ENTAH kenapa Gubernur Bank Indonesia, Rachmat Saleh, benar-benar
tidak mau diganggu pada akhir pekan lalu. "Dipotret pun jangan,"
pengawalnya berkata pada pers yang melepas Gubernur BI itu
berangkat dari Halim Perdanakusumah. "Bapak masih pusing."
Diduga dia akan menjumpai dua konsorsium perbankan --Bank of
Tokyo dan Morgan Guaranty Trust Co. of New York, dengan siapa
ditekennya hutang lebih kurang US$ 1050 juta pada tahun 1975
guna mengatasi krisis Pertamina ketika itu.
Berbeda dengan waktu itu, sekali ini Rachmat sesungguhnya bukan
menghadapi Mission Impossible. Tempo hari perbankan
internasional masih cenderung menolak memberi pinjaman pada
Indonesia. Maka Rachmat pun meneken saja perjanjian hutang
walaupun kedua konsorsium itu menetapkan persyaratan berat.
Umpamanya, jangka waktunya adalah 5 tahun, terlalu singkat,
sedang sukubunganya 1,875% di atas tingkat penawaran antar bank
London (LIBOR). Apa boleh buat, syukur bisa diperoleh pinjaman
itu mengingat cadangan devisa Indonesia sedang jatuh ke titik
paling kritis.
Tapi dengan cadangan devisa netto yang mencapai US$2.420 juta
pada akhir Desember 1977, pemerintah berkekuatan meminta dan
dikabulkan untuk memperoleh persyaratan lebih ringan. Kedua
konsorsium itu, dengan demikian, akan memberi pinjaman baru
dengan jangka waktu 7 tahun, termasuk masa tenggang 2 tahun,
dengan sukubunga yang lebih murah dengan 0,5%. Telah disepakati
bahwa Indonesia akan menyelesaikan sisa hutang lama guna
menggantikannya dengan dasar baru. Dalam rangka penggantian itu
Indonesia akan menerima kredit Morgan sebesar US$500 juta
(tadinya US$850 juta) dan kredit Bank of Tokyo US$75 juta
(tadinya US$150 juta).
Latarbelakang ini membuat pemerintah harus meninggikan
penyicilan hutang berikut bunganya pada tahun 19781 79 menjadi
Rp 346,1 milyar (lebih kurang US$834 juta), berarti 50,5% di
atas tahun fiskal sebelumnya. Kelihatannya ini berat bagi
Indonesia. Tapi, demikian Rachmat Saleh dalam suatu pidato
minggu lalu, penggantian hutang dengan ke dua konsorsium itu
akan meringankan kewajiban kita pada tahun-tahun berikutnya.
Dengan cara , katanya, "apa yang dinamakan debt service ratio
(perbandingan kewajiban penyicilan hutang dan penhasilan ekspor
- red.) dalam tahun fiskal 1978-1979 dan 1979-1980 akan turun
dari masing-masing 19,8% dan 19,1% menjadi 16,4% dan 14,8%."
Jadi, sekali ini Gubernur BI semustinya berangkat dengan santai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini