme penghitungannya adalah tingkat suku bunga ditambah tambahan 5 persen, karena pembetulan SPT kemudian dibagi 12.

“Tingkat bunga misalnya 6 persen ditambah 5 persen. Karena pembetulan SPT dibagi 12, jadi kurang dari 1 persen hasilnya apabila dibandingkan dengan posisi sanksi saat ini 2 persen per bulan,” kata Suryo.

Namun, kata Suryo, pengenaan sanksi 100 persen dikenakan atas pengungkapan yang tidak benar pada saat wajib pajak diperiksa bukti permulaannya. Angka 100 persen itu juga lebih rendah dari pengenaan yang saat ini berlaku dalam Undang-Undang KUP.

“Apabila dibandingkan UU KUP, untuk pengungkapan ketidakbenaran pada waktu pemeriksaan bukti permulaan itu besarannya 150 persen,” kata Suryo.

Lembaga riset Prakarsa sebelumnya menyoroti klaster perpajakan pada Undang-undang Cipta Kerja alias Omnibus Law. Pasalnya beleid itu memiliki poin antara lain seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik.

Langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen dinilai perlu dikritisi. "Pemerintah tidak perlu menurunkan tarif PPh Badan," ujar ekonom The Prakarsa Cut Nurul Aidha dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 Oktober 2020.

Sebabnya, ia melihat tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun. Sementara, pemerintah perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang menyejahterakan rakyat.

Penurunan tarif PPh Badan ini, kata Nurul, didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi. Namun, ia menilai alasan tersebut kurang tepat.

ANTARA | CAESAR AKBAR 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus