SESUDAH pemerintan menurunkan sukubunga sebagai pembuka tahun
1978, kalangan bisnis umumnya memberikan tanggapan positif.
Tingginya biaya di dalam negeri - high cost economy diharap bisa
ditekan karenanya. Meskipun begitu, ada juga tanggapan yang
mengecilkan arti penurunan sukubunga itu. Gubernur Bank
Indonesia, Rachmat Saleh, minggu lalu dalam jamuan makan-malam
bersama para pimpinan dunia perbankan di Jakarta tak lupa
menyinggung hal ini.
"Peranan sukubunga dalam menentu kan tingkat biaya secara
keseluruhan tidaklah sebesar seperti diduga banyak fihak," kata
Gubernur BI. "Banyak biaya lainnya, masalah inefisiensi kerja,
termasuk lambannya perputaran usaha, haruslah ditangani pula
apabila kita ingin menambah daya saing Indonesia dengan jalan
menurunkan tingkat biaya per unit barang."
Hal yang dikemukakan Rachmat Saleh memang ada benarnya. Tapi
persoalan besar bagi kaum pengusaha ialah 'lamban' itu sebagian
bersumber dari bank-bank pemerintah. Pengusaha baru, jika
mengharapkan sukubunga rendah dari bank pemerintah, masih harus
menunggu berbulan-bulan. "Dana kredit dari barlk pemerintah
bagaikan barang di etalase yang dapat dilihat tapi sulit
dijangkau," demikian komentar direktur PT Pan Indonesia Bank
Ltd, Mu'min Ali, 39. Bankir swasta itu juga menjabat komisaris
pada sejumlah perusahaan asuransi dan industri kelompok Panin
Bank.
Dalam suatu interpiu TEMPO, MU'min menRatakan bahwa akhirnya
penurunan sukubunga itu tidak ada artinya jika pelayanan bank
pemerintah sangat lamban. "Bisnis harus selalu berputar cepat.
Di sinilah bank swasta bisa hidup meskipun sukubunganya sedikit
lebih tinggi, rata-rata masih 2% sebulan."
Okay
Dir-Ut Djukardi Odang, 48, dari PT Panca Niaga yang sudah
berpengalaman dengan bank pemerintah juga mengeluh rupanya. "Di
sini prosedur kredit impor memakan waktu 3 sampai 6 bulan.
Paling cepat 3 bulan barulah bank bilang okay. Untuk barang
vital, prioritas utama, memang okay itu bisa 2 minggu, terutama
untuk nasabah yang sudah dikenal oleh bank bersangkutan. Di
luar negeri, misalnya, di Jerman Barat semacam itu dapat beres
dalam 1 - 2 hari."
PT Panca Niaga bukan hanya mengimpor, melainkan juga mengekspor.
Dan baginya bukan cuma soal kredit dan sukubunganya. Tingkat
biaya tinggi, kata Odang lagi, bisa juga karena freight (ongkos
angkutan laut). "Untuk kopi tujuan Eropa? misalnya, freight
kita lebih mahal 3 sen dollar dibanding dengan Singapura. Lagi
pula, karena tidak seluruh pelabuhan kita bisa disinggahi kapal
samudera, kita banyak melakukan transhipment untuk ekspor. Ini
menambah ongkos lagi."
Walaupun diturunkan, jelas sukubunga pemerintah belum akan
banyak menolong industri elektronik. Menurut direktur teknik A.
Sarbini 49, dari PT Philips Ralin Electronics, di sini pengusaha
kita bekerja dengan stok bahan baku untuk 5 - 6 bulan, dibanding
di Singapura 2 minggu. Akibatnya ialah biaya modal kerja di suni
lebih tinggi. Dari segi jumlah bunganya saja Indonesia sudah
kalah bersaing. Tambahan pula perputaran usaha di Singapura
lehih cepat 6 kali dibanding di Indonesia.
Untuk kompetitif, kata Sarbini, penurunan sukubunga harus
dibarengi dengan peningkatan pelayanan aparat pemerintah.
"Penyelesaian dokumen di pelabuhan laut, misalnya, masih
lamban." Inefisiensi kerja tentu terjadi karenanya tapi itu
tampaknya dipaksakan oleh iklim yang, menurut kaum bisnis
umumnya, memang tidak sehat dewasa ini.
Kembali ke perbankan, pihak swasta nasional sesungguhnya juga
diharapkan untuk menurunkan sukubunga. Umpamanya BI sudah
menurunkan cash ratio, persentase cadangan-wajib yang kini 15,
tadinya 30%. Perubahan itu, menurut Gubernur Rachmat Saleh,
bertujuan mengurangi biaya bank. Ini berarti kemampuan bank
swasta untuk memberi kredit bertambah 15, lagi. Tapi kini
pemerintah mewajibkan perusahaan mengikuti Astek (Asuransi
Sosial Tenaga Kerja) yang menciptakan ongkos baru bagi bank
swasta. Jadi, tetap 2%?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini